Rehabilitasi Ira Puspadewi: Publik Beri Sinyal Positif Presiden Prabowo, Tetapi Gagalnya Penegakan Hukum

Sukabumiupdate.com
Rabu 26 Nov 2025, 22:21 WIB
Rehabilitasi Ira Puspadewi: Publik Beri Sinyal Positif Presiden Prabowo, Tetapi Gagalnya Penegakan Hukum

Sidang pembacaan Duplik dari tim pembela hukum terdakwa kasus akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Ferry Indonesia. Kamis, (13/11/2025).

SUKABUMIUPDATE.com - Direktur Komunikasi Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Intelligence Research, Neni Nur Hayati, menyambut baik keputusan Presiden Prabowo Subianto yang memberikan rehabilitasi terhadap kasus yang menimpa mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi.

Potret ini menunjukkan bahwa sistem peradilan Indonesia telah gagal dalam penegakan hukum, sehingga menyebabkan kriminalisasi yang tidak berdasar. Berdasarkan analisis sentimen pemberitaan media dan percakapan di media sosial yang dilakukan DEEP Indonesia (periode 19-24 November 2025), perbincangan mengenai kasus Ira Puspadewi didominasi oleh 80% sentimen negatif, jauh melampaui positif (14%) dan netral (6%).

Perlu diketahui bahwa tingginya sentimen negatif bukanlah serangan terhadap Ira Puspadewi, melainkan bentuk kemarahan publik terhadap sistem hukum. Netizen menggunakan nada negatif untuk mengkritik putusan hakim yang dianggap tidak logis dan mencederai rasa keadilan.

Baca Juga: Begal Ojol di Cikembar Sukabumi Belum Dimintai Keterangan, Polisi: Pelaku Masih Dirawat

Sentimen negatif 80% yang masif ini bukan hanya ditujukan pada vonis pidana, tetapi pada inkonsistensi putusan. Publik melihat ketidakadilan ketika seseorang divonis 4 tahun 6 bulan penjara meskipun ketua majelis hakim sendiri menyatakan "tidak terbukti memperkaya diri" dan adanya dissenting opinion (perbedaan pendapat) yang mengusulkan vonis onslag (bebas).

Tingginya sentimen negatif ini adalah bukti bahwa kepercayaan publik terhadap akuntabilitas peradilan korupsi telah terkikis. Putusan yang kontradiktif ini menimbulkan keraguan publik, apakah putusan didasarkan pada keadilan substantif atau sekadar tekanan untuk menghasilkan putusan korupsi, terlepas dari bukti memperkaya diri.

Sementara dalam percakapan di media sosial dari seluruh platform baik itu X,Facebook, Instagram, Tiktok dan Youtube Mayoritas publik digital menolak dan mengkritik vonis yang dijatuhkan (atau sinyal ketidakadilan hukum). Persentase Negatif yang dominan (53%-57%) di platform diskusi seperti X dan Facebook menunjukkan adanya konsensus digital bahwa putusan tersebut bermasalah.

Namun, pasca rehabilitasi Presiden, sentimen publik baik itu dari pemberitaan media ataupun percakapan di media sosial, sentimen positif naik signifikan menjadi 68%, netral 4% dan negative 28%, dimana peneliti melakukan penarikan data dari tanggal 24-26 November 2025 Pukul 15.40 WIB.

Baca Juga: Siswi SMP di Nagrak Sukabumi Dibekap Pria: Polisi Dalami, Terduga Pelaku Diamankan

Intervensi Presiden Prabowo telah mencapai Pemulihan Reputasi (Reputation Repair) yang sangat cepat dan dramatis. Narasi keadilan (justice) yang diperjuangkan oleh Eksekutif berhasil menenggelamkan narasi ketidakadilan (injustice) yang sebelumnya didorong oleh putusan yudikatif.

DEEP Indonesia menilai bahwa kasus Ira Puspadewi, yang berakhir dengan rehabilitasi oleh Presiden, adalah pelajaran pahit bagi sistem peradilan kita.
1. Kegagalan Membedakan Risiko Bisnis dan Niat Jahat (Mens Rea)

Putusan yang memvonis terdakwa karena "memperkaya orang lain" dalam konteks akuisisi, tanpa adanya mens rea (niat jahat) untuk memperkaya diri sendiri, menunjukkan bahwa Majelis Hakim gagal memahami Prinsip Business Judgment Rule (BJR).

Padahal, keputusan bisnis yang diambil dengan itikad baik dan mengikuti prosedur, meskipun pada akhirnya merugikan, tidak boleh dipidana. Pemidanaan dalam kasus ini mengirimkan sinyal bahaya kepada seluruh Direksi BUMN: setiap keputusan strategis yang berisiko berpotensi berakhir di balik jeruji besi.

2. Ancaman Terhadap Inovasi BUMN Keputusan ini, sebelum direhabilitasi oleh Presiden, menciptakan "efek dingin" (chilling effect) yang fatal bagi manajemen BUMN. Ke Depan, BUMN akan cenderung memilih keputusan safety first (main aman), menghindari risiko, dan menolak inovasi.

Baca Juga: Berangkat Sekolah di Jalan Sepi, Siswi SMP di Nagrak Sukabumi Dibekap Pria Tak Dikenal

Hal ini menghambat daya saing BUMN dan merugikan pertumbuhan ekonomi nasional. Tindakan rehabilitasi Presiden adalah intervensi yang diperlukan untuk menghilangkan chilling effect ini, tetapi akar masalahnya ada di pengadilan.

DEEP Indonesia mengapresiasi langkah cepat Presiden Prabowo yang merespons tuntutan keadilan substantif ini. Namun, rehabilitasi tidak cukup, namun diperlukan reformasi struktural sebagai berikut :

1. Tuntutan Reformasi Hukum

DEEP Indonesia mendesak Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) untuk segera mereformasi penegakan hukum dan pelatihan hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Hakim Tipikor harus wajib memiliki pemahaman mendalam tentang Hukum Korporasi, Hukum Bisnis, dan Business Judgment Rule. Pemahaman ini penting untuk membedakan antara kerugian negara akibat risiko bisnis dan kerugian negara akibat niat jahat/korupsi.

2. Penetapan Standar Mens Rea dalam Pemidanaan BUMN

DPR RI dan Pemerintah harus segera memperjelas dan memperketat definisi "niat jahat" (mens rea) dalam UU Tipikor, khususnya yang berkaitan dengan kerugian negara di lingkungan korporasi BUMN. Agar tidak ada lagi celah hukum yang digunakan untuk memidana keputusan bisnis yang didasari itikad baik, melainkan fokus pada quid pro quo dan niat memperkaya diri sendiri atau kelompok.

Baca Juga: Warga Tangkap Dua Terduga Maling di Purabaya Sukabumi, Ciri-ciri Jaket Jadi Petunjuk!

3. Dukungan Terhadap Whistleblower Internal

Kami mendesak Presiden Prabowo untuk tidak hanya merehabilitasi individu, tetapi juga memastikan perlindungan dan penguatan bagi pengawas internal BUMN (seperti auditor dan whistleblower) agar mereka dapat melaporkan indikasi KKN, sementara executive tetap memiliki ruang untuk inovasi dan risiko yang terukur.

Langkah rehabilitasi Ira Puspadewi oleh Presiden adalah momen penegasan bahwa keadilan harus substantif, bukan prosedural. Tugas kita bersama kini adalah memastikan bahwa keadilan ini tidak lagi memerlukan hak sakti dari Presiden, melainkan harus otomatis didapatkan dari putusan hakim yang adil, cerdas, dan berbasis konteks.

Berita Terkait
Berita Terkini