SUKABUMIUPDATE.com - Fadli Fikriawan atau akrab disapa Awan, Bassit .Feast menegur oknum polisi yang diduga bertindak represif kepada penonton konser RI Fest 2025 di JIExpo Kemayoran, Jakarta.
Ia melayangkan kritik pedas terhadap tindakan represif aparat keamanan dalam insiden pemukulan penonton di RI Fest 2025 yang digelar di JIExpo Kemayoran. “Katanya bangsa yang besar, tapi takut bendera One Piece,” kata Awan.
Peristiwa ini menjadi sorotan publik setelah viral di media sosial, memicu perdebatan tentang batasan antara menjaga ketertiban dan menghormati kebebasan berekspresi di acara musik.
Kronologi kejadian bermula saat penampilan .Feast di RI Fest 2025 yang semula berjalan lancar. Suasana berubah ketika beberapa penonton mulai melakukan moshing-gerakan khas aliran musik tertent sambil mengibarkan bendera One Piece sebagai bentuk ekspresi kegembiraan.
Baca Juga: 17 Agustus 1959: Miles Davis Kind of Blue, Album Jazz Terbaik Sepanjang Masa
Tiba-tiba, aparat keamanan turun tangan dan diduga melakukan pemukulan terhadap sejumlah penonton yang terlibat dalam aktivitas tersebut.
Awan, bassist .Feast yang menyaksikan kejadian itu langsung dari panggung, tidak tinggal diam. Dengan berani ia menyampaikan protes di tengah-tengah penampilan band-nya.
"Ini hanya ekspresi, bukan kejahatan! Kalau tidak ada pencurian atau kerusuhan, ngapain pakai kekerasan?" serunya lantang. Pernyataan spontan ini langsung direkam oleh penonton dan menyebar cepat di berbagai platform media sosial.
Dalam video yang viral tersebut, Awan terlihat sangat emosional namun tetap menyampaikan pesan dengan jelas. Ia menegaskan bahwa tindakan aparat dinilai terlalu berlebihan dan tidak proporsional.
"Aparat digaji dari pajak rakyat, harusnya melindungi, bukan malah menyakiti," tambahnya dengan nada tegas. Kritik ini menyentuh persoalan mendasar tentang peran dan tanggung jawab aparat keamanan dalam acara publik.
Insiden ini segera menjadi trending topic di Twitter dengan tagar RIFest2025 dan FeastVsAparat mendominasi percakapan. Reaksi netizen terbelah, meski mayoritas tampak mendukung sikap Awan.
Banyak yang menilai tindakan aparat tidak pada tempatnya dan merusak suasana konser yang seharusnya menjadi ruang berekspresi. Sebagian kecil netizen justru mempertanyakan apakah ada provokasi tertentu dari penonton yang memicu tindakan aparat.
Tidak hanya di Twitter, perdebatan ini juga merambah ke platform lain seperti TikTok dan Instagram. Beberapa kreator konten bahkan membuat video analisis mendalam tentang insiden tersebut, mencoba menimbang dari berbagai sudut pandang.
Ada yang membandingkan dengan standar pengamanan konser di negara lain, sementara yang lain membahas tentang budaya moshing yang memang kerap menimbulkan kontroversi di berbagai event musik.
Di tengah hiruk-pikuk diskusi online, muncul pertanyaan mendasar: di mana batas antara menjaga ketertiban dan menghormati kebebasan berekspresi dalam acara musik? Awan melalui kritiknya jelas memilih berada di sisi kebebasan berekspresi.
Ia berargumen bahwa selama tidak ada tindakan kriminal yang nyata, aparat seharusnya memberikan ruang bagi penonton untuk menikmati musik sesuai cara mereka.
Respons dari pihak penyelenggara event dan aparat keamanan sendiri hingga kini masih dinantikan publik. Banyak yang berharap akan ada klarifikasi resmi yang bisa memberikan penjelasan lengkap tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Beberapa pengamat menyarankan perlunya protokol yang lebih jelas tentang penanganan kerumunan di acara musik, sehingga baik panitia maupun aparat memiliki pedoman yang baku dalam bertindak.
Insiden ketegangan antara penonton konser dan aparat keamanan. Beberapa event serupa di masa lalu pernah mencatat konflik serupa, meski jarang mendapat sorotan sebesar ini.
Yang membedakan adalah keberanian musisi seperti Awan yang secara terbuka menyatakan keberatannya di tengah penampilan, sebuah tindakan yang jarang terlihat di industri musik Indonesia.
Dampak dari peristiwa ini masih terus berlanjut. Banyak yang memprediksi akan ada perubahan dalam cara penyelenggaraan konser besar di Indonesia pasca insiden ini. Mulai dari sistem pengamanan yang lebih manusiawi, hingga sosialisasi yang lebih baik kepada penonton tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama event berlangsung.
Sementara itu, dukungan untuk .Feast dan Awan terus mengalir dari berbagai kalangan. Banyak musisi lain yang mulai angkat bicara mendukung sikap kritis terhadap tindakan represif di acara music yang menunjukkan bahwa insiden di RI Fest 2025 bukan sekadar kasus isolasi, melainkan bagian dari diskusi besar tentang hubungan antara seni, kebebasan berekspresi, dan peran aparat keamanan.
Satu hal yang pasti, perdebatan tentang keseimbangan antara keamanan dan kebebasan di acara musik akan terus berlanjut. RI Fest 2025 mungkin hanya salah satu babak dalam perjalanan panjang menemukan formula terbaik untuk menyelenggarakan event musik yang aman namun tetap menghargai ekspresi artistik dan kegembiraan penonton.
(Sumber: Video Netizen/ IG: @infogigs_jabodetabek)
Penulis: Danang Hamid