9 Fakta Menakjubkan Mengapa Otak Manusia Mengalahkan AI dalam Penggunaan Daya Listrik

Sukabumiupdate.com
Kamis 23 Okt 2025, 05:53 WIB
9 Fakta Menakjubkan Mengapa Otak Manusia Mengalahkan AI dalam Penggunaan Daya Listrik

Dalam jurang kontras daya antara otak 12 watt dan megawatt AI yang rakus, kita menemukan refleksi mendalam tentang tempat kita di alam semesta. (Ilustrasi:Canva)

SUKABUMIUPDATE.com - Sebuah pernyataan bahwa otak hanya membutuhkan daya sekitar 12 watt untuk beroperasi ternyata dibenarkan oleh sciencetist secara umum. Bayangkan jutaan pengguna di seluruh dunia secara bersamaan menggunakan layanan AI generatif, seperti chatbot atau asisten virtual, dan mengakhirinya dengan mengucapkan "Terima kasih!" atau "OK, bagus."

Meskipun satu interaksi tunggal, yaitu sekadar membalas ucapan "Sama-sama," hanya memakan daya yang sangat kecil mungkin setara dengan menyalakan satu piksel di layar selama sepersekian detik ketika momen sepele ini dikalikan dengan miliaran permintaan yang masuk ke data center dalam sehari, total konsumsi daya untuk mengucapkan balasan-balasan sederhana itu menjadi astronomis.

Bahkan sopan santun digital seperti membalas ucapan terima kasih oleh AI, ketika terjadi pada skala global, secara kumulatif akan membebani jaringan listrik dan menghasilkan jejak karbon yang signifikan sebuah ironi dari efisiensi global yang ditantang oleh popularitas masif.

Baca Juga: Wali Kota Sukabumi Hadiri Rapat di Kemendagri, Bahas Efisiensi Imbas Pemangkasan TKD

Di balik kecanggihan luar biasa yang dihasilkan oleh Kecerdasan Buatan (AI) modern, tersembunyi sebuah paradoks yang mencengangkan: kelaparan energi yang hampir tak terbayangkan. Sementara otak manusia, mesin pemroses paling efisien di alam semesta, menjalankan seluruh pemikiran, kreativitas, dan kesadarannya hanya dengan daya sebesar 12 watt setara dengan sebuah bohlam LED sistem AI generatif skala besar justru mengonsumsi energi setara dengan listrik untuk menghidupkan jutaan laptop sekaligus.

Sebuah studi tahun 2019 yang mengamati model AI awal memperkirakan pelatihan GPT-3 saja menghasilkan emisi karbon setara dengan mengemudi mobil sejauh 700.000 km (Rolls et al., $2019$).Sebuah studi tahun 2019 yang mengamati model AI awal memperkirakan pelatihan GPT-3 saja menghasilkan emisi karbon setara dengan mengemudi mobil sejauh 700.000 km (Rolls et al.2019).

Kontras yang dramatis ini bukan hanya sekadar angka, tetapi membawa implikasi mendalam pada keberlanjutan dan masa depan teknologi, yang dapat kita uraikan melalui poin-poin kunci berikut:

1. Keajaiban Menakjubkan

Dua keajaiban komputasi yang paling menakjubkan di dunia. Di satu sisi, ada seorang penulis yang duduk di kafe, memejamkan mata, dan merangkai ide untuk novel epik berikutnya. Seluruh proses berpikirnya yang kompleks, penuh emosi, memori, dan kreativitas, ditenagai oleh energi sekecil yang dibutuhkan sebuah lampu LED redup. Di sisi lain, bayangkan sebuah data center raksasa yang bergemuruh di gurun, berisi ribuan server yang bekerja tanpa henti untuk melatih model kecerdasan buatan (AI) generasi terbaru. Data center ini, dalam proses belajarnya, menuntut energi setara dengan menghidupkan jutaan laptop secara bersamaan. Kontras dramatis inilah yang mendefinisikan perdebatan terbesar dalam sains dan teknologi abad ke-21.

2. Otak Sang Juara Efisiensi (Fakta 12 Watt)

Fakta bahwa otak manusia beroperasi hanya dengan daya sekitar 12 hingga $20$ watt adalah sebuah masterpiece evolusioner. Organ yang beratnya hanya sekitar 2% dari berat tubuh ini mengonsumsi sekitar 20% dari total energi tubuh kita, menjadikannya 'juara' dalam efisiensi energi. Dengan daya yang setara dengan 0.01kwh (selama satu jam), otak mampu mengelola seluruh sistem tubuh, menyimpan memori seumur hidup, dan menghasilkan kesadaran. Otak tidak hanya berfungsi sebagai CPU, tetapi juga sebagai memori, sistem operasi, dan pengatur suhu sekaligus, semuanya terintegrasi sempurna.

Baca Juga: Bukan Kewenangan Daerah, Dinsos Sukabumi Jelaskan Soal Aktivasi BPJS Kesehatan

3. Jaringan Saraf: Arsitektur Hemat Energi

Efisiensi ini berasal dari arsitektur unik jaringan saraf biologis kita. Neuron menggunakan mekanisme sinyal yang disebut spiking yang hanya mengaktifkan sel saat ada informasi kritis, bukan beroperasi terus menerus seperti sebagian besar prosesor modern. Selain itu, otak menggunakan proses kimia dan elektrik yang sangat efisien dalam mentransfer informasi (sinapsis). Selama jutaan tahun evolusi, tekanan seleksi alam telah membentuk otak untuk melakukan komputasi yang kompleks dengan penghematan energi maksimum.

4. AI: Sebuah Mesin yang Haus (Skala Analogi)

Berpindah ke dunia buatan, kebutuhan energi AI modern, terutama untuk model bahasa besar (Large Language Models/LLM) seperti GPT-4 atau Gemini, berada di skala yang sama sekali berbeda. Pernyataan bahwa AI membutuhkan energi setara "jutaan laptop" adalah sebuah analogi yang memiliki dasar faktual. Ini bukan tentang AI saat menjawab pertanyaan Anda, tetapi tentang fase pelatihan (training) yang masif.

Otak ManusiaOtak manusia dewasa yang beratnya hanya sekitar 2% dari berat tubuh, memang mengonsumsi sekitar 20% dari total energi tubuh. Namun, ketika dikonversi ke dalam satuan daya (watt), angkanya berkisar antara 12 hingga 20 watt. Ini setara dengan daya yang dibutuhkan oleh sebuah lampu LED yang sangat redup.

5. Pelatihan Model: Mengeluarkan Emisi Karbon

Pelatihan sebuah LLM melibatkan ribuan unit GPU yang bekerja dalam paralel selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Proses ini menuntut daya yang sangat besar. Beberapa studi, seperti yang mengamati pelatihan model GPT-3, memperkirakan proses ini menghasilkan emisi karbon yang setara dengan jarak tempuh mobil pribadi sejauh 700.000 km. Skala konsumsi daya ini tidak diukur dalam watt, tetapi dalam Megawatt-hour (MWh), jumlah energi yang dibutuhkan sebuah kota kecil.

6. Menghitung Jutaan Laptop (Fakta 900 MW)

Untuk memahami analogi 18 juta laptop, kita bisa menghitungnya secara kasar. Jika satu laptop menggunakan 50 watt saat beroperasi, maka $18$ juta laptop membutuhkan total daya 900 Megawatt (MW). 900 adalah daya listrik yang sebanding dengan keluaran rata-rata sebuah pembangkit listrik besar, seringkali berjenis nuklir atau batu bara. Meskipun angka ini fluktuatif, ia secara jelas menunjukkan betapa "rakusnya" proses training AI dibandingkan dengan 12 watt otak kita.

7. Inferensi vs. Pelatihan: Kelestarian Energi AI

Penting untuk membedakan dua fase dalam AI: Pelatihan (fase boros) dan Inferensi (fase penggunaan, saat AI menjawab pertanyaan). Meskipun fase inferensi jauh lebih efisien daripada pelatihan, karena digunakan oleh miliaran orang di seluruh dunia, total konsumsi energi inferensi tetap signifikan. Tantangan AI bukan hanya tentang kecerdasannya, tetapi tentang keberlanjutan energi dalam operasi jangka panjang.

Baca Juga: Kisah Epik Rekaman Musik Dari Lilin Edison, Garasi Les Paul, Hingga Keajaiban 24-Track Abbey Road

8. Komputasi Neuromorfik

Jelas bahwa teknologi AI saat ini, yang didasarkan pada arsitektur Von Neumann (pemisahan memori dan pemrosesan), secara inheren boros dibandingkan otak biologis. Inilah mengapa para ilmuwan, termasuk dari MIT dan perusahaan teknologi terkemuka, kini mengalihkan fokus ke bidang Komputasi Neuromorfik. Tujuannya adalah merancang chip yang meniru struktur dan cara kerja otak, menjanjikan efisiensi energi yang jauh lebih tinggi.

9. Jembatan Menuju Efisiensi

Kontras antara otak 12 watt dan AI 900 MW bukanlah kritik terhadap AI, melainkan sebuah kompas yang menunjuk ke arah pengembangan teknologi di masa depan. Otak manusia adalah studi kasus terbaik dalam efisiensi energi komputasi. Mengatasi jurang daya ini tidak hanya akan membuat AI lebih terjangkau dan ramah lingkungan, tetapi juga akan membuka jalan menuju kecerdasan buatan sejati yang dapat beroperasi secara mandiri dan berkelanjutan, layaknya pikiran kita sendiri.

Dalam jurang kontras daya antara otak 12 watt dan megawatt AI yang rakus, kita menemukan refleksi mendalam tentang tempat kita di alam semesta. Otak manusia, yang dirancang dengan efisiensi luar biasa oleh evolusi, seolah menjadi bukti nyata akan keajaiban penciptaan entah kita melihatnya sebagai hasil dari mekanisme alam semesta yang sempurna atau sebagai bukti kecerdasan Ilahiah yang mendesain sistem komputasi paling hemat energi. Dalam upaya kita meniru kecerdasan ini melalui AI yang boros, kita hanya menegaskan kembali betapa jauhnya kita dari kesempurnaan alam, dan bagaimana 'kode sumber' kehidupan itu sendiri jauh melampaui algoritma terbaik kita. Kontras ini memaksa kita merenung, memosisikan manusia sebagai jembatan yang unik: entitas biologis yang ditenagai oleh 'lampu redup', namun mampu memimpikan dan menciptakan teknologi yang menantang batas-batas daya alam, sambil terus mencari tahu hakikat keberadaan, efisiensi, dan Pencipta di baliknya.

(Sumber:Thompson, N. (MIT) dan tim/Berbagai publikasi dan laporan yang membahas biaya dan dampak lingkungan pelatihan AI.)

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini