42 Tahun Menjajakan Jamu di Malam Hari, Kisah Abah Sobari dari Cidahu Sukabumi

Sukabumiupdate.com
Minggu 07 Sep 2025, 20:07 WIB
42 Tahun Menjajakan Jamu di Malam Hari, Kisah Abah Sobari dari Cidahu Sukabumi

Potret Abah Sobari (72), warga Cidahu Sukabumi, yang masih setia menjajakan jamu tradisional racikan sendiri setiap malam sejak 1978. (Sumber Foto: SU/Ibnu Sanubari)

SUKABUMIUPDATE.com – Di saat kebanyakan orang terlelap dalam hangatnya selimut, seorang kakek berusia 72 tahun justru menapaki malam demi malam dengan penuh semangat. Namanya Sobari, warga Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi. Sosok sederhana yang tetap setia menjajakan jamu tradisional sejak tahun 1978.

Setiap malam sekitar pukul 22.00 WIB, Abah Sobari mulai berkeliling, memanggul botol-botol jamu berisi ramuan herbal racikannya. Rutenya tak pendek, dari gang Koramil Cicurug hingga ke kawasan Ciawi Bogor. Ia baru pulang saat fajar mulai menyingsing, menumpang angkot putih untuk kembali ke rumahnya di kaki Gunung Salak.

Meski rambutnya telah memutih dan tubuhnya renta, semangat Abah tak pernah luntur. “Enggak betah di rumah, kalau di rumah malah enggak bisa tidur. Udah biasa jualan,” ujarnya pelan, saat ditemui sukabumiupdate.com tengah duduk di depan ruko pinggir jalan pada Sabtu malam (6/9/2025).

Jamu yang dijual Abah Sobari bukan sembarang jamu. Ia meraciknya sendiri dari 12 macam tanaman dan rempah pilihan: daun sirsak, daun alpukat, binahong, mahkota dewa, cecenet, sameloto, kumis kucing, hingga jahe merah, kapulaga, kayu manis dan madu. “Dicuci dulu, dijemur, kalau sudah kering baru direbus,” jelasnya penuh kesabaran.

Baca Juga: Jumlah Domba Mati di Cikidang Sukabumi Bertambah, Jejak Diduga Macan Tutul Ditemukan

Harganya hanya Rp5.000 per gelas, namun khasiatnya tak ternilai. Ramuan tradisional ini dipercaya dapat membantu meredakan asam lambung, maag, kolesterol, darah tinggi, sampai pegal linu. Banyak pelanggan setia yang menyukai jamunya. “Suka ada yang beli buat bekal mancing. Katanya anget rasanya,” kata Abah sambil tersenyum bangga.

Dalam sehari, ia biasanya menyiapkan enam botol, tiga ukuran besar dan tiga ukuran kecil. Semua nyaris selalu habis. Hasil penjualan itu cukup untuk kebutuhan sederhana: beli beras, sayur, dan memberi jajan dua cucunya yang berusia 10 dan 6 tahun. “Kadang minta jajan terus, ya alhamdulillah bisa kasih,” ucapnya lirih namun bahagia.

Perjalanan hidup sebagai penjual jamu ia mulai saat usianya 30 tahun. Resep yang ia gunakan bukan resep instan, melainkan warisan turun-temurun dari keluarga. Sudah 42 tahun berlalu, dan ia belum pernah sekalipun berpikir berhenti.

“Enggak kerja apa-apa lagi. Malam doang jualan jamu. Mau hujan, mau gak ujan, berangkat terus,” katanya, menatap jalanan malam yang sepi namun selalu jadi saksi ketekunannya.

Di tengah dunia yang terus berubah, Abah Sobari adalah potret langka: seorang penjaja jamu yang bertahan dengan kesetiaan, ketekunan, dan cinta terhadap tradisi. Bukan soal penghasilan semata, tapi bagaimana ia memilih untuk tetap berguna—meski di usia senja dan dalam dinginnya malam.

Berita Terkait
Berita Terkini