SUKABUMIUPDATE.com – Koalisi Masyarakat Sipil menilai langkah Kementerian Pertahanan (Kemhan) melaporkan Majalah Tempo ke Dewan Pers terkait pemberitaan rencana penerapan darurat militer merupakan ancaman terhadap demokrasi dan kebebasan pers.
Dalam siaran pers yang diterima sukabumiupdate.com, Rabu (10/9/2025), koalisi menyebut media adalah pilar demokrasi sekaligus manifestasi kebebasan berekspresi yang harus dilindungi.
“Dengan pertimbangan tersebut, kami memandang laporan Kemhan kepada Dewan Pers terkait dengan liputan Majalah Tempo tentang rencana penerapan darurat militer yang dituduh hoaks, justru berisiko mengancam kebebasan pers dan demokrasi,” tulis Koalisi Masyarakat Sipil.
Koalisi juga menegaskan darurat militer merupakan kewenangan mutlak Presiden, sebagaimana diatur dalam UU No. 23/PRP/1959 tentang Keadaan Bahaya, sehingga Kemhan dinilai tidak semestinya masuk terlalu jauh dalam urusan kebebasan berekspresi. Oleh karena itu Koalisi meminta Presiden mengambil sikap tegas dalam hal ini.
Menurut koalisi, liputan Tempo seharusnya dipandang sebagai bentuk kontrol publik terhadap penyelenggaraan pemerintah.
“Darurat militer (martiaw law) merupakan suatu pilihan kebijakan yang sangat berisiko bagi penikmatan kebebasan sipil, mengingat tindakan-tindakan pembatasan yang mungkin dilakukan, atas nama kedaruraratan. Dalam situasi state emergency, demokrasi dan HAM akan direstriksi sedemikian rupa. Oleh karenanya menjadi penting bagi publik untuk mengkritisi rencana ini, untuk memastikan hak-hak mereka tidak dikurangi, dan untuk menghindari risiko terjadinya pelanggaran HAM yang sistematis,” lanjut pernyataan itu.
Baca Juga: Bagi-bagi Duit Korupsi Kuota Haji, KPK: Pegawai hingga Pimpinan Kemenag, Rp 42 Juta-Rp 115 Juta
Selain mengkritisi pelaporan ke Dewan Pers, koalisi juga menyoroti adanya dugaan keterlibatan sejumlah oknum TNI dalam memprovokasi kerusuhan saat unjuk rasa pada akhir Agustus 2025 kemarin. Mereka mendesak Kemhan mendorong TNI melakukan penyelidikan internal, memberikan penjelasan kepada publik secara transparan, serta membuka akses bagi Komnas HAM dan tim pencari fakta independen.
"Akses tersebut penting sebagai informasi yang akan melengkapi bukti-bukti yang telah didapatkan melalui berbagai instrumen lainnya, seperti media massa, hasil investigasi masyarakat sipil, dan lain-lain," tegas Koalisi.
"Sudah semestinya Kemhan dan TNI mendukung penuh seluruh upaya untuk memastikan akuntabilitas dan pertanggungjawaban atas peristiwa kekerasan yang terjadi, termasuk apabila dugaan keterlibatan oknum TNI juga terbukti. Prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law) harus ditekankan, sebagai pilar penting dari negara hukum," tambah mereka.
Terkait pemberitaan Tempo, koalisi menilai media tersebut telah mengikuti kaidah jurnalistik dengan melakukan upaya konfirmasi kepada Menteri Pertahanan meski tidak mendapat jawaban, serta menyajikan wawancara khusus dengan Panglima TNI.
"Kaitannya dengan pemberitaan Tempo, kami menilai konten jurnalistik yang dihadirkan ke publik, telah sepenuhnya mengikuti metode dan prosedur jurnalistik, seperti keharusan cover both side, dengan berupaya untuk menghubungi Menteri Pertahanan untuk meminta klarifikasi. Meskipun pada akhirnya Menhan tidak merespon permintaan Tempo tersebut, dan mereka telah menginformasikannya di dalam pemberitaan," kata Koalisi.
"Selain itu, terdapat pula liputan wawancara khusus Panglima TNI yang dimuat dalam salah satu rubrik majalah tersebut, yang menunjukkan upaya Tempo untuk memberikan informasi yang berimbang. Artinya, Tempo telah mengikuti seluruh kaidah-kaidah kode etik jurnalistik di dalam pemberitaannya. Jadi tidak seharusnya Kemhan justru menyengketakan hasil pemberitaan Tempo ke Dewan Pers, karena justru akan menjadi momok dan ancaman bagi kebebasan pers ke depan," sambungnya.
Mereka juga mendorong Dewan Pers tetap independen dan adil dalam menangani aduan Kemhan.
"Untuk memastikan media, khususnya Tempo, tetap menjadi pilar demokrasi untuk Indonesia yang berperadaban. Oleh karena, tanpa kebebasan berekspresi—termasuk melalui media, warga negara tidak dapat melaksanakan haknya secara efektif untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan publik, apabila mereka tidak memiliki kebebasan untuk mendapatkan informasi dan mengeluarkan pendapatnya serta tidak mampu untuk menyatakan pandangannya secara bebas," pungkas Koalisi.
Adapun Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari sejumlah organisasi, di antaranya Imparsial, Centra Initiative, Raksha Initiatives, HRWG, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), DeJure, PBHI, Setara Institute, LBH Apik, dan WALHI.