Tolong, Jangan Lagi Cuma Jadi Konten! Validitas dan Empati di Tengah Banjir Postingan Bencana

Sukabumiupdate.com
Sabtu 06 Des 2025, 06:36 WIB
Tolong, Jangan Lagi Cuma Jadi Konten! Validitas dan Empati di Tengah Banjir Postingan Bencana

Penampakan banjir di Sumatera | Foto : Dok. Ist

SUKABUMIUPDATE.com - Gelombang konten seputar bencana alam memang sedang membanjiri linimasa media sosial, menciptakan dilema besar antara penyebaran informasi yang cepat dan krisis empati, sekaligus mempertaruhkan validitas informasi itu sendiri. Fenomena ini menjadi pisau bermata dua: di satu sisi, media sosial berperan vital dalam menyebarkan informasi darurat, menggalang donasi, dan menunjukkan solidaritas global. Namun, di sisi lain, dorongan untuk menjadi viral sering kali mengalahkan rasionalitas dan sensitivitas, melahirkan konten yang justru menuai kecaman publik karena dinilai "tone deaf" atau tidak berempati.

Kasus-kasus eksploitasi dan kontras seperti konten 'A Day In My Life' di lokasi bencana yang menyorot kenyamanan alih-alih penderitaan korban menjadi bukti bagaimana niat baik untuk melaporkan dan membantu sering terdistorsi oleh keinginan untuk populer, bahkan sampai mengabaikan etika jurnalistik kebencanaan.

Para pakar menyoroti bahwa algoritma yang mendorong konten untuk viral telah menciptakan paradoks; konten yang memancing emosi tinggi sering kali lebih cepat menyebar, meskipun akurasinya patut dipertanyakan. Inilah titik krusial di mana validitas konten bencana menjadi rapuh karena kecepatan penyebaran mengorbankan proses verifikasi yang memadai, membuka pintu lebar-lebar bagi misinformasi, disinformasi, dan penipuan donasi palsu.

Baca Juga: Fedi Nuril Kritik Keras Penunjukan Menteri LHK: Ganti Saja, Kinerja Kementerian Tidak Masuk 10 Besar!

Cek dan Ricek Tiga Pilar Verifikasi Konten Bencana

Dalam menghadapi tsunami konten ini, mekanisme cek dan ricek menjadi pertahanan terakhir melawan disinformasi dan eksploitasi. Sebagai jurnalis maupun warga yang bertanggung jawab, kita wajib menerapkan prosedur verifikasi berlapis, terutama ketika nyawa dan bantuan kritis bergantung pada kebenaran informasi.

  1. Verifikasi Sumber dan Konteks (Reverse Image Search & Metadata): Langkah pertama adalah memperlakukan setiap konten visual atau narasi dari media sosial sebagai hipotesis, bukan fakta. Gunakan reverse image search untuk memastikan bahwa foto atau video yang dibagikan bukanlah arsip lama yang disajikan dengan konteks baru (misinformasi kontekstual). Selain itu, periksa metadata (jika memungkinkan) atau deskripsi unggahan untuk mencari petunjuk waktu dan lokasi. Selalu pertanyakan: Kapan dan di mana kejadian ini direkam? Apakah sumbernya adalah akun yang kredibel atau akun baru tanpa rekam jejak yang jelas?
  2. Geolokasi dan Konfirmasi Silang (Triangulasi Data): Tahap selanjutnya adalah melakukan geolokasi untuk memastikan konten tersebut benar-benar diambil di lokasi bencana yang diklaim. Cek petunjuk visual seperti bangunan, rambu jalan, atau fitur geografis lainnya yang dapat dibandingkan dengan peta atau citra satelit. Selanjutnya, lakukan konfirmasi silang atau triangulasi data. Artinya, bandingkan informasi dari media sosial dengan setidaknya dua sumber resmi dan terpercaya lainnya, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), otoritas setempat, atau media arus utama yang telah teruji kredibilitasnya. Jika informasi dari media sosial bertolak belakang dengan sumber resmi, utamakan data resmi dan tandai konten media sosial tersebut sebagai konten yang belum terverifikasi.
  3. Verifikasi Motif dan Etika (Empati dan Tujuan Bantuan): Selain kebenaran faktual, cek dan ricek juga mencakup aspek etika dan motif. Khusus konten yang bersifat penggalangan dana, selalu cek keabsahan lembaga penerima donasi. Apakah lembaga tersebut terdaftar? Apakah rekening yang digunakan adalah rekening resmi? Lebih penting lagi, perhatikan motif di balik konten. Konten yang terlalu menonjolkan diri sendiri, meminta imbalan popularitas (likes/views) secara eksplisit, atau mengeksploitasi penderitaan korban secara berlebihan harus diwaspadai sebagai upaya clout chasing (perburuan popularitas).

Baca Juga: Ramon Tanque Cetak Gol Perdana, Persib Bandung Unggul 3-1 atas Borneo FC

Peran Teknologi dalam Validasi dan Mitigasi

Perkembangan teknologi telah menjadi pedang bermata dua: ia mempercepat penyebaran hoaks, namun juga menyediakan perangkat mutakhir untuk memvalidasi informasi dan meningkatkan kesiapsiagaan.

Automasi Deteksi Hoaks dan Deepfake

Teknologi Kecerdasan Buatan (AI) kini dikembangkan untuk secara otomatis mendeteksi pola misinformasi atau konten deepfake video yang dimanipulasi dengan meyakinkan—yang sering muncul selama bencana. Sistem machine learning mampu menganalisis metadata, pola penyebaran anomali, dan perbandingan silang dengan data historis untuk memberikan skor validitas konten secara real-time, membantu jurnalis dan tim resmi dalam menyaring informasi yang tidak akurat sebelum menyebar luas.

Dashboard Data Real-Time

Pemerintah dan lembaga penanggulangan bencana, seperti BPBD dan Basarnas, mulai mengimplementasikan dashboard data berbasis Geographic Information System (GIS) yang menyajikan data insiden, lokasi terdampak, dan taksiran kerugian sementara secara real-time. Dashboard ini berfungsi sebagai sumber kebenaran tunggal (single source of truth) yang diverifikasi oleh tim gabungan. Bagi jurnalis, platform semacam ini adalah rujukan validasi utama yang harus didahulukan dari informasi media sosial.

Edukasi Mitigasi Berbasis Virtual Reality (VR)

Teknologi seperti Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR) kini dimanfaatkan untuk simulasi mitigasi bencana. Sistem ini menawarkan pengalaman mendalam tentang apa yang harus dilakukan saat gempa atau banjir, meningkatkan kesiapan mental dan praktis masyarakat. Upaya transformasi digital ini membuktikan bahwa teknologi, jika diarahkan dengan tepat, dapat menjadi senjata ampuh untuk mengurangi dampak bencana, bukan sekadar platform penyebar kepanikan.

Baca Juga: PLN IP UBP JPR Gelar Simulasi Tanggap Darurat: Semangat JPR Green Ecosystem

Pedoman Etika Peliputan Bencana: Jurnalis & Kreator Konten

Sebagai jurnalis dan figur publik (kreator konten/influencer) yang memiliki privilege dan jangkauan luas di media sosial, kita wajib mengedepankan prinsip kemanusiaan:

  • Prinsip Utama: Utamakan Korban, Bukan Views. Fokus pelaporan adalah pada kebutuhan korban, upaya pertolongan, dan informasi yang menyelamatkan nyawa (misalnya, rute evakuasi, lokasi posko, kebutuhan spesifik).
  • Hormati Privasi dan Trauma: Hindari pengambilan gambar atau video (terutama close-up) yang menunjukkan wajah korban yang sedang menangis, berdarah, atau berada dalam kondisi trauma ekstrem, terutama anak-anak. Jangan pernah memaksa korban atau keluarga yang sedang berduka untuk diwawancarai. Jurnalisme sensitif bencana adalah keharusan.
  • Jaga Keselamatan Diri dan Orang Lain: Jurnalis tidak boleh menambah beban atau menghalangi petugas penyelamat. Utamakan keselamatan diri sendiri dan tim daripada memburu gambar yang dramatis. Hindari masuk ke zona bahaya yang ditetapkan kecuali memiliki perlengkapan dan izin yang memadai.
  • Transparansi Donasi: Jika menggalang dana, pastikan transparansi penuh. Tunjuk satu rekening resmi yang terverifikasi dan berikan laporan berkala mengenai penyaluran dana. Jangan menggunakan penderitaan korban sebagai latar belakang untuk mempromosikan produk pribadi atau meningkatkan followers.

Validitas konten bencana bukan sekadar masalah akurasi data, tetapi jadi fondasi utama yang menentukan efektivitas seluruh rantai bantuan kemanusiaan. Ketika informasi yang beredar di media sosial teruji kebenarannya mulai dari lokasi terdampak, jenis bantuan yang paling mendesak, hingga rute evakuasi yang aman maka upaya pertolongan dapat disalurkan secara presisi, menjangkau mereka yang benar-benar membutuhkan tanpa adanya penumpukan logistik atau, sebaliknya, kelangkaan.

Sebaliknya, konten yang tidak valid atau hoaks akan mengganggu alur distribusi, memicu kepanikan massal yang tidak perlu, dan mengalihkan sumber daya kritis dari titik bencana sesungguhnya. Misalnya, kabar bohong tentang gempa susulan yang lebih besar bisa membuat masyarakat meninggalkan tempat pengungsian yang aman, sementara informasi palsu mengenai kebutuhan tertentu (seperti permintaan barang mewah) dapat menghabiskan waktu dan energi donatur. Oleh karena itu, memastikan setiap unggahan adalah fakta yang terverifikasi adalah sebuah tindakan heroik yang menyelamatkan nyawa.

Tanggung jawab untuk menjaga validitas informasi ini bukan hanya diemban oleh otoritas resmi atau lembaga fact-checker, melainkan etika kolektif seluruh pengguna media sosial. Setiap individu yang memegang gawai dan memiliki akses ke platform digital bertindak sebagai gatekeeper potensial. Menerapkan skeptisisme konstruktif menahan diri dari membagikan informasi sebelum diverifikasi adalah bentuk kontribusi paling fundamental dalam situasi krisis. Bagi jurnalis dan kreator konten, etika ini menuntut lebih: mengutamakan verifikasi tiga lapis (sumber, geolokasi, dan motif) di atas dorongan untuk mendapatkan views atau like. Komitmen bersama terhadap kebenaran ini adalah manifestasi konkret dari solidaritas digital, memastikan bahwa teknologi menjadi alat mitigasi bencana yang andal, bukan malah memperparah keadaan melalui penyebaran kabar bohong yang destruktif.

(Dari berbagai sumber)

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini