SUKABUMIUPDATE.com - Aksi mogok kerja ratusan buruh PT Koin Baju Global di Kampung Lemko, Desa Tenjo Ayu, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Kamis (12/6/2025), mencapai sejumlah kesepakatan. Setelah negosiasi intens, pihak manajemen dan serikat pekerja menemukan jalan tengah untuk meredakan konflik ketenagakerjaan.
Direktur PT Koin Baju Global, Ms MH Lee, menjelaskan lima poin utama hasil kesepakatan:
1. Pemutusan hubungan kerja selama 30 hari bagi karyawan dengan masa kerja lima tahun dan memiliki penilaian karier baik, dengan jaminan akan dipanggil kembali sebagai karyawan baru.
2. Tunjangan Hari Raya (THR) tetap diberikan penuh kepada karyawan yang dipanggil kembali.
3. Hak cuti haid hari pertama dan kedua diberikan kepada pekerja perempuan tanpa diskriminasi, asalkan melampirkan surat keterangan sakit (keterangan haid) dari dokter.
4. Bagi pekerja yang tidak bisa mengambil cuti haid sesuai aturan tersebut, akan mendapatkan uang pengganti sebesar Rp 50 ribu per hari.
5. Pekerja harus pulang tepat waktu. Siapa pun yang melebihi batas waktu 15 menit tanpa alasan, akan dikenai sanksi sesuai peraturan, mulai teguran hingga Surat Peringatan (SP).
Meski demikian, tuntutan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Buruh Kimia Industri Umum Farmasi Kesehatan dan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (FSB KIKES KSBSI) Sukabumi Raya untuk meminta pimpinan perusahaan bernama Ms Kim mundur dari jabatannya belum mendapatkan tanggapan resmi atau masih menggantung.
Buruh PT Koin Baju Global mogok kerja di halaman pabrik di Kampung Lemko, Desa Tenjo Ayu, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Kamis (12/6/2025). | Foto: SU/Ibnu Sanubari
Baca Juga: 700 Buruh di Sukabumi Mogok Kerja: Tuntut Cuti Haid, Hapus Skorsing, dan PHK Tanpa Pesangon
Keresahan Awal dan Tuntutan Buruh
Koordinator lapangan FSB KIKES KSBSI Sukabumi Raya Ujang Abdul Manap mengungkapkan aksi ini lahir dari kekecewaan mendalam terhadap pimpinan perusahaan.
“Aksi ini latar belakangnya bentuk kekecewaan karena pimpinan PT Koin Baju Global, Ms Kim, tidak bisa mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah. Salah satunya soal skorsing. Saya minta dimatikan lampu (indikasi skorsing), tapi beliau menolak,” kata dia kepada sukabumiupdate.com.
Menurut Ujang, keputusan untuk memutus hubungan kerja karyawan dengan masa kerja lima tahun juga dianggap tidak manusiawi. “Lima tahun itu seharusnya bukan diberhentikan, melainkan diangkat jadi karyawan tetap. Mereka itu punya potensi, aset perusahaan. Kalau perusahaan terus-menerus ganti orang, hasil produksi tidak akan maksimal. Apalagi kalau pekerjanya sudah lanjut usia, sulit cari kerja lagi. Bagaimana nasib anak-anak mereka?” ujarnya.
Ia pun menyoroti pengalaman buruk buruh sebelumnya ketika perusahaan menjanjikan pemanggilan kembali bagi karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja sementara. “Makanya kami minta itu dituangkan dalam perjanjian bersama," kata Ujang.
Dalam berita sebelumnya, Ujang turut mengkritik sistem kerja yang diterapkan di pabrik. “Target kerja tidak pernah stabil, hari ini 50, besok bisa naik jadi 60, lusa naik lagi. Tidak ada kepastian. Skorsing pun tidak hilang karena hal ini,” katanya.
Hak normatif seperti cuti haid menjadi sorotan penting. “Sesuai peraturan, hari pertama dan kedua haid seharusnya diliburkan. Tapi di sini tetap harus bekerja karena dikejar target. Padahal cuti haid adalah hak normatif yang tidak perlu diminta,” tegas Ujang.
Masalah lainnya termasuk insentif yang dianggap tidak adil. “Insentif hanya diberikan kepada orang-orang dekat pimpinan perusahaan. Bahkan sejak UMK naik 6,5 persen, insentif justru dihilangkan. Kenaikan UMK jadi tidak ada artinya,” lanjut dia.
Ujang menambahkan, para pekerja juga mengalami pelanggaran aturan jam kerja. “Kami mulai bekerja pukul 06.00 WIB, meski seharusnya pukul 07.00 WIB. Lalu waktu istirahat hanya 15 menit dari yang seharusnya satu jam, dan jam pulang sering ditambah tanpa alasan jelas. Hak kami dilanggar, loyalitas kami tidak dihargai,” katanya.
Konteks Aksi dan Proses Negosiasi
Aksi mogok kerja ini melibatkan sekitar 700 dari total 1.200 karyawan. Para pekerja memadati halaman pabrik dengan membawa spanduk tuntutan, bendera serikat buruh, dan berorasi menggunakan pengeras suara. “Aksi ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum,” ujar Ujang.
Setelah negosiasi panjang, kedua pihak sepakat pada beberapa hal. Namun buruh tetap menuntut perusahaan menjalankan komitmennya.