SUKABUMIUPDATE.com - Pagi itu, Sukabumi terbangun dengan berita yang menyesakkan. Dalam satu hari, lima mayat ditemukan di lima lokasi berbeda. Tidak saling mengenal, tidak saling terhubung, tapi seolah dikumpulkan oleh waktu yang sama: satu hari yang muram, satu kabupaten yang diam.
Pada Sabtu (11/10/2025). Kasus-kasus tersebut terjadi di Kecamatan Surade, Ciemas, Cisaat, Cikidang, dan Purabaya. Tubuh-tubuh itu ditemukan di ladang, di jalan, di rumah, bahkan di sungai. Polisi datang, garis kuning dipasang, dan publik pun riuh di dunia maya. Tapi di balik gegap gempita pemberitaan, ada keheningan panjang yang menggantung. Lima kematian dalam satu hari.
Lucy Lidiawati Santioso, atau akrab disapa Bunda Lucy, ia merupakan Psikolog Forensik dari Universitas Insan Cita Indonesia (UICI), menilai fenomena semacam ini tak bisa dilepaskan dari beban psikologis kolektif masyarakat. Ia menyebutnya sebagai efek domino dari tekanan sosial yang terakumulasi lama.
“Kasus penemuan mayat dalam waktu berdekatan bisa menggambarkan adanya collective stress di tengah masyarakat. Dalam konteks psikologi sosial, ini bisa terjadi karena meningkatnya rasa tidak aman, beban hidup, atau menurunnya daya dukung sosial di lingkungan tempat tinggal,” ujar Lucy saat diwawancarai sukabumiupdate.com pada Minggu (19/10/2025).
Baca Juga: Kisah Wa Budi dan Sungai Cikaso Sukabumi: Ikatan Batin Masa Kecil Hingga Sumber Penghidupan
Dia menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi bermakna untuk menjaga kestabilan emosi. Namun, dalam lanskap kehidupan modern, terutama di daerah semi-urban seperti Sukabumi, hubungan sosial makin renggang. Orang saling berpapasan, tapi tidak benar-benar hadir satu sama lain.
“Kadang orang tak benar-benar ingin mati, tapi ingin berhenti merasa sakit. Ini tanda bahwa kita sedang berhadapan bukan dengan kematian semata, melainkan penderitaan yang tak tertolong.” kata Lucy.
Dalam psikologi forensik, rasa putus asa ekstrem seringkali tidak muncul secara tiba-tiba. Ia terbentuk dari lapisan-lapisan kecil kelelahan, tekanan ekonomi, konflik rumah tangga, relasi sosial yang hampa, hingga paparan terus-menerus terhadap berita negatif. Semua itu menciptakan mental fatigue, atau keletihan jiwa yang membuat seseorang kehilangan arah.
Dalam konteks masyarakat Sukabumi, yang kini berhadapan dengan beban ekonomi, perubahan sosial, dan derasnya arus digitalisasi, kondisi ini makin kompleks. Lucy menyebut gejala itu sebagai ‘trauma sunyi kolektif’, luka sosial yang tidak menimbulkan suara tapi terasa di udara.
“Kita hidup di tengah masyarakat yang terbiasa menahan diri. Banyak orang tidak tahu bagaimana cara meminta tolong, karena takut dianggap lemah. Padahal justru dari keterbukaan itulah, pertolongan bisa datang,” ujarnya.
Baca Juga: 2 Motor Adu Banteng di Cisaat Sukabumi, Remaja Perempuan Tewas Satu Luka Serius
Fenomena semacam ini, perlu ditanggapi dengan pendekatan sosial dan psikologis yang lebih manusiawi. Ia menyoroti pentingnya ruang aman komunitas, tempat warga bisa berbagi cerita tanpa rasa takut dihakimi. Entah melalui posyandu, kegiatan RT, atau kelompok diskusi di kampung; wadah kecil seperti itu bisa menjadi penyangga mental kolektif.
Dalam analisisnya, pemberitaan media juga berperan penting. Ia mengingatkan soal Werther Effect, fenomena di mana liputan tentang kematian bisa tanpa sengaja memicu tindakan serupa pada individu lain yang sedang rentan. Namun Lucy tidak menyalahkan media; ia justru menekankan pentingnya etika pemberitaan dan keseimbangan narasi.
“Berita kematian seharusnya tidak hanya berhenti di kronologi, tapi juga harus menghadirkan pesan empati. Bukan sensasi, melainkan kesadaran bahwa ada yang perlu diperbaiki dalam sistem sosial kita,” tegasnya.
Lebih jauh, Lucy melihat gejala meningkatnya angka kematian tak wajar ini sebagai puncak gunung es dari krisis sosial yang lebih besar. Masyarakat kehilangan daya lenting, yakni kehilangan kemampuan untuk bangkit setelah jatuh. Ia menyebut ini sebagai societal burnout, kelelahan sosial yang menyebabkan orang menjadi tumpul terhadap penderitaan sendiri maupun orang lain.
“Kita sering kali lebih cepat menghakimi dari pada mendengarkan. Padahal, empati adalah jembatan penyelamat bagi mereka yang hampir tenggelam. Yang dibutuhkan masyarakat bukan sekadar bantuan ekonomi atau layanan medis, tetapi rasa didengarkan. Sebab banyak kematian sunyi bermula dari percakapan yang tidak pernah terjadi.” Tutupnya dengan serius.
Baca Juga: Ngabodor itu Ngawadul? Ngabobodo Batur! Seni Memilih Kata Bohong dalam Budaya Sunda
Sementara itu, dari sudut pandang hukum dan kriminologi, Teddy Lesmana selaku Pakar Hukum Pidana Nusa Putra University, menilai fenomena lima penemuan mayat dalam sehari sebagai anomali sosial yang mencerminkan melemahnya radar sosial.
Teddy menjelaskan, Radar Sosial adalah kemampuan masyarakat untuk mengenali tanda-tanda bahaya di sekitar mereka, mulai dari perubahan perilaku, isolasi sosial, hingga tekanan hidup ekstrem. “Ketika lima orang meninggal dalam waktu yang hampir bersamaan tanpa terdeteksi sebelumnya, itu berarti kita kehilangan kepekaan terhadap lingkungan sendiri,” ujarnya.
Ia mencontohkan bagaimana struktur sosial di tingkat RT dan RW yang dulunya berfungsi sebagai sistem pengawasan sosial, kini lebih banyak menjadi unit administratif. “Kita sibuk urus surat domisili, tapi lupa memastikan siapa yang masih hidup di dalam rumah-rumah itu,” katanya getir.
Teddy juga memperkenalkan istilah temporal clustering, atau pengelompokan waktu dalam fenomena sosial dan kriminalitas. Dalam kasus ini, kata dia, kemunculan serentak lima kasus penemuan mayat bisa jadi bukan kebetulan murni. “Bisa ada faktor sosial yang mendorongnya: kelelahan hidup, tekanan ekonomi, atau isolasi sosial yang meningkat,” katanya.
Namun bagi Teddy, inti persoalannya bukan pada penyebab medis atau hukum semata, melainkan pada kegagalan kolektif menjaga solidaritas. “Kita terlalu cepat bereaksi setelah tragedi terjadi, tapi terlalu lambat membangun sistem pencegahan,” ujarnya.
Baca Juga: Jalan Rusak di Ruas Jampangkulon Sukabumi Dikeluhkan Warga, Mobilitas Warga Terganggu
Ia mengusulkan perlunya kriminologi empatik, yakni pendekatan yang tidak hanya melihat hukum dari sisi pelanggaran, tapi juga dari sisi kemanusiaan. “Ketika orang mati sendirian, itu bukan sekadar urusan medis atau kriminal. Itu pertanda ada yang tidak beres dengan tatanan sosial kita.”
Sementara itu, Barkah, pakar Ekonomi Bisnis Nusa Putra University, tidak menafsirkan fenomena lima mayat itu secara langsung. Ia justru mengajak melihat kondisi ekonomi Sukabumi hari-hari ini, sebuah latar besar yang mungkin tak kasat mata, tapi membentuk suasana batin masyarakat.
Menurut Barkah, ekonomi Sukabumi saat ini berada dalam situasi “tenang di permukaan, tapi genting di dalam. “Kalau kita lihat, angka pengangguran terbuka memang menurun di atas kertas. Tapi di lapangan, banyak warga hidup dari pekerjaan informal yang tak menentu, buruh tani harian, ojek, pedagang kecil, hingga pekerja lepas,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa Sukabumi menghadapi persoalan struktural: ketimpangan antara pertumbuhan ekonomi di pusat kota dan stagnasi di wilayah pinggiran. “Pembangunan memang terlihat di Cisaat, Cibadak, atau Palabuhanratu. Tapi begitu keluar dari area itu, Anda akan temui desa-desa yang masih bergantung pada remitan anaknya di luar kota,” katanya.
Barkah menilai, kondisi ini menciptakan tekanan hidup yang konstan. “Pendapatan rendah, biaya hidup meningkat, dan tidak ada jaminan sosial yang memadai. Banyak keluarga menggantungkan hidup dari penghasilan harian. Kalau satu hari tidak kerja, dapur bisa berhenti berasap,” ujarnya.
Ia juga menyebut fenomena hidden poverty, yakni kemiskinan tersembunyi di kalangan masyarakat menengah bawah yang tampak ‘baik-baik saja’ secara visual, tapi rentan secara ekonomi. “Mereka masih bisa makan, tapi tidak punya tabungan, tidak punya jaring pengaman. Sekali ada krisis, hidup mereka langsung goyah,” katanya.
Dalam pandangannya, tekanan ekonomi yang panjang ini membuat masyarakat kehilangan rasa aman sosial. “Ketika ekonomi tidak memberi kepastian, rasa cemas menjadi permanen. Dan kecemasan kolektif itu menular. Ia mungkin tidak langsung menyebabkan kematian, tapi menciptakan atmosfer sosial yang berat, di mana harapan makin sulit tumbuh,” jelasnya.
Barkah menutup dengan nada hati-hati, “Sukabumi itu punya potensi besar, tapi kalau ketimpangan terus melebar, kita akan punya masyarakat yang hidup dalam kelelahan kronis. Mereka tidak akan memberontak, tidak akan protes hanya diam dan perlahan hilang dari sistem,” ucapnya.
Dalam beberapa hari, berita lima penemuan mayat itu memudar dari linimasa. Tak lagi jadi bahasan di warung kopi, tak lagi muncul di beranda media sosial. Seperti banyak peristiwa tragis lain, ia menguap tanpa jejak emosional yang panjang. Tapi bagi mereka yang memperhatikan, hari itu meninggalkan bekas, bekas tentang “siapa kita sebagai masyarakat”.
Lucy, Teddy, dan Barkah berbicara dari tiga disiplin berbeda, namun garisnya sama: ada yang runtuh di dalam diri sosial kita. Tekanan hidup, isolasi sosial, dan ketimpangan ekonomi menciptakan ruang kosong yang tidak lagi diisi oleh kepedulian.
Fenomena ini bukan sekadar tentang kematian, melainkan tentang kehidupan yang kehilangan arah. Tentang bagaimana kita membiarkan kesunyian tumbuh di tengah keramaian, dan lupa bahwa tragedi sering kali berawal dari hal sederhana, dari seseorang yang tidak lagi disapa, dari tetangga yang tak lagi ditengok.