PestaPora 2025 Memanas Musisi Protes Sponsor Freeport Terus Bertambah!

Sukabumiupdate.com
Sabtu 06 Sep 2025, 20:15 WIB
PestaPora 2025 Memanas Musisi Protes Sponsor Freeport Terus Bertambah!

Sukatani, Rebellion Rose, dan Silampukau secara tegas membatalkan penampilan mereka pada hari kedua Pestapora sebagai bentuk penolakan terhadap keterlibatan PT Freeport Indonesia sebagai sponsor. (Sumber: Silampukau/X)

SUKABUMIUPDATE.com - Suasana festival musik PestaPora 2025 memanas pada hari kedua, Sabtu, 6 September 2025. Isu keterlibatan PT Freeport Indonesia sebagai sponsor memicu gelombang protes dari sejumlah musisi. Puncaknya, beberapa band memutuskan untuk membatalkan penampilan, yang akhirnya membuat panitia mengambil langkah berani.

Di garda terdepan, Sukatani  duo punk asal Purbalingga ini mengumumkan pembatalan tampil melalui akun Instagram mereka. Dikenal vokal lewat lagu "Bayar Bayar Bayar," Sukatani konsisten dengan sikap kritik sosialnya. Bergabung dalam protes, band punk rock asal Yogyakarta, Rebellion Rose, juga membatalkan penampilan. Namun, mereka mengambil pendekatan berbeda. "Kami tetap akan naik ke atas panggung untuk menghormati teman-teman yang sudah hadir," tulis @rebellionrose_official. Mereka berencana memanfaatkan momen itu untuk menyampaikan orasi dan berbagi cerita dengan penonton.

Baca Juga: Sejumlah Band Batal Tampil Usai Mengetahui Pestapora 2025 Disponsori PT Freeport

Tak mau ketinggalan, Silampukau juga mundur dari panggung. Melalui unggahan santai di media sosial X (6/9), mereka menjelaskan alasan pengunduran diri: "Karena keterlibatan bisnis ekstraktif, PT. Freeport, di konser Pestapora 2025, Silampukau memutuskan untuk mundur." Uniknya, mereka menyisipkan tulisan khas, "Kami sudah tiba di Jakarta. Hari ini, kita nongkrong di mana, ya, enaknya?"

Silampukau, duo indie folk asal Surabaya yang dibentuk pada tahun 2009 oleh Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening, dikenal dengan musiknya yang melankolis dan lirik-liriknya yang tajam. Keunikan mereka terletak pada pilihan tema yang berfokus pada potret Kota Pahlawan. Hampir semua lagu mereka mengisahkan tentang Surabaya secara apa adanya, mulai dari permasalahan sosial, suasana kota, hingga kisah kehidupan malam di sana.

Lirik-lirik Silampukau secara jujur menggambarkan hiruk-pikuk jalanan, kemacetan di Jalan Ahmad Yani (dalam lagu "Malam Jatuh di Surabaya"), dan bahkan menyentuh isu sosial seperti lokalisasi Dolly ("Si Pelanggan"). Mereka tidak menyajikan sisi manis Surabaya saja, melainkan berusaha menangkap wujud asli kota tersebut.

Menanggapi tekanan publik, panitia PestaPora segera bertindak. Melalui akun Instagram resminya, mereka mengumumkan pemutusan kerja sama dengan PT Freeport Indonesia efektif 6 September 2025. "Pestapora memastikan untuk penyelenggaraan di hari kedua dan hari ketiga, kami sudah tidak terikat dan terafiliasi dengan PT Freeport Indonesia," demikian pernyataan resmi mereka.

Langkah tegas yang diambil oleh Sukatani, Rebellion Rose, dan Silampukau bukan sekadar aksi spontan, melainkan cerminan dari kesadaran kolektif yang semakin mengkristal di kalangan musisi Indonesia. Gerakan protes mereka terhadap keterlibatan PT Freeport Indonesia dalam PestaPora 2025 menunjukkan bagaimana dunia seni, khususnya musik, telah menjadi ruang artikulasi kritik sosial-politik yang semakin vokal dan strategis.

Mengukuhkan Tradisi

Aksi ketiga band ini menandai babak baru dalam sejarah musik Indonesia, para musisi tidak hanya berperan sebagai penghibur, tetapi juga sebagai agen perubahan yang berani menyelaraskan karya dengan prinsip moral. Dengan membatalkan penampilan sebuah keputusan yang berpotensi merugikan secara materiil dan strategis mereka, tetapi mengirimkan pesan keras bahwa integritas artistik tidak dapat dikompromikan dengan kepentingan korporasi yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungan.

Baca Juga: Mengapa Musik Indie Indonesia Mendominasi dan Bertahan Lama di Berbagai Platform?

Fenomena ini juga mengukuhkan tradisi musik punk dan indie sebagai kekuatan pengawal conscience publik, yang sejak lama mengusung semangat do-it-yourself, anti-establishment, dan keberpihakan pada yang tertindas. Sukatani, dengan pengalaman mereka dibredel lagu "Bayar Bayar Bayar", serta Rebellion Rose yang tetap naik panggung untuk berorasi, menunjukkan bahwa perlawanan bisa diekspresikan dalam berbagai bentuk tanpa kehilangan esensinya.

Lebih dari sekadar insiden festival, gelombang penolakan ini adalah penanda bahwa musisi Indonesia semakin sadar akan kekuatan suara dan pengaruh mereka. Mereka tidak hanya menghasilkan musik untuk didengar, tetapi juga menyampaikan pesan untuk direnungkan sebuah evolusi yang mengubah panggung hiburan menjadi ruang diskursus dan advokasi. Dalam era di etika konsumsi dan kesadaran lingkungan semakin mengemuka, konsistensi nilai seperti yang ditunjukkan ketiga band ini memperkuat ikatan emosional dengan audiens yang mengapresiasi keotentikan dan keberpihakan.

Dengan demikian, langkah mereka bukan hanya tentang menolak sponsor, melainkan tentang mendefinisikan ulang peran seniman dalam masyarakat sebagai pengingat, pengkritik, dan penggerak yang menjadikan seni bukan hanya sebagai produk, tetapi juga sebagai manifestasi conscience.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini