SUKABUMIUPDATE.com - Dunia musik tak pernah diam, apalagi saat dunia nyata bergejolak. Sejak krisis kemanusiaan di Gaza memanas pada 2023, panggung global berubah menjadi mimbar bagi para artis. Ini bukan lagi sekadar lagu dan konser; ini adalah tentang Solidaritas yang diungkapkan melalui pin ceasefire di karpet merah Oscars, jutaan dolar donasi, hingga lantunan lirik protes yang viral.
Dari superstar pop seperti Dua Lipa hingga ikon hip-hop Macklemore, dukungan untuk Palestina bukan lagi bisikan, melainkan raungan. Namun, di tengah paduan suara persatuan ini, muncul melodi sumbang dari drama klasik rock yang kembali memanas: pertarungan antara dua raksasa musik, Roger Waters dan Thom Yorke.
Gelombang Dukungan Suara yang Tak Bisa Dibungkam
Gelombang dukungan ini datang dari berbagai lini, membuktikan bahwa platform selebriti punya kekuatan politik yang luar biasa. Bayangkan Oscars 2024: di tengah kemewahan Hollywood, Billie Eilish berdiri, mengenakan pin kecil Artists4Ceasefire. Itu adalah deklarasi yang kuat, sinyal bahwa kemewahan industri tidak bisa membungkam nurani. Gerakan ini kemudian diikuti oleh aktor kawakan seperti Joaquin Phoenix dan Cillian Murphy, yang terlibat dalam video "Together for Palestine" pada 2025, menyerukan penghentian pembunuhan.
Sementara Hollywood bergerak, dunia musik Pop beraksi dengan lebih garang. Dua Lipa melalui akun media sosialnya yang massif dengan berani menyebut isu ini sebagai "genosida Israel," bahkan membagikan seruan ikonik #AllEyesOnRafah. Tak kalah vokal, Kehlani secara terbuka menantang rekan-rekan selebriti lainnya untuk speak up, bahkan turun langsung ke jalanan dalam protes.
Namun, yang paling resonan adalah suara Macklemore. Lagu protesnya, "Hind’s Hall" (2024), bukan hanya viral; itu adalah soundtrack bagi gerakan protes mahasiswa. Ia tak hanya bernyanyi, ia mendonasikan jutaan dolar, menempatkan dirinya sebagai "vocal king" pro-Palestina yang tak gentar menghadapi kritik. Bahkan di dunia modeling, di mana citra adalah segalanya, Bella Hadid dan kakaknya, Gigi Hadid, secara konsisten menggunakan platform mereka untuk mengadvokasi tanah air ayah mereka, Palestina. Mereka berani menghadapi backlash industri, menegaskan bahwa kemanusiaan lebih penting daripada kontrak endorsement.
Inisiatif kolektif seperti Artists4Ceasefire telah menyatukan ratusan nama besar, menunjukkan bahwa solidaritas ini adalah gerakan masif, tidak terisolasi. Konser "Together for Palestine" di Wembley 2025, dengan kehadiran Saint Levant dan musisi Barat lainnya, adalah bukti nyata bagaimana seni kini menjadi frontline perjuangan.
Baca Juga: Karma Police Radiohead Dua Sisi Pedang Pengadilan Sosial di Era Digital
Pria Kecil Penakut! Drama Abadi Waters vs. Yorke
Di tengah harmoni solidaritas ini, ada perselisihan yang terasa pahit dan personal. Konflik antara Roger Waters (eks-Pink Floyd) dan Thom Yorke (Radiohead) adalah representasi dari dua filosofi aktivisme yang berbeda. Akar masalah ini sudah lama membusuk sejak 2017, ketika Waters, ikon advokasi BDS, menuntut Radiohead membatalkan konser di Tel Aviv. Yorke membalas dengan sikap diplomatis yang ringkas: "Bermain di suatu negara tak sama dengan mendukung pemerintahnya." Bagi Waters, ini adalah bentuk evasion (penghindaran).
Ketegangan ini meledak lagi pada 2025. Waters, yang sudah lama dikenal dengan gaya aktivisme yang keras dan tanpa kompromi, tampaknya kehilangan kesabaran. Dalam sebuah wawancara podcast pada Oktober 2025, ia melupakan batasan dan meluncurkan serangan yang sangat personal terhadap vokalis Radiohead itu.
"Thom Yorke itu pria kecil yang penakut (timid little bloke). Gue pikir dia perusahaan yang nggak enak (unpleasant company)," ujar Waters, menyinggung email-email "sangat sarkastis" yang pernah ia terima dari Yorke.
Baca Juga: Petani di Pajampangan Sukabumi Keluhkan Keterlambatan Pupuk Subsidi, Ini Kata Distan
Waters tak hanya menargetkan Yorke, ia juga mengkritik gitaris Radiohead, Jonny Greenwood, yang memilih jalur "dialog lintas budaya" dengan musisi Israel, Dudu Tassa. Bagi Waters, ini adalah "normalisasi" terhadap pendudukan, sebuah pengkhianatan terhadap prinsip boikot.
Di sisi lain, Thom Yorke memilih keheningan. Meskipun Mei 2025 ia sempat mengkritik Netanyahu di Instagram dan menyerukan "Free Palestine," bagi Waters, ini tidak cukup. Yorke dan Radiohead lebih memilih jalur seni dan dialog daripada boikot total. Di media sosial X, drama ini menjadi tontonan yang memecah belah. Fans Radiohead membela Yorke, menyebut Waters "terlalu agresif" dan "melelahkan," bahkan jika mereka setuju dengan tujuan akhirnya. Sementara pendukung Waters menuntut Yorke agar memiliki keberanian vokal setara Macklemore.
Drama Waters vs. Yorke adalah cerminan kompleksitas aktivisme: mampukah kita bersatu demi tujuan yang lebih besar, atau haruskah kita menghancurkan mereka yang memilih jalur berbeda, walau memiliki niat yang sama? Solidaritas artis global telah berhasil mengalihkan sorotan ke Gaza, namun perselisihan antara Waters dan Yorke mengingatkan kita bahwa panggung aktivisme selalu dipenuhi gejolak, baik di jalanan maupun di belakang panggung rock and roll.