SUKABUMIUPDATE.com - Di tengah suara tembakan dan pekik perjuangan yang heroik di Sukabumi pada masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1949), tersembunyi sebuah kisah kesetiaan yang sunyi, di balik etalase sebuah toko. Kisah itu adalah milik Lay Ting Yung, seorang pedagang Tionghoa perantau asal Moyan Canton yang telah menetap di Sukabumi sejak 1915, dan lebih akrab disapa "Si Godeng."
Lay Ting Yung bukanlah seorang komandan militer atau pejabat tinggi, melainkan seorang pahlawan sipil yang mempertaruhkan segalanya. Kisahnya membuktikan bahwa jiwa nasionalisme tidak mengenal sekat suku atau ras, menjadi simbol nyata dari pepatah bahwa perjuangan bukan hanya milik yang berseragam.
Toko miliknya di pusat kota Sukabumi berada di lokasi yang sangat strategis, menjadikannya titik yang sempurna, namun juga paling berbahaya, untuk kegiatan rahasia. Di mata penjajah Belanda dan NICA, toko itu hanyalah tempat bisnis biasa. Namun, bagi para pejuang kemerdekaan termasuk laskar rakyat dan anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR) ia adalah denyut nadi logistik, sebuah surga tersembunyi yang menjaga semangat perlawanan tetap menyala. Fungsi ganda toko Lay Ting Yung adalah kunci keberhasilan jaringan perjuangan di Sukabumi. Secara lahiriah, ia melayani pembeli seperti biasa. Namun, di bagian belakang atau ruang rahasianya, toko itu bertransformasi menjadi:
- Gudang Amunisi Vital: Tempat persembunyian yang aman untuk senjata dan amunisi, aset terpenting perlawanan.
- Markas Pertemuan Rahasia: Titik strategis bagi para pejuang untuk bersembunyi, merencanakan aksi, dan menyalurkan informasi intelijen penting.
- Penyedia Logistik: Sumber pangan dan kebutuhan pokok yang vital untuk kelangsungan perlawanan militer lokal.
Baca Juga: Karamnya Kapal Minajaya, Sisa Mesin Jadi Sejarah Wisata Ikonik di Selatan Sukabumi
Lay Ting Yung (kesetiaan logistik). Ketiganya membentuk narasi utuh tentang bagaimana sebuah kota kecil memberikan kontribusi monumental pada kemerdekaan (Gambar ilustrasi)
Pengorbanan yang Melampaui Risiko Kematian
Bayangkan risiko yang diemban oleh "Si Godeng" dan keluarganya. Setiap senapan yang disembunyikan, setiap pertemuan yang diadakan, adalah ancaman hukuman mati jika ketahuan oleh musuh. Namun, kecintaan dan loyalitasnya pada tanah air, Indonesia, jauh lebih besar melampaui risiko tersebut. Lay Ting Yung dan keluarganya memilih untuk ambil bagian aktif, menegaskan posisi etnis Tionghoa sebagai bagian integral dari perjuangan bangsa.
Aksinya tidak hanya bersifat logistik. Pada 21 Agustus 1945, tepat sehari setelah pengambilalihan Gedung Juang Sukabumi, Lay Ting Yung menyediakan gulungan kain merah dan putih yang kemudian dijahit dan dikibarkan untuk pertama kalinya sebagai bendera Merah Putih di alun-alun dan depan Masjid Agung Sukabumi. Tindakan sederhana namun bermakna ini menunjukkan komitmen totalnya untuk memastikan Sukabumi berdiri tegak di bawah panji Merah Putih. Ia bahkan tercatat aktif ikut mengangkat senjata saat pasukan Belanda menyerbu.
Legasi dan Monumen Persatuan Lintas Etnis
Setelah revolusi usai, jasa-jasa Lay Ting Yung diakui secara istimewa. Kepahlawanannya bukanlah yang diakui melalui gelar militer, melainkan melalui penghormatan abadi dari rakyat. Nama julukannya, "Si Godeng," diabadikan menjadi nama perempatan jalan yang sangat strategis di jantung Kota Sukabumi (pertemuan Jalan R.H Didi Sukardi dan Jalan Pemuda).
Baca Juga: Jangan Kebablasan! Ini Dampak Tidur Terlalu Lama bagi Tubuh
Perempatan Si Godeng bukan sekadar nama geografis, ini adalah monumen hidup tentang Persatuan Lintas Etnis yang mengingatkan pada kolaborasi erat antara etnis Tionghoa dan pribumi dalam merebut kemerdekaan. Selain itu, Heroisme Sipil yang mengabadikan pentingnya dukungan non-militer yang penuh risiko dalam meraih kedaulatan.
Kisah Lay Ting Yung menjadi pelajaran berharga: beliau mengajarkan bahwa heroisme dapat diwujudkan melalui kesetiaan diam-diam, pengorbanan logistik, dan kesediaan untuk mengambil risiko ekstrem demi cita-cita bangsa. "Si Godeng" adalah pahlawan Sukabumi yang bekerja tanpa sorot kamera, namun meninggalkan warisan yang tak terhapuskan: bukti nyata bahwa Indonesia adalah rumah bersama yang dibangun oleh semua elemen masyarakat, tanpa memandang latar belakang.
Keturunan Lay Ting Yung sendiri masih berdomisili di Sukabumi, menjaga warisan sejarah dan kenangan akan perjuangan sang pahlawan senyap ini. Kisah Lay Ting Yung adalah contoh luar biasa dari kontribusi sipil lintas etnis dalam perjuangan kemerdekaan. Berdasarkan pencarian, terdapat banyak contoh lain tentang pahlawan sipil dan peran lintas etnis yang tidak kalah pentingnya, terutama dari komunitas Tionghoa dan juga kelompok sipil lainnya, seperti yang tertera di bawah ini.
Baca Juga: KDM Respons Keluhan Mang Kifly tentang Warga Girijaya Sukabumi yang Cari Bantuan Hukum
Pahlawan Sipil Lintas Etnis dalam Revolusi Indonesia
- Peran Etnis Tionghoa di Media dan Politik
- Penyebar Nasionalisme melalui Pers: Surat kabar yang didirikan oleh warga etnis Tionghoa, seperti Mingguan Sin Po, memiliki peran krusial. Sin Po bahkan menjadi koran pertama yang memuat teks lengkap lagu "Indonesia Raya" ciptaan Wage Rudolf Soepratman.
- Dukungan Finansial: Pers Tionghoa seperti Sin Po aktif mengumpulkan dana anti-Jepang (misalnya, mengumpulkan dana anti-Jepang sebanyak satu juta gulden) dan menolak memuat iklan Jepang, menunjukkan sikap politik yang tegas pro-Republik.
- Lihat Koen Hian: Seorang tokoh Tionghoa nasionalis yang pada 11 Juli 1945, di masa BPUPKI, menyampaikan aspirasi agar seluruh orang Tionghoa yang lahir di Indonesia dapat langsung diakui sebagai warga negara, menunjukkan komitmen pada Republik yang akan berdiri.
- Kontribusi Logistik dan Perlindungan Sipil
- Yo Kim Can: Seorang pengusaha rekaman yang diberi hak cipta oleh W.R. Supratman untuk merekam lagu "Indonesia Raya" dalam bentuk piringan hitam, menjadikannya saksi bisu dan penyebar identitas kebangsaan yang penting.
- Kontribusi di Daerah: Seperti Lay Ting Yung di Sukabumi, banyak warga Tionghoa di berbagai kota (seperti Surabaya dan Medan) yang memberikan bantuan dan dukungan selama masa revolusi, baik dengan menyumbangkan logistik, menyembunyikan pejuang, atau bahkan ikut dalam aksi-aksi kemiliteran. Bahkan beberapa di antaranya gugur dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
- Dukungan di Surabaya: Etnis Tionghoa di Surabaya bersimpati pada perjuangan kemerdekaan, memberikan dukungan dalam menjaga stabilitas keamanan dan menyediakan logistik, menunjukkan bahwa mereka bukan kelompok yang terpisah dari masyarakat setempat.
Baca Juga: 5 Alasan Harus Menggunakan DAMRI untuk Perjalanan Anda
- Simbolisme Persatuan
- Museum Sumpah Pemuda: Gedung tempat diselenggarakannya Kongres Pemuda II (Sumpah Pemuda) pada tahun 1928, yang dulunya adalah tempat tinggal pemuda-pemuda pelajar, disewakan oleh seorang tokoh Tionghoa dan menjadi saksi bisu persatuan pemuda dari berbagai suku.
Kisah-kisah ini, termasuk Lay Ting Yung, menyoroti bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah hasil dari solidaritas nasional yang melampaui sekat-sekat etnis dan jabatan formal. Pahlawan sejati datang dari berbagai lapisan masyarakat. Peran penting lainnya dari komunitas Tionghoa dalam perjuangan kemerdekaan, yaitu peran pers dan media yang digerakkan oleh mereka, khususnya melalui Surat Kabar Sin Po dan tokoh Lihat Koen Hian.
Perjuangan kemerdekaan tidak hanya di medan perang, tetapi juga di meja redaksi. Surat Kabar Sin Po yang didirikan oleh warga etnis Tionghoa merupakan salah satu media paling berpengaruh pada masanya dan memainkan peran penting dalam menanamkan semangat nasionalisme:
- Penyebar Simbol Kebangsaan. Pencetak "Indonesia Raya": Sin Po adalah surat kabar pertama yang berani memuat teks lengkap lagu "Indonesia Raya" ciptaan Wage Rudolf Soepratman. Tindakan ini sangat berisiko di bawah pengawasan ketat pemerintah kolonial, tetapi Sin Po mengambil risiko tersebut untuk menyebarkan simbol identitas bangsa yang baru lahir.
- Sikap Politik yang Tegas Pro-Republik. Anti-Kolonial: Sin Po secara konsisten mengambil sikap yang tegas anti-kolonial dan pro-Republik. Pada masa pendudukan Jepang, media ini berani menolak memuat iklan Jepang dan aktif dalam mengumpulkan dana anti-Jepang (tercatat pernah mengumpulkan jutaan gulden). Melawan Propaganda: Setelah Proklamasi Kemerdekaan, pers Tionghoa berfungsi sebagai saluran informasi yang melawan propaganda Belanda dan Sekutu, serta memperkuat dukungan warga Tionghoa terhadap negara Republik Indonesia yang baru merdeka.
Baca Juga: Kisah Pahlawan Sukabumi, 3 Pilar Penegak Sang Saka di Bumi Priangan
Lihat Koen Hian Tokoh Nasionalis dalam Pembentukan Negara
Lihat Koen Hian adalah salah satu tokoh Tionghoa nasionalis yang perannya signifikan dalam masa persiapan kemerdekaan: Anggota BPUPKI: Ia dikenal sebagai tokoh yang berpartisipasi aktif dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Menuntut Kesetaraan Warga Negara: Pada sidang BPUPKI tanggal 11 Juli 1945, Lihat Koen Hian menyampaikan aspirasi yang sangat penting: ia menuntut agar seluruh orang Tionghoa yang lahir di Indonesia dapat langsung diakui sebagai warga negara Indonesia. Tuntutan ini menunjukkan komitmen total komunitas Tionghoa terhadap Republik yang akan berdiri dan memastikan inklusi mereka dalam fondasi hukum negara, jauh sebelum masalah kewarganegaraan menjadi isu yang rumit setelah kemerdekaan.
Peran Sin Po dan Lihat Koen Hian menegaskan bahwa perjuangan kemerdekaan melibatkan kontribusi intelektual dan politik yang kuat dari komunitas Tionghoa, bukan hanya dukungan logistik seperti Lay Ting Yung. Mereka adalah pahlawan yang menggunakan pena dan pikiran untuk memperjuangkan kedaulatan dan kesetaraan.
Kisah Lay Ting Yung, sang "Si Godeng" dari Sukabumi, adalah narasi kuat yang melampaui biografi seorang individu. Ia adalah representasi kolektif dari heroisme sipil dan pengorbanan diam-diam yang menjadi tulang punggung revolusi, membuktikan bahwa keberanian sejati seringkali ditemukan di balik etalase toko, bukan hanya di medan perang. Tokonya yang berfungsi ganda sebagai markas rahasia dan gudang amunisi melambangkan loyalitas yang tak tergoyahkan, di mana setiap senapan yang disembunyikan dan setiap pertemuan rahasia dipertaruhkan dengan nyawa dan masa depan keluarganya.
Baca Juga: Bupati Sukabumi Ajak Warga Teladani Perjuangan Para Pahlawan
Warisan terbesarnya bukanlah gelar formal, melainkan pengabadian namanya pada Perempatan Si Godeng sebuah monumen hidup yang berfungsi sebagai pengingat abadi bagi setiap warga Sukabumi. Perempatan itu bukan sekadar penanda geografis, melainkan sebuah prasasti simbolis yang mengabadikan persatuan lintas etnis antara Tionghoa dan pribumi, menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah perjuangan kolektif yang melibatkan hati, logistik, dan jiwa dari seluruh elemen masyarakat.
Lebih dari sekadar catatan sejarah, kisah Lay Ting Yung mengajarkan sebuah pelajaran abadi tentang nasionalisme sejati bagi generasi masa kini. Di tengah potensi gesekan sosial atau polarisasi, "Si Godeng" berdiri sebagai mercusuar inklusivitas, menunjukkan bahwa kecintaan pada tanah air diwujudkan melalui tindakan nyata, pengorbanan tanpa pamrih, dan kesediaan untuk berdiri tegak bersama di bawah panji Merah Putih, tanpa memandang latar belakang.
Lay Ting Yung adalah pahlawan senyap yang menolak sekat-sekat perbedaan dan memilih untuk berjuang demi cita-cita bangsa. Dengan demikian, mengenang Lay Ting Yung berarti menghormati kekuatan solidaritas dan mengenali bahwa setiap warga negara dengan profesi, latar belakang, dan status sosial apa pun memiliki peran krusial dalam menjaga dan membangun kedaulatan. Warisannya menginspirasi kita untuk memahami bahwa keberanian tidak selalu bersuara lantang, tetapi seringkali ditemukan dalam kesetiaan diam-diam dan pengorbanan yang berisiko tinggi demi kebaikan bersama.
(Dari berbagai sumber)



