SUKABUMIUPDATE.com - Ledakan yang terjadi di masjid SMAN 72 Kelapa Gading pada Jumat, 7 November 2025, pukul 12.30 WIB, telah menjadi fokus nasional dan melampaui insiden keamanan biasa, dengan total 20 korban luka termasuk 15 siswa. Meskipun sumber ledakan diduga berasal dari perangkat sound system, yang paling mengkhawatirkan adalah temuan barang bukti di lokasi, dua senjata rakitan yang memuat kode ideologis.
Dugaan kuat bahwa korban, dan kemungkinan pelaku, adalah pelajar, memperburuk urgensi investigasi, mengindikasikan bahwa ideologi teror telah menyusup ke lingkungan sekolah. Penyelidik kini mencermati tulisan tangan pada senjata rakitan tersebut yang berfungsi sebagai pesan singkat yang jelas.
Pencantuman nama "Brenton Tarrant" (pelaku penembakan masjid Christchurch 2019) dan "Alexandre Bissonnette" (pelaku penembakan masjid Quebec 2017) adalah bukti ideologis yang gamblang. Pengkultusan terhadap kedua pelaku ini dan penargetan tempat ibadah Muslim memberikan indikasi kuat bahwa aksi di Jakarta tidak berdiri sendiri, melainkan terinspirasi oleh rantai ideologi kekerasan transnasional yang secara eksplisit memusuhi komunitas Muslim.
Baca Juga: Dibintangi Opie Kumis-Bucek Depp, Ujunggenteng Sukabumi Jadi Lokasi Syuting Film “Beneran Horor”
Temuan simbolik menuntut penelusuran segera terhadap jejak digital pelaku untuk mengidentifikasi konsumsi konten ekstremis, terutama yang berkaitan dengan "The Great Replacement Theory" (ilustrasi:Sora)
Temuan tersebut menuntut penelusuran segera terhadap jejak digital pelaku untuk mengidentifikasi konsumsi konten ekstremis, terutama yang berkaitan dengan "The Great Replacement Theory", teori yang mendasari serangan Tarrant.
Frasa "For Agartha," bersamaan dengan tulisan provokatif "Welcome to Hell," berfungsi sebagai kode untuk membedakan motif ideologis. Agartha adalah mitos kuno tentang peradaban utopis tersembunyi, yang dalam konteks ekstremis modern telah disalahgunakan untuk melambangkan "Tatanan Murni" yang didambakan teroris sayap kanan.
Ideologi yang dikenal sebagai Akselerasionisme (Accelerationism) berargumen bahwa tatanan ideal ini hanya dapat dicapai setelah kehancuran peradaban yang ada sebuah kekacauan sosial yang harus dipicu oleh aksi kekerasan. Oleh karena itu, tulisan "For Agartha" secara dugaan adalah klaim motif Akselerasionis, menegaskan bahwa ledakan di masjid SMAN 72 dilihat oleh pelaku sebagai "katalis" atau "ritual" yang diperlukan untuk mempercepat kekacauan tersebut.
Pola ini sangat mirip dengan penggunaan simbol esoteris lain yang digunakan ekstremis untuk memberikan lapisan pembenaran filosofis di luar justifikasi politik konvensional.
Baca Juga: Pamali Nggak Sih? 20 Larangan Unik dalam Budaya Sunda
Fakta bahwa korban dan terduga pelaku diduga berasal dari kalangan pelajar meningkatkan dimensi ancaman, menunjukkan bahwa platform daring telah berhasil menyusup ke lingkungan sekolah dengan menyajikan narasi ekstremis yang dikemas dalam bentuk meme, jargon, atau mitos esoteris yang menarik bagi remaja yang mencari identitas.
Tim investigasi forensik kini menghadapi tantangan ganda: memastikan mekanisme ledakan dan keterkaitannya dengan senjata rakitan, serta memetakan jaringan radikalisasi siber yang menyalurkan ideologi Tarrant dan Bissonnette kepada pelajar. Respon pemerintah harus meluas dari penegakan hukum murni menjadi strategi kontra-narasi dan intervensi psikososial, yang dirancang khusus untuk mengidentifikasi dan melawan manipulasi ideologis berbasis mitologi di kalangan generasi muda sebelum mereka bertindak atas nama "Agartha" atau utopia ekstremis lainnya.
Pergeseran ancaman teror yang diindikasikan oleh temuan "FOR AGARTHA" di lingkungan sekolah SMAN 72 menuntut respons preventif yang komprehensif, karena ideologi Akselerasionisme telah terbukti mampu meradikalisasi remaja melalui jalur esoteris. Institusi pendidikan harus segera bertindak sebagai garis pertahanan pertama dengan memprioritaskan Literasi Kritis dan Kewaspadaan Simbolis.
Baca Juga: Kidung Agung Tarawangsa Melodi untuk Dewi Sri, Manifestasi Syukur Agraris Sunda.
Literasi Kritis dan Kewaspadaan Simbolis adalah dua keterampilan utama yang dibutuhkan untuk melawan ancaman radikalisasi modern, terutama di kalangan remaja. Literasi Kritis adalah kemampuan untuk tidak hanya membaca atau menerima informasi, tetapi juga menganalisis dan mempertanyakan sumber, motif, dan agenda tersembunyi di balik pesan yang dikonsumsi, mendorong individu menjadi pemikir skeptis alih-alih penerima pasif. Keterampilan ini sangat penting untuk menyaring narasi ekstremis di dunia maya yang sering dikemas sebagai fakta.
Sementara itu, Kewaspadaan Simbolis adalah kemampuan untuk mengenali dan memahami kode-kode rahasia, jargon, meme, atau simbol esoteris (seperti kasus "Agartha" atau "Black Sun") yang digunakan oleh kelompok ekstremis untuk merekrut dan berkomunikasi secara terselubung.
Contoh kasus ketika remaja membaca konten di forum daring yang memuji kekerasan, Literasi Kritis mendorong mereka untuk bertanya: "Apakah informasi ini benar? Siapa orang-orang yang mendukungnya? Apa untungnya bagi mereka jika saya ikut melakukan kekerasan?"
Kewaspadaan Simbolis memastikan bahwa para pendidik, orang tua, dan aparat keamanan tidak hanya fokus pada simbol teror tradisional, tetapi juga mampu membongkar makna baru yang radikal di balik simbol-simbol yang sering dibajak dari mitos atau budaya pop, yang menjadi pintu masuk ideologi kekerasan seperti Akselerasionisme ke dalam lingkungan sekolah. Kedua keterampilan ini berfungsi sebagai benteng pertahanan pertama, mengubah target pasif menjadi individu yang mampu mengidentifikasi dan menolak manipulasi ideologis.
Beberapa pakar mengatakan, guru dan staf Bimbingan Konseling harus menerima pelatihan khusus untuk mengenali kode-kode ekstremis non-konvensional (seperti Black Sun, Agartha, atau jargon Akselerasionis) yang sering tersembunyi dalam meme dan bahasa gaul daring. Langkah-langkah ini harus didukung oleh peran sentral orang tua yang harus secara aktif memahami ekosistem digital anak mereka. Begitu juga dengan aparat penegak hukum perlu memperluas fokus intelijen siber untuk memetakan jaringan dan pola penyebaran kode Agartha di Indonesia, menargetkan dark web dan platform terenkripsi yang menjadi sarang rekrutmen, karena ancaman ini adalah ideologi yang diekspor secara transnasional.

