Jejak Sejarah Perjuangan Rakyat Pati Lawan Kenaikan Pajak, Ricuh Memuncak di 2025

Sukabumiupdate.com
Rabu 13 Agu 2025, 19:30 WIB
Jejak Sejarah Perjuangan Rakyat Pati Lawan Kenaikan Pajak, Ricuh Memuncak di 2025

Sejarah Panjang Perlawanan Masyarakat Pati terhadap Kenaikan Pajak yang Menindas. (Sumber : AI/ChatGPT/Instagram/@sudewoofficial).

SUKABUMIUDPATE.com - Pati membara, inilah yang bisa menggambarkan kondisi salah satu Kota yang berada di Jawa Tengah saat ini. Dimana ratusan pendemo turun ke jalan pada Rabu (13/08/2025), menuntut Bupati Pati Sudewo mundur dari jabatannya.

Nama Bupati Pati Sudewo akhir-akhir ini memang ramai diperbincangkan karena kebijakan yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 250 persen. Hal ini dilakukan karena menurutnya kenaikan PBB selama 14 tahun lamanya belum terealisasi di Pati.

Belum sampai disitu, amarah warga pati semakin bergejolak ketika Sudewo diduga menantang warga. Dalam salah satu unggahan di akun TikTok @ekokuswanto09, beberapa waktu lalu video Bupati Pati Sudewo menantang massa beramai-ramai untuk berdatangan.

Baca Juga: Demo di Pati Ricuh, Kabar Wartawan Meninggal Dunia Ternyata Hoaks

Pada unggahan tersebut Sudewo memberikan tanggapan terkait wacana aksi demo warga terhadap penolakan kenaikan PBB sebesar 250 persen. Dalam video tersebut, Sudewo menyatakan bahwa dirinya tidak merasa takut meskipun ada aksi demonstrasi. 

Ia menegaskan, bahkan jika jumlah massa mencapai 5 ribu hingga 50 ribu orang, ia tetap tidak akan mundur. Menurutnya, keputusan yang diambil merupakan langkah untuk memajukan masyarakat Kabupaten Pati.

Hal itulah yang membuat warga Pati merasa marah dan berunjuk rasa menolak keputusan Bupati Pati Sudewo menaikkan tarif pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) sebesar 250 persen.

Meski Bupati telah menyampaikan permintaan maaf dan membatalkan rencana kenaikan pajak, hal tersebut tidak langsung meredam amarah warga. Aksi demonstrasi tetap berlanjut, bahkan mereka menuntut Sudewo mundur dari jabatan bupati karena dianggap telah mengecewakan warga dan mengingkari janji kampanye.

Penolakan terhadap kenaikan atau pembayaran pajak di Kabupaten Pati sebenarnya bukanlah hal baru. Berdasarkan catatan sejarah, perlawanan semacam ini telah terjadi beberapa kali, termasuk pada masa Kabupaten atau Kadipaten Pati.

Pada masa lampau, rakyat Pati melakukan perlawanan atau penolakan pajak tidak hanya terhadap penguasa lokal, tetapi juga terhadap pemerintahan kolonial. Berikut adalah rangkaian peristiwa perlawanan atau penolakan pajak yang dihimpun dari berbagai sumber, termasuk artikel opini karya Rokhmat Widodo, seorang pengamat politik sekaligus penikmat sejarah.

Sejarah Perlawanan dan Penolakan Pajak oleh Rakyat Pati

1. Pertengahan Abad ke-1500-an (Era Kerajaan Demak – Tombronegoro)

  • Pajak hasil bumi dinaikkan drastis hingga 30%.
  • Beban berat bagi keluarga petani yang hidup sederhana.
  • Menyebabkan kelaparan dan banyak anak putus sekolah.
  • Protes rakyat sering ditindas dengan kekerasan.

2. 1540-an (Masa Peralihan ke Kerajaan Pajang – Ki Penjawi)

  • Pajak kembali naik sebesar 20%.
  • Rakyat Pati menolak setoran pajak.
  • Dukungan dialihkan ke Kerajaan Pajang.
  • Tindakan ini menunjukkan tekad rakyat untuk menolak sistem yang menindas.

3. Abad ke-17 (1620-an – Era Sultan Agung Mataram)

  • Upeti beras dinaikkan hingga 40%.
  • Adipati Pragola I memimpin penolakan setor beras besar-besaran.
  • Penolakan didasari perjuangan mempertahankan hak hidup.

4. 1627–1628 (Masa Adipati Pragola II anak dari Pragola I)

  • Pajak dinaikkan sampai 50%.
  • Memicu pemberontakan besar yang berujung pertumpahan darah.
  • Rakyat menolak membayar upeti ke Sultan Agung karena beban berat.

5. 1670-an (Era Pragola III – Amangkurat I)

  • Pajak naik 35%.
  • Rakyat tetap teguh menolak kebijakan pajak semena-mena Amangkurat I.

6. Abad ke-18 (1740 – Masa VOC & Sunan Kuning)

  • VOC memungut bea dagang hingga 25%.
  • Rakyat bangkit melawan monopoli perdagangan VOC dibawah komando Sunan Kuning.

7. 1741–1743 (Masa Untung Surapati)

  • Pajak pelabuhan melonjak 40%.
  • Rakyat menyerbu pos-pos VOC.
  • Perjuangan melawan pajak menjadi simbol perang melawan penjajahan.

8. Zaman Kolonial Belanda (1811–1816 – Era Daendels & Raffles)

  • Pajak tanah naik 30%.
  • Perlawanan dipimpin tokoh seperti Ki Kromo Pati.

9. 1830 (Cultuurstelsel)

  • Petani wajib menanam komoditas ekspor setara 66% hasil panen.
  • Banyak keluarga kelaparan dan anak kehilangan masa depan.
  • Petani melakukan mogok tanam.

10. 1880-an (Ki Samin Surosentiko)

  • Pajak tanah dan hasil bumi naik 25%
  • Masyarakat Pati Menolak segala bentuk pungutan kolonial yang merampas hak rakyat dibawah kepemimpinan Ki Samin Surosentiko.

11. Masa Pendudukan Jepang (1942–1945)

  • Berlaku “pajak tenaga” berupa kerja paksa 60 hari setahun.
  • Menyebabkan penderitaan fisik dan mental.

12. 1948 (Agresi Militer Belanda II)

  • Pajak darurat perang menaikkan setoran pangan 20%.
  • Rakyat tetap mempertahankan semangat kemerdekaan.

13. Era Orde Baru (1965–1966)

  • Pajak hasil panen naik 15%.
  • Rakyat memprotes kebijakan yang mengorbankan kesejahteraan wong cilik.

14. Reformasi 1998

  • Pungutan liar menyedot 10% dari harga jual hasil panen.
  • Aktivis dan petani bersuara dan menuntut transparansi pajak.

15. Tahun 2025 (Era Bupati Sudewo)

  • Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) naik 250%.
  • Kenaikan ini membuat amarah warga Pati memuncak dan mendemo untuk meminta Sudewo turun dari jabatannya.

Berdasarkan catatan sejarah diatas, menunjukkan bahwa bahkan era penjajah Belanda yang dikenal kejam sekalipun tidak pernah memberlakukan kenaikan pajak setinggi itu. Namun, rakyat Pati kembali menunjukkan sikap tegas. 

Berita Terkait
Berita Terkini