Air dan Ancaman di Kaki Gede & Konflik Panas Bumi, Ruang Hidup dan Peran Krusial Gunung

Sukabumiupdate.com
Sabtu 15 Nov 2025, 10:00 WIB
Air dan Ancaman di Kaki Gede & Konflik Panas Bumi, Ruang Hidup dan Peran Krusial Gunung

Penjaga air tawar dunia. Kesejukan ini berawal dari ketinggian (Foto: Istimewa)

SUKABUMIUPDATE.com - Gunung Gede Pangrango berdiri sebagai benteng ekologis yang sangat penting, menyediakan sumber kehidupan bagi jutaan penduduk di Jawa Barat, Banten, dan Jakarta. Kawasan ini dikenal sebagai 'menara air' (water tower) yang vital, sebuah penyedia air baku yang tak tergantikan, menopang kebutuhan sehari-hari dan keberlanjutan wilayah metropolitan terbesar di Indonesia. Peran krusial ini menjadikan kelestarian ekosistem Gede Pangrango sebagai prioritas utama, sebab kerusakannya akan memiliki dampak sosial dan ekonomi yang katastropik bagi lebih dari 30 juta jiwa.

Namun, muncul ancaman signifikan di balik upaya pengembangan energi. Penetapan proyek Geothermal sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) di kawasan ini yang menempatkan kebutuhan air bagi puluhan juta orang di bawah risiko yang mengkhawatirkan. Rencana pengeboran eksplorasi geothermal, meskipun bertujuan mulia untuk energi terbarukan, berpotensi serius merusak keseimbangan hidrologis dan ekologis Gede Pangrango. Kegiatan pengeboran di wilayah resapan air yang sensitif ini dapat mengganggu struktur geologi, memicu longsor, dan yang paling parah, merusak cadangan serta kualitas air yang merupakan jantung kehidupan regional.

Dengan potensi konflik antara pembangunan energi dan konservasi lingkungan, perlindungan Gunung Gede Pangrango harus diutamakan. Pemerintah dan pemangku kepentingan perlu meninjau kembali label PSN Geothermal ini dengan mempertimbangkan secara mendalam risiko jangka panjang terhadap ketersediaan air. Keputusan untuk melanjutkan proyek harus didasarkan pada kajian mendalam dan transparan yang menggaransi bahwa ancaman pengeboran eksplorasi tidak akan mengorbankan fungsi esensial kawasan ini sebagai menara air. Kelangsungan hidup ekologis dan sosial 30 juta penduduk harus ditempatkan di atas kepentingan proyek energi, menjamin bahwa benteng ekologis Gede Pangrango tetap lestari

Baca Juga: Indonesia-Yordania Jalin Kerja Sama Strategis, PT Pindad Kembangkan Drone Militer Canggih

Bukan sekadar tinggi, tapi penopang kehidupan. Hutan ini adalah paru-paru dan spons raksasa. #KonservasiGunungBukan sekadar tinggi, tapi penopang kehidupan. Hutan ini adalah paru-paru dan spons raksasa. #KonservasiGunung (foto:Istimewa)

Pintu Gerbang di 5,46 Hektare dan Puncak Ketegangan Sosial

Pada pertengahan Juli 2025, suasana di kawasan penyangga Gunung Gede Pangrango kembali memanas drastis. Perselisihan antara kepentingan pembangunan energi berskala nasional dengan kebutuhan fundamental perlindungan lingkungan dan hak hidup masyarakat lokal mencapai tingkat tertinggi.

Titik didih ketegangan terbaru ini dipicu oleh sebuah Surat Undangan dari Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) pada awal bulan yang sama. Surat tersebut memanggil sejumlah warga, yang diidentifikasi sebagai "penggarap lahan", untuk menghadiri proses verifikasi yang dinilai terselubung.

Verifikasi tersebut secara spesifik menyangkut area seluas 5,46 hektare di TNGGP, yang dalam dokumen resminya disebut sebagai "Area Kerja Eksplorasi Proyek Strategis Nasional Pemanfaatan Panas Bumi". Bagi ratusan warga dari Desa Sukatani dan sekitarnya, yang berjuang melalui Aliansi Penyelamat Gunung Gede Pangrango (APGGP), lahan seluas 5,46 hektare ini dipandang sebagai gerbang menuju bencana, yaitu titik krusial yang akan membuka akses bagi aktivitas pengeboran inti oleh pengembang proyek di zona sensitif.

Penolakan Mutlak Melawan Klaim Penertiban Konservasi & Masa Depan Proyek di Tengah Perlawanan Kolektif

Ratusan warga memilih untuk tidak memenuhi undangan tersebut dan sebaliknya mengambil jalur konfrontasi kolektif. Mereka menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran di depan kantor TNGGP Cibodas pada Kamis, 17 Juli 2025, menegaskan penolakan yang kuat dan menyeluruh. "Kami datang bukan untuk memutakhirkan data ganti rugi atau menerima kompensasi. Kami datang untuk menolak proyek ini secara keseluruhan. Lahan ini adalah awal dari kehancuran sumber air dan ruang hidup kami," seru salah satu orator APGGP dengan penuh penekanan.

Baca Juga: Godi Suwarna Blues Si Miskin, Kenakalan Sang Sufi Sunda

Dari puncaknya, mengalir kehidupan di dataran rendah. Hormati hulu, jaga hilir.Dari puncaknya, mengalir kehidupan di dataran rendah. Hormati hulu, jaga hilir.

Warga menuding bahwa langkah TNGGP yang secara formal hanya mengklaim melakukan penertiban kawasan konservasi sesuai Peraturan Menteri LHK Nomor 4 Tahun 2023 adalah upaya yang terstruktur untuk mengosongkan lahan demi memuluskan tahapan eksplorasi oleh PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP), anak perusahaan dari Grup Sinar Mas. Masyarakat melihat klaim TNGGP sebagai bantahan yang meragukan, dan menganggap kegiatan verifikasi lahan tersebut sebagai tahapan operasional nyata untuk memulai proyek Geothermal di kawasan ekologis yang rentan.

Isu Ekologis Ancaman Seismisitas dan Water Tower Jawa

Kekhawatiran masyarakat atas dampak proyek Geothermal ini didukung oleh fakta ekologis yang krusial. Gunung Gede Pangrango adalah kawasan yang sangat penting, namun juga rapuh. Secara geologis, wilayah ini merupakan zona dengan aktivitas seismik tinggi, dibuktikan dengan tercatatnya 216 kejadian gempa bumi dalam kurun waktu singkat (Oktober-November 2024).

Gede Pangrango merupakan hulu vital dari empat Daerah Aliran Sungai (DAS) utama, menjadikannya tumpuan air bagi jutaan penduduk. Aktivitas pengeboran di zona konservasi dikhawatirkan memiliki risiko tinggi, yaitu berpotensi memicu peningkatan frekuensi atau intensitas seismisitas, dan yang paling utama, mengancam cadangan serta keberlanjutan pasokan air bawah tanah.

Masalah ini diperparah oleh dugaan kurangnya keterbukaan dokumen AMDAL dan sosialisasi yang tidak menjangkau seluruh elemen masyarakat, yang menghasilkan kesenjangan informasi dan ketidakpercayaan publik yang mendalam terhadap proses perizinan dan pelaksanaan proyek strategis di kawasan yang seharusnya dijaga ketat.

Baca Juga: David Coverdale Pensiun Setelah 5 Dekade Bersama Whitesnake & Deep Purple

Proyek Geothermal Gunung Gede hingga saat ini tetap berstatus PSN, dengan pelaksana DMGP berupaya memasuki tahapan eksplorasi. Namun, pelaksanaannya telah diwarnai oleh pertentangan sosial yang kian membesar, menempatkan pemerintah pada posisi dilematis: antara kebutuhan energi nasional dan investasi di satu sisi, dengan kewajiban perlindungan kawasan konservasi yang sangat penting dan penjaminan hak dasar hidup masyarakat di sisi lain.

nugerah terpenting Bumi. Mengalirkan energi, membersihkan jiwa. Jangan sia-siakanAnugerah terpenting Bumi. Mengalirkan energi, membersihkan jiwa. Jangan sia-siakan

Aksi penolakan kolektif pada 17 Juli 2025 ini telah menjadi penanda tegas bahwa Proyek Panas Bumi di Gunung Gede Pangrango kini berada pada tahap konfrontasi operasional. Pertentangan ini bukan hanya mengenai kompensasi lahan, melainkan merupakan perlawanan warga terhadap potensi hilangnya sumber air, yang merupakan elemen fundamental untuk kelangsungan hidup jutaan penduduk. Konflik ini membayangi kelanjutan proyek, menuntut adanya evaluasi mendalam terhadap keseimbangan antara kepentingan investasi dengan perlindungan ekologi dan hak asasi manusia.

Ringkasan berita aktual dan analisis konteks dari berbagai media kredibel menegaskan bahwa konflik Geothermal Gunung Gede Pangrango telah memasuki fase konfrontasi terbuka. Data kunci seperti tanggal aksi massa (17 Juli 2025), luasan spesifik area eksplorasi yang dipermasalahkan (5,46 hektare di TNGGP), hingga identitas pelaksana proyek (PT Daya Mas Geopatra Pangrango) dikonfirmasi bersumber dari laporan lapangan dan dokumen resmi. Ketegangan ini berpangkal dari surat undangan verifikasi lahan oleh TNGGP, yang dibantah sebagai penertiban rutin, namun oleh warga dipandang sebagai langkah operasional nyata untuk memulai pengeboran. Fakta bahwa Gede Pangrango adalah water tower kritis dan zona seismik aktif, dengan catatan 216 gempa pada akhir 2024, semakin memperkuat argumen masyarakat dan lembaga pendamping terkait risiko ekologis yang tak terhindarkan.

Peran Krusial Gunung dan Air dalam Kehidupan

Gunung dan air adalah dua entitas alam yang saling terkait, membentuk sistem pendukung kehidupan di Bumi. Gunung, sering dijuluki "penjaga air," memegang peran vital sebagai pemasok air tawar utama dunia. Hutan di lereng gunung bertindak sebagai spons raksasa yang menangkap dan menyimpan air hujan serta kabut, yang kemudian dilepaskan secara bertahap melalui mata air dan sungai ke dataran rendah. Proses ini memastikan ketersediaan air bersih yang stabil untuk kebutuhan minum, pertanian, dan industri jutaan orang di seluruh dunia. Selain itu, gunung adalah laboratorium keanekaragaman hayati, menyediakan habitat yang unik, dan bagi gunung berapi, material vulkaniknya menyuburkan tanah di sekitarnya.

Baca Juga: Program MBG Butuh Dana Tambahan Rp 28,63 T, BGN Ajukan ke Kemenkeu

Kualitas air sangat dipengaruhi oleh sumbernya di pegunungan. Air yang mengalir dari ketinggian umumnya memiliki kualitas yang istimewa, kaya akan mineral esensial alami seperti kalsium, potasium, dan sulfat, yang penting untuk kesehatan tulang, fungsi saraf, dan sistem pencernaan manusia. Air yang cukup dan berkualitas tinggi adalah pilar utama hidrasi dan menjaga kesehatan sel, termasuk kulit. Lebih jauh lagi, aliran deras air dari gunung dimanfaatkan untuk menghasilkan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), menjadikannya sumber energi bersih yang mendukung keberlanjutan peradaban.

Keterkaitan antara gunung dan air adalah sebuah sistem tunggal yang rapuh; menjaga gunung berarti menjaga air. Tanpa vegetasi dan hutan yang berfungsi sebagai penyimpan di gunung, air akan hilang lebih cepat, menyebabkan banjir di musim hujan dan kekeringan ekstrem di musim kemarau. Kehilangan fungsi ekologis gunung akan berdampak langsung pada kuantitas dan kualitas air yang kita konsumsi sehari-hari. Oleh karena itu, kesadaran akan peran keduanya sangat penting bagi kelangsungan hidup.

Sebagai bagian dari masyarakat global, kita memiliki tanggung jawab kolektif untuk menjaga kelestarian kedua sumber daya ini. Gaya hidup yang berkelanjutan melibatkan tindakan nyata seperti tidak membuang sampah di daerah hulu, mendukung program reboisasi, dan mempraktikkan penghematan air dalam rutinitas harian. Dengan menghargai dan melindungi gunung serta air, kita memastikan bahwa anugerah kehidupan yang mengalir jernih ini dapat terus dinikmati oleh generasi

Baca Juga: Anggota DPRD Sukabumi Iwan Ridwan Tinjau Bendungan Jebol di Cisaat, Petani Terancam Gagal Tanam

Pemandangan sunrise di balik Gunung Gede Pangrango di pagi hari dari Cidahu Camping Ground | Foto : Dok. WargaPemandangan sunrise di balik Gunung Gede Pangrango di pagi hari dari Cidahu Camping Ground | Foto : Dok. Warga

Gunung Panggilan Petualangan dan Puncak Pencapaian

Gunung telah lama menjadi magnet yang tak terhindarkan bagi jiwa-jiwa petualang, melampaui sekadar bentukan geografis menjadi simbol tantangan dan pencapaian diri. Bagi para pendaki, gunung adalah arena suci di mana mereka dapat menguji batas fisik dan mental. Proses pendakian yang menuntut daya tahan, perencanaan strategis, dan kemampuan menghadapi cuaca ekstrem adalah bentuk meditasi bergerak. Mencapai puncak bukan hanya tentang menaklukkan ketinggian, tetapi juga tentang menaklukkan diri sendiri melawan keraguan, kelelahan, dan ketakutan. Pemandangan luar biasa yang tersaji dari puncak, seringkali di atas lautan awan, menjadi hadiah sepadan yang memberikan rasa puas, kerendahan hati, dan perspektif baru tentang keagungan alam.

Lebih dari sekadar olahraga ekstrem, mendaki gunung adalah pencarian koneksi yang mendalam dengan alam dan diri sendiri. Jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota, pendaki memasuki ekosistem yang tenang dan murni. Hutan yang lebat, udara yang dingin, dan kesunyian yang diselingi suara alam memungkinkan refleksi diri yang jarang didapatkan di lingkungan sehari-hari. Pengalaman ini sering kali menumbuhkan penghargaan yang lebih besar terhadap lingkungan hidup dan pentingnya konservasi. Selain itu, pendakian juga erat kaitannya dengan persaudaraan (kamaraderie); kesulitan yang dihadapi bersama di jalur pendakian menciptakan ikatan kuat dan rasa saling percaya antaranggota tim, menjadikannya pengalaman sosial yang berharga.

Namun, menjadi tujuan para pendaki, gunung juga menuntut rasa hormat dan persiapan yang serius. Pesona puncak selalu dibarengi risiko yang signifikan, mulai dari hipotermia, Acute Mountain Sickness (AMS), hingga bahaya longsor. Oleh karena itu, para pendaki yang bertanggung jawab selalu menekankan pentingnya etika pendakian dan prinsip Leave No Trace (tidak meninggalkan jejak). Gunung adalah rumah bagi flora dan fauna, serta sumber air tawar krusial. Pendakian yang etis dengan membawa turun sampah, tidak merusak vegetasi, dan menghormati jalur pendakian adalah cara untuk memastikan bahwa tujuan petualangan ini tetap lestari dan dapat dinikmati oleh generasi pendaki berikutnya.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini