SUKABUMIUPDATE.com – Nama Prof. Dr. (H.C.) dr. Abu Hanifah Datuak Maharajo Ameh atau lebih dikenal sebagai Abu Hanifah mungkin tidak setenar tokoh pergerakan nasional lainnya. Namun, jejak perjuangan dan kiprahnya bagi bangsa Indonesia tercatat besar, baik di bidang kesehatan, politik, seni, maupun pendidikan.
Lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, pada 6 Januari 1906, Abu Hanifah dikenal sebagai pejuang kemerdekaan, seniman, dokter, dan politikus. Ia pernah dipercaya menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1949-1950 dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) serta sempat menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Brasil.
Jejak di Sukabumi
Mengutip dari buku Prof. DR. Abu Hanifah DT. ME Karya dan Pengabdiannya yang ditulis oleh G.A. Ohorella, disebutkan bahwa menjelang Proklamasi Kemerdekaan 1945, Abu Hanifah ditugaskan memimpin Rumah Sakit St. Lidwina Sukabumi, yang saat itu dikuasai Jepang.
Pada periode 1945-1947, ia aktif di dunia perlawanan rakyat. Abu Hanifah diangkat menjadi Ketua Pertahanan Daerah Keresidenan Bogor sekaligus Komandan Hizbullah Sukabumi dan merangkap Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID).
Baca Juga: 1.000 Peserta Ikuti Scale Up STIFIn Genetic, Aisah Dahlan hingga Jamil Azzaini Jadi Pembicara
Pada September 1946, di Sukabumi berdiri Madjelis Pembela Perjuangan Rakyat (MPPR), yang dipimpin Abu Hanifah bersama RS. Puraatmadja dan RM. Priatman. Kiprah ini menunjukkan peran pentingnya dalam mempertahankan eksistensi Republik di tengah agresi militer Belanda.
Namun, perjuangan itu membuatnya menjadi incaran. Saat Agresi Militer Belanda I pada 20 Juli 1947, Abu Hanifah ditangkap dan dibawa ke Bogor, kemudian dijebloskan ke Penjara Glodok Jakarta karena menolak tawaran Belanda untuk meninggalkan Indonesia dan mengakui kekuasaan kolonial.
Pada tahun 1947 Abu Hanifah menggabungkan diri dalam Partai Masyumi. Sejak itu pula ia menjadi salah seorang pemimpin pusat partai tersebut, dan dengan demikian ia memulai karirnya sebagai seorang politikus. Dalam rapat paripurna KNIP yang diselenggarakan di Malang pada tanggal 25 Februari sampai 5 Maret 1947, Abu Hanif ah bertindak sebagai ketua fraksi.
Menurut data lainnya, dalam daftar anggota Komiten Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Abu Hanifah pun mewakili Masyumi dan beralamat di Sukabumi.
Baca Juga: Pasar Merdeka Sehati di Cibitung, Hasil Jual Sembako Murah untuk Toilet Umum Warga
Politikus, Seniman, dan Intelektual
Selain di dunia perjuangan, Abu Hanifah juga dikenal luas sebagai seniman dengan nama pena El Hakim. Ia menulis naskah drama, novel, serta ikut menghidupkan dunia teater Indonesia bersama Usmar Ismail (adik kandungnya) dan Armijn Pane. Salah satu karyanya yang terkenal, Taufan di Atas Asia (1943), pernah dipentaskan oleh kelompok drama Maya.
Di bidang pendidikan, ia menyelesaikan studi kedokteran di STOVIA (1932) dan kemudian di Sekolah Tinggi Kedokteran hingga tamat pada 1940. Ia juga menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Akademi Belle Arte di Brasil.
Selain itu, Abu Hanifah tercatat aktif di media massa. Ia pernah menjadi redaktur majalah Jong Sumatra, Pemuda Indonesia, dan Indonesia Raja, serta ikut berperan dalam lahirnya Sumpah Pemuda 1928.
Baca Juga: Pahlawan Asal Sukabumi KH Ahmad Sanusi Diabadikan di Prangko Edisi HUT ke-80 RI
Akhir Hayat
Abu Hanifah wafat pada 4 Januari 1980 di RS Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta, akibat penyakit kelumpuhan di usia tuanya. Ia dimakamkan di TPU Karet Bivak Jakarta, bersebelahan dengan makam adiknya, Usmar Ismail.
Abu Hanifah meninggalkan seorang istri, tiga anak, dan empat cucu. Meski namanya jarang disebut dalam arus utama sejarah, kiprahnya sebagai pejuang, intelektual, dan seniman menorehkan jejak penting dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Sumber : Buku Prof. DR. Abu Hanifah DT. ME Karya dan Pengabdiannya yang ditulis oleh G.A. Ohorella dan sumber lainnya.