Pada Oktober 2025, atmosfer tegang menyelimuti kota Forest, Brussels, Belgia, setelah keputusan politik yang mengguncang komunitas metal global: pembatalan konser band raksasa Disturbed. Keputusan ini tidak didasarkan pada masalah teknis atau penjualan tiket, melainkan dipicu oleh aktivitas media sosial vokalis mereka, David Draiman. Insiden ini menjadi simbol baru dari semakin tajamnya konflik global yang merembet ke ranah budaya, menguji batas antara kebebasan berekspresi dan tuntutan akuntabilitas moral dari gerakan boikot seperti BDS (Boycott, Divestment, Sanctions).
Akar masalah ini berawal jauh sebelum jadwal konser, pada awal 2024. Di tengah intensitas konflik Israel-Palestina, David Draiman yang dikenal vokal mendukung Israel dan menentang anti-Semitisme membuat postingan yang memicu badai. Ia memublikasikan foto dirinya saat menandatangani proyektil artileri milik IDF (Israel Defense Forces), konon dengan pesan seperti "To Gaza, with love" atau varian yang dianggap provokatif.
Bagi para aktivis pro-Palestina, tindakan Draiman adalah glorifikasi kekerasan dan dukungan eksplisit terhadap operasi militer Israel yang menimbulkan banyak korban sipil. Organisasi HAM dan kelompok pro-Palestina di Belgia, seperti Amnesty International dan Belgian Palestinian Association, segera mengecamnya sebagai "provokasi tidak manusiawi." Namun, Draiman membela diri, menegaskan bahwa itu adalah ekspresi solidaritas pribadi sebagai seorang Yahudi, bukan pernyataan resmi Disturbed sebagai sebuah band.
Baca Juga: Cuaca Jabar 18 Oktober 2025: Siang Hari Potensi Hujan, Jangan Lupa Bawa Mantel
Kasus Disturbed adalah manifestasi dari tren global yang lebih besar, menunjukkan keefektifan strategi PACBI (Palestinian Campaign for the Academic and Cultural Boycott of Israel) dalam menekan acara budaya. (Credit Foto: @Disturbed)
Beberapa minggu menjelang pertunjukan, Dewan Kota Forest, di bawah kepemimpinan Wali Kota Charles Spapens dari partai sosialis (PS), mengumumkan pembatalan acara tersebut. Alasan resmi yang dilayangkan adalah "risiko keamanan" kekhawatiran akan potensi protes masif dan kerusuhan dari kelompok aktivis pro-Palestina dan anti-Israel. Mereka juga secara terselubung menyinggung "masalah moral" terkait sikap Draiman.
Namun, narasi resmi ini mendapat tentangan keras dari berbagai pihak. Para kritikus menuduh pemerintah daerah melakukan sensor terselubung, terutama karena Kepolisian Federal Belgia tidak mengeluarkan peringatan keamanan yang spesifik atau wajib untuk membatalkan acara. Oposisi politik berargumen bahwa Wali Kota Spapens menggunakan undang-undang keamanan (Loi sur la sécurité) sebagai perisai untuk sebuah keputusan yang pada dasarnya bermotif politis dan tunduk pada tekanan aktivis.
Baca Juga: Persib Bandung Sukses Mengalahkan Tuan Rumah PSBS Biak dengan Skor 0-3
Baca Juga: Pembakar Sampah Portable Jawaban Inovatif Mahasiswa UGM untuk Masalah Sampah Rumah Tangga
Pembatalan ini segera membelah opini publik. Di satu sisi, kelompok aktivis seperti Belgian Palestinian Association memuji langkah ini sebagai sikap etis yang benar, berargumen bahwa venue publik tidak boleh memberi ruang pada figur yang "meromantisasikan konflik." Tagar #BoycottDisturbed sempat menjadi trending topic di platform X (Twitter) Eropa, dan sebuah survei oleh harian Le Soir menunjukkan dukungan mayoritas di Brussels.
Di sisi lain, penggemar setia dan para pendukung kebebasan berekspresi mengecam keputusan ini sebagai "kemunafikan politik" dan sensor. Band Disturbed, melalui akun resminya, menyatakan kekecewaan dan menyebutnya sebagai "penghinaan terhadap seni." Penentang keputusan meluncurkan petisi di Change.org yang berhasil mengumpulkan lebih dari 50.000 tanda tangan dalam waktu singkat, dan beberapa analis hukum bahkan mempertimbangkan kemungkinan gugatan atas pelanggaran Pasal 10 Konvensi HAM Eropa.
Kasus Disturbed adalah manifestasi dari tren global yang lebih besar, menunjukkan keefektifan strategi PACBI (Palestinian Campaign for the Academic and Cultural Boycott of Israel) dalam menekan acara budaya. Insiden ini menegaskan bahwa ini bukan kasus terisolasi; di Eropa, baik seniman yang dianggap pro-Israel (Disturbed) maupun pro-Palestina (seperti Roger Waters) sama-sama kerap menghadapi pembatalan, tergantung pada iklim politik lokal.
Baca Juga: 14 Acara MTV yang Menjadi Saksi Bisu & Batu Nisan Kematian Musik Television
Di era media sosial, sikap pribadi selebritas terhadap konflik internasional dapat langsung berimbas pada karier dan pendapatan mereka, meniadakan ruang netral bagi seorang seniman.
Pembatalan konser Disturbed di Brussels adalah cermin dari polarisasi politik global yang telah menembus jauh ke dalam kancah budaya pop. Keputusan Dewan Kota Forest menciptakan preseden yang berbahaya, membuka peluang bagi pemerintah daerah lain untuk membatalkan acara hiburan atas dasar tekanan politik atau "alasan moral" yang subjektif, alih-alih ancaman keamanan yang terverifikasi.
Meskipun Disturbed kemungkinan akan memindahkan jadwal turnya ke negara tetangga seperti Jerman atau Belanda, warisan insiden ini akan tetap menjadi perdebatan mendasar: di mana batas antara akuntabilitas moral dan pembungkaman yang disamarkan di era konflik global yang tak terhindarkan.
(Dari berbagai sumber/x.com)