Trauma di Balik Ledakan SMAN 72 Ternyata Balas Dendam Perundungan, Mendorong Refleksi Nasional

Sukabumiupdate.com
Senin 10 Nov 2025, 19:04 WIB
Trauma di Balik Ledakan SMAN 72 Ternyata Balas Dendam Perundungan, Mendorong Refleksi Nasional

Ilustrasi suasana pasca insiden di SMAN 72 Penyelidikan intensif yang dilakukan oleh pihak kepolisian, termasuk Densus 88 Antiteror Polri dan Puslabfor, mengarah pada satu motif utama (Digital Image:Gemini)

SUKABUMIUPDATE.com - Insiden ledakan yang mengguncang Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara, beberapa waktu lalu, tidak hanya menimbulkan korban luka dan kerusakan fisik, tetapi juga mengungkap luka sosial yang mendalam: perundungan (bullying).

Penyelidikan intensif yang dilakukan oleh pihak kepolisian, termasuk Densus 88 Antiteror Polri dan Puslabfor, mengarah pada satu motif utama: aksi balas dendam seorang siswa berinisial FN (17) yang diduga kuat menjadi korban perundungan di sekolah tersebut.

Penyelidik Polri telah mengonfirmasi bahwa motif utama di balik aksi tragis ini adalah balas dendam yang dipicu oleh perundungan berkepanjangan yang dialami terduga pelaku di lingkungan sekolah. Berdasarkan keterangan awal dan hasil pemeriksaan terhadap lingkungan sekitar, FN (siswa kelas 12) diduga telah lama menjadi target bullying secara verbal maupun psikologis, menciptakan akumulasi tekanan emosional yang berujung pada keputusan ekstrem ini.

Selain faktor balas dendam, terdapat indikasi bahwa pelaku juga berencana melakukan aksi bunuh diri setelah meledakkan bom rakitan, menunjukkan tingkat keputusasaan yang parah akibat isolasi dan trauma yang ia rasakan. Kasus ini menyoroti kegagalan sistem pengawasan sekolah dan lingkungan sosial dalam mendeteksi dan menghentikan bullying sebelum mencapai titik kritis.

Baca Juga: Serunya Belajar Literasi Lewat Storytelling, TK Kartika Cisaat Kunjungi Diarpus Sukabumi

Barang Bukti dan Keterkaitan Ideologi Menelisik Paparan Ekstrem

Dalam penggeledahan dan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP), aparat menemukan bukti material yang memperkuat sifat terencana dari aksi ini. Ditemukan total tujuh peledak, yang terdiri dari empat buah bom rakitan aktif (memiliki daya ledak) dan sisanya berupa serbuk yang berpotensi menimbulkan ledakan. Selain itu, ditemukan pula dua benda menyerupai senjata api, yakni satu laras panjang dan satu pistol revolver, yang kemudian dikonfirmasi sebagai senjata mainan. Yang sangat mengkhawatirkan adalah temuan pada senjata mainan tersebut terdapat tulisan-tulisan yang mengacu pada nama-nama pelaku terorisme di luar negeri.

Temuan ini mendorong Densus 88 untuk melakukan penyelidikan mendalam mengenai seberapa jauh paparan ideologi ekstrem atau konten kekerasan yang diakses melalui media sosial telah memengaruhi pola pikir dan tindakan pelaku. Analisis digital terhadap riwayat komunikasi dan aktivitas online FN sedang dilakukan untuk menentukan adanya keterlibatan pihak ketiga atau pengaruh radikalisasi.

Mengingat banyaknya korban luka fisik dan trauma psikis, pemerintah dan lembaga terkait bergerak cepat untuk pemulihan, melibatkan tim psikolog dari Polda Metro Jaya, KPAI, dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Fokus utama adalah pada pendampingan psikososial intensif bagi 90 lebih korban siswa yang terpapar insiden tersebut.

Baca Juga: KH Ahmad Sanusi: Pahlawan Sukabumi, Sang Matahari Ilmu yang Tak Pernah Padam

Tragedi ini menjadi lonceng peringatan bagi seluruh ekosistem pendidikan di Indonesia. Insiden yang berakar dari perundungan ini memicu dorongan kuat untuk mengimplementasikan pencegahan kekerasan di sekolah secara serius dan sistematis.

Ilustrasi adegan konseling trauma healing di dalam kelas SMAN 72.Ilustrasi adegan konseling trauma healing di dalam kelas SMAN 72. (Digital Image: Gemini)

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menekankan pentingnya implementasi penuh Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). Peraturan ini bukan sekadar formalitas, melainkan panduan operasional yang mewajibkan setiap sekolah untuk:

  1. Pembentukan TPPK yang Berdaya: Pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) adalah wajib dan harus terdiri dari unsur guru, komite sekolah, dan perwakilan siswa. TPPK harus berfungsi sebagai gardu terdepan yang aktif menerima laporan (termasuk anonim), melakukan investigasi awal, dan memberikan tindakan korektif serta sanksi tegas tanpa toleransi (zero tolerance) terhadap segala bentuk kekerasan, mulai dari bullying verbal hingga kekerasan fisik.
  2. Mekanisme Pelaporan Aman: Sekolah harus menyediakan saluran pengaduan yang aman, rahasia, dan mudah diakses bagi siswa yang menjadi korban atau menyaksikan kekerasan. Kerahasiaan pelapor sangat penting untuk menghilangkan rasa takut akan pembalasan (retaliation).
  3. Keterlibatan Guru BK: Peran Guru Bimbingan dan Konseling (BK) harus diperkuat sebagai early warning system. Guru BK harus dilatih untuk mendeteksi tanda-tanda awal korban bullying (seperti perubahan perilaku, penurunan nilai, atau isolasi diri) serta mendampingi pelaku untuk memahami konsekuensi tindakannya.

Baca Juga: "Si Godeng” Lay Ting Yung Pahlawan Senyap Lintas Etnis dari Jantung Revolusi Sukabumi

Penekanan pada Sekolah Ramah Anak dan Literasi Digital

Selain aspek regulasi, KPAI mendesak agar prinsip Sekolah Ramah Anak (SRA) diimplementasikan secara menyeluruh, di mana lingkungan sekolah harus menciptakan suasana inklusif dan non-diskriminatif.

Di sisi lain, menanggapi temuan terkait konten ekstrem, pemerintah juga mendorong peningkatan literasi digital bagi siswa dan orang tua. Hal ini bertujuan untuk membekali mereka dengan kemampuan memfilter dan menghindari paparan konten kekerasan, hate speech, dan ideologi ekstrem yang dapat merusak mentalitas dan memicu tindakan kekerasan.

Tentu, ini adalah pengembangan detail mengenai peran Guru Bimbingan dan Konseling (BK) dan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) dalam sistem pencegahan bullying di sekolah. Pencegahan bullying yang efektif memerlukan dua pilar utama: pendeteksian dini dan intervensi (yang menjadi peran Guru BK) serta penanganan formal dan pencegahan sistemik (yang menjadi peran TPPK).

  1. Peran Guru Bimbingan dan Konseling (BK)

Guru BK adalah "gerbang depan" dan sistem peringatan dini (early warning system) dalam isu kekerasan dan bullying di sekolah. Peran mereka bersifat proaktif, preventif, dan intervensif.

  • Deteksi Dini dan Pemetaan Risiko:
    • Guru BK secara rutin harus mengamati dan mendeteksi perubahan perilaku mendadak pada siswa (korban maupun pelaku), seperti penurunan prestasi, isolasi diri, kecemasan berlebihan, atau agresivitas yang meningkat.
    • Mereka bertugas memetakan area dan kelompok siswa yang memiliki risiko tinggi menjadi korban atau pelaku bullying.
  • Konseling Preventif dan Individual:
    • Memberikan konseling individu kepada korban untuk memulihkan rasa percaya diri dan mengatasi trauma.
    • Melakukan intervensi perilaku pada siswa yang terindikasi sebagai pelaku untuk mengidentifikasi akar masalah perilaku mereka (misalnya, masalah keluarga, kontrol emosi yang buruk) dan memberikan edukasi empati.
  • Program Psikoedukasi:
    • Mengadakan sesi psikoedukasi rutin bagi seluruh siswa tentang bahaya bullying, cyberbullying, cara berinteraksi yang sehat, dan pentingnya menjadi bystander yang aktif (melaporkan, bukan diam).
    • Memberikan pelatihan keterampilan sosial (social skills) dan manajemen emosi.
  • Penghubung Laporan:
    • Bertindak sebagai penghubung rahasia bagi siswa yang takut melaporkan bullying. Informasi dari siswa harus dilindungi kerahasiaannya sebelum diteruskan ke TPPK untuk penanganan formal.

Baca Juga: Lirik Lagu Apa Salahnya Rara Sudirman, Tentang Keberanian Jadi Diri Sendiri

  1. Peran Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK)

TPPK adalah badan yang dibentuk berdasarkan Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023. Peran TPPK bersifat institusional dan fokus pada penanganan formal serta perubahan kebijakan internal sekolah.

  • Penerima dan Penindak Lanjut Laporan:
    • TPPK menjadi saluran resmi untuk menerima segala laporan kekerasan, baik dari siswa, guru, orang tua, maupun masyarakat.
    • Mereka wajib melakukan penyelidikan cepat dan tidak memihak terhadap laporan yang masuk, termasuk mengumpulkan bukti, mewawancarai saksi, korban, dan terduga pelaku.
  • Penetapan Sanksi dan Intervensi:
    • Berdasarkan hasil penyelidikan, TPPK berhak menetapkan sanksi tegas bagi pelaku sesuai dengan tingkat kekerasan yang dilakukan, dengan prinsip tanpa toleransi (zero tolerance). Sanksi ini harus bersifat mendidik dan mencegah pengulangan.
    • TPPK berkoordinasi dengan Guru BK dan pihak luar (seperti Dinas Sosial atau kepolisian, jika perlu) untuk memastikan intervensi pemulihan diberikan kepada korban dan pelaku.
  • Evaluasi dan Kebijakan Preventif:
    • Mereka bertugas mengevaluasi iklim sekolah secara berkala dan mengidentifikasi celah keamanan atau kebijakan yang memungkinkan kekerasan terjadi.
    • TPPK merekomendasikan perubahan kebijakan internal sekolah, seperti penempatan kamera pengawas di area rentan atau penyesuaian tata tertib untuk lebih tegas menindak bullying.
  • Edukasi Sekolah Menyeluruh:
    • Melakukan sosialisasi secara masif kepada seluruh warga sekolah termasuk guru dan staf administrasi mengenai definisi kekerasan, prosedur pelaporan, dan konsekuensi hukum/sekolah dari tindakan kekerasan.

Baca Juga: Karamnya Kapal Minajaya, Sisa Mesin Jadi Sejarah Wisata Ikonik di Selatan Sukabumi

Singkatnya, TPPK bertindak sebagai institusi penegak aturan anti-kekerasan, sementara Guru BK bertindak sebagai penyedia dukungan psikologis dan pencegahan interpersonal.

Tragedi di SMAN 72 Kelapa Gading adalah cerminan kegagalan kolektif dalam melindungi anak-anak dari ancaman bullying dan kekerasan, menegaskan bahwa tugas menciptakan lingkungan pendidikan yang aman tidak hanya berada di tangan guru dan kepala sekolah, tetapi merupakan tanggung jawab bersama seluruh ekosistem: dari orang tua, pemerintah, hingga siswa itu sendiri.

Melalui penguatan fungsi TPPK sebagai penegak disiplin anti-kekerasan, dukungan aktif terhadap peran Guru BK sebagai penyedia layanan psikososial, dan implementasi menyeluruh Kurikulum Merdeka yang menekankan pada penguatan karakter dan empati, diharapkan celah-celah kerentanan yang memicu tindakan ekstrem dapat ditutup.

Hanya dengan komitmen bersama untuk mewujudkan budaya sekolah yang inklusif, suportif, dan bebas dari rasa takut, kita dapat memastikan bahwa insiden memilukan seperti ini tidak akan terulang, menjadikan sekolah benar-benar sebagai rumah kedua yang aman bagi setiap anak bangsa.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini