SUKABUMIUPDATE.com - Di atas derasnya aliran Sungai Cikarang, antara Kampung Cilimus di Desa Waluran, Kecamatan Waluran, dan Kampung Datarsari di Desa Tanjung, Kecamatan Jampangkulon, Kabupaten Sukabumi, dulu membentang sebuah jembatan sederhana tapi vital yakni Jembatan Gantung Batu Bentang.
Panjangnya hanya 48 meter dengan lebar 130 sentimeter, menjulang setinggi 8 meter dari permukaan air. Tapi bagi ratusan warga dua desa, jembatan ini adalah nadi kehidupan. Kini, hanya kenangan yang tertinggal, setelah banjir besar pada Maret 2025 menghanyutkan seluruh struktur yang pernah mereka bangun dengan gotong royong.
“Dulu kedua warga membangun jembatan ini secara swadaya, sekitar tahun 2008 sampai 2009. Karena perannya sangat penting,” tutur Eddy Deswa, perangkat Desa Waluran kepada sukabumiupdate.com, Jumat (16/5/2025).
Ia masih ingat betul bagaimana warga bahu-membahu, membawa material, dan menjadikan batu besar di tengah sungai yang disebut “Batu Bentang”, sebagai pondasi alami.
Baca Juga: Jembatan Putus, Guru di Sukabumi Gendong Murid Seberangi Sungai Demi Sekolah
Jembatan ini bukan sekadar jalan pintas, melainkan urat nadi. Setiap hari, para petani menyeberang untuk menggarap sawah dan ladang. Pedagang kecil memikul dagangannya, ada juga pakai sepeda motor menuju pasar di Jampangkulon, dan sebaliknya. Bahkan, 24 anak sekolah dari Kampung Cilimus mengandalkan jembatan itu untuk menempuh pendidikan SD, SMP, hingga SMA di seberang.
“Bukan hanya fisiknya yang hilang, tapi akses sosial dan keamanan anak-anak kami ditaruhkan,” tutur Eddy.
Pada 2019, Pemerintah Desa Waluran sempat merehabilitasi jembatan tersebut, memperkuat sling kawat dan memperbaiki lantai besi, serta memperkokoh pondasi. Namun, nasib berkata lain. Banjir bandang yang melanda pada Desember 2024 sempat merusak sebagian sling. Walau diperbaiki darurat, belum sempat dibangun ulang secara permanen, tapi masih bisa dilalui warga. Maret 2025 banjir kembali menerjang. Kali ini, jembatan tak mampu bertahan.
“Batu Bentang yang jadi dasar utama jembatan, sekarang pun sudah bergeser. Itu batu besar hitam kecoklatan, ukurannya sekitar dua meter persegi, dulunya kokoh, sekarang pun ikut terdorong arus dan longsoran pondasi,” lanjut Eddy.
Kini, warga dua kampung harus bertaruh nyawa turun ke sungai atau memutar belasan kilometer hanya untuk aktivitas harian. Harapan mereka sederhana pembangunan kembali jembatan yang dulu menyatukan kehidupan mereka.
"Harapannya bisa dibangun kembali dengan bantuan pemerintah, baik kabupaten, provinsi maupun pusat. Agar anak-anak bisa dengan aman menuju sekolah, petani bisa bekerja, tanpa harus menaruhkan nyawa nyebrang sungai," tutup Eddy.