SUKABUMIUPDATE.com - Rumah itu kini lengang. Suara putra bungsu yang biasa menyelinap di antara riuh kakak-kakaknya, tidak terdengar lagi. Ibrahim (13 tahun), anak terakhir dari tujuh bersaudara, menjadi korban longsor di Kampung Babakan RT 17/06 Desa/Kecamatan Bojonggenteng, Kabupaten Sukabumi.
Tebing setinggi kurang lebih 15 meter di belakang rumah tidak kuat menahan air lalu runtuh, menerjang sebagian bangunan tempat Ibrahim dan keluarganya terlelap. Hujan deras yang mengguyur sejak tengah malam menjadi pemicu bencana yang merenggut nyawa remaja pendiam itu, Rabu dini hari (9/7/2025) sekira pukul 02.00 WIB.
Anita Ramdan (29 tahun), kakak pertama almarhum, menyebut Ibrahim sebagai anak yang tak banyak bicara. Pendiam, baik, dan jauh dari kenakalan khas remaja seusianya. “Dia baik, gak neko neko anaknya. Gak pernah kayak anak-anak lain, pendiam banget. Kalau ditanya dia ngejawab, gak ditanya mah diam. Kesehariannya emang di rumah, paling main handphone," ujarnya kepada sukabumiupdate.com saat ditemui di lokasi.
Ibrahim tinggal bersama ibunya, Ita (47 tahun), dan beberapa anggota keluarga lain. Sang ayah, Hamdan (60 tahun), saat kejadian sedang berada di luar kota untuk bekerja. Malam itu, delapan orang ada di rumah--tak satu pun menyangka, pagi akan tiba tanpa Ibrahim.
Rumah Ibrahim yang tertimpa longsor di Desa/Kecamatan Bojonggenteng, Kabupaten Sukabumi. | Foto: P2BK Bojonggenteng
Baca Juga: Longsor Sukabumi: Kesaksian Anita Menggali Reruntuhan, Temukan Sang Adik dalam Timbunan Tanah
Hari itu seharusnya menjadi awal dari langkah baru Ibrahim. Ia dijadwalkan mendaftar ulang ke SMPN 1 Bojonggenteng pada Kamis (10/7/2025). “Besok seharusnya daftar ulang, udah mau fotokopi (persyaratan pendaftaran). Hari ini rencana fotokopi berkas-berkas yang belum terpenuhi,” ucap Anita, suaranya nyaris tak terdengar.
Abdullah (27 tahun), kakak kedua Ibrahim, menambahkan bahwa adiknya dikenal sebagai anak yang selalu menurut dan tak pernah mengeluh. Sosok yang mandiri, menyimpan perasaan dalam diam, dan rajin menabung dari uang yang diberikan. “Orangnya baik, mau disuruh sama kakaknya, disuruh orang tua, selalu nurut, gak pernah ngeluh."
“Kalau ada apa-apa dia pendam. Misal ada kemauan, paling dia antar kakaknya dan dikasih uang, suka dikumpulin. Orang lain beli ini, dia enggak, selalu ngumpulin uang. Mandiri, orangnya baik, jarang berbicara, mau sama kakak atau orang tuanya," lanjut Abdullah.
Sehari sebelum bencana, ibunya sempat membelikan Ibrahim sepatu baru untuk sekolah. Dengan senyum malu-malu, ia mencoba sepatu dan jaket, lalu memotret dirinya sendiri di dalam kamar. Ia bahkan bertanya kepada kakak perempuannya yang lain, Aisyah, “Ganteng enggak?”
Malam itu, seperti biasa, Ibrahim masih terjaga. Ibunya sempat menegurnya agar tak tidur terlalu larut karena keesokan hari ia akan membantu mengantar keponakan sekolah. Tetapi takdir lebih dulu mengetuk. Ibrahim ditemukan dalam kondisi tak bernyawa. Kini, ia dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kampung Nyalindung, Desa Bojonggenteng.
Kepergian Ibrahim meninggalkan duka yang mendalam bagi keluarga dan kenangan tentang anak lelaki sederhana yang tumbuh tanpa banyak bicara.
Makam Ibrahim (13 tahun) di TPU Kampung Nyalindung, Desa/Kecamatan Bojonggenteng, Kabupaten Sukabumi, Rabu (9/7/2025). | Foto: SU/Ibnu Sanubari
Menggali Reruntuhan
Di antara suara hujan dan tanah yang menggemuruh, Anita Ramdan, kakak korban, masih mengingat detik-detik yang mengubah segalanya. “Jam satu (dini hari) belum terjadi apa-apa, soalnya masih bangun saya juga,” ucap dia.
Namun berselang beberapa puluh menit, sekira pukul 01.30 hingga 02.00 WIB, suasana berganti. Anita yang semula tertidur pulas, terbangun oleh panggilan saudaranya dari rumah sebelah. “Bangun-bangun banjir. Kirain banjir biasa, enggak ada longsornya atau longsornya cuma di ruangan TV,” katanya, mencoba menenangkan diri di tengah kenangan pahit itu.
Di dekat kamar Ibrahim dan keponakannya, Said (8 tahun), terdapat tebing setinggi sekitar 15 meter yang selama ini berdiri diam, namun tiba-tiba menjadi ancaman maut. Begitu menyadari situasi darurat, Anita berlari ke kamar adiknya dan menggedor pintu untuk membangunkan.
“Ibra bangun, Ibra bangun. Susah dikunci pintunya sama dia (almarhum). Saya manjat pakai kursi lewat atas, ternyata udah selutut saya tanah doang. Udah rata pakai tanah semua,” ujar dia dengan suara bergetar.
Keluarga yang panik hanya bisa mengandalkan tangan dan alat seadanya untuk menggali reruntuhan. Di tengah gelap, mereka menggali dengan harapan dan ketakutan. “Seadanya pakai tangan. Diambil yang pertama itu saudara saya yang kecil (Said), dia kakinya kelihatan, muncul sedikit, ditarik,” kata Anita.
Anita Ramdan (29 tahun) ketika dimintai keterangan oleh wartawan di tempat tinggalnya sekaligus lokasi longsor yakni di Kampung Babakan RT 17/06 Desa/Kecamatan Bojonggenteng, Kabupaten Sukabumi, Rabu (9/7/2025). | Foto: SU/Ibnu Sanubari
Said berhasil diselamatkan dari timbunan tanah. Namun harapan yang sama tak berlaku bagi Ibrahim. Upaya menyelamatkannya datang terlambat. Ia ditemukan dengan tubuh yang sudah tak bernyawa. “Saat ditemukan adik saya tengkurap, kayaknya dia mau mencoba bangun, tapi keburu kena reruntuhan,” ucapnya.
Tragedi ini menyisakan satu keajaiban. Said selamat karena tubuhnya sempat tertutup bagian paha Ibrahim, yang tanpa disadari memberi ruang napas hingga bantuan datang.
“Yang satu selamat karena ketiban paha korban. Bisa selamat karena ada napas, kehalang paha korban lagi tengkurap. Jadi posisinya yang satu memang tiduran, kebetulan kakinya kelihatan, jadi gampang nariknya,” lanjut Anita.
Korban selamat segera dilarikan ke rumah sakit. Diketahui, hujan deras malam itu mengakibatkan dua titik longsor yang terjadi nyaris bersamaan. Lokasi lainnya adalah di Kampung Bojonggenteng RT 02/01 Desa Bojonggenteng.