SUKABUMIUPDATE.com – Di tengah ketatnya industri musik Eropa, nama Jay the Bird muncul sebagai representasi musisi diaspora Indonesia yang berhasil menancapkan eksistensinya. Berbasis di Hamburg, band blues ini tak hanya memikat pendengar lokal, tetapi juga konsisten merilis karya orisinal yang kini dapat dinikmati secara global di berbagai platform streaming, termasuk Spotify.
Terbentuk pada 2016, Jay the Bird telah menempuh perjalanan panjang hingga menemukan formasi solidnya saat ini. Mereka terdiri dari Timmy Hamsen (gitaris, asal Cibadak, Sukabumi), Fredo Ferdian (bassis, asal Yogyakarta & belakangan, posisi bassis diisi Oda), David Knaack (vokalis dan gitaris, keturunan Indonesia-Jerman), dan Daniel Rothe (drummer, asal Jerman). Kwartet ini dikenal rutin tampil di Cascadas, sebuah klub ikonis di Hamburg, serta berbagai festival musik di Jerman.
Dua EP yang Mengukuhkan Eksistensi Mereka
Pada awal 2024, Jay the Bird merilis EP perdana mereka berjudul 'Phoenix'. Rilisan ini menjadi penanda kebangkitan kreativitas mereka, menunjukkan kematangan musikalitas yang tidak hanya mengandalkan lagu-lagu cover. EP 'Phoenix' berisi lima trek yang memadukan energi blues rock dengan sentuhan modern.
Tak berhenti di situ, awal 2025 mereka kembali menggebrak dengan EP kedua, 'It Might Get Loud'. Rilisan ini semakin mengukuhkan posisi mereka di kancah musik internasional. Beberapa single di dalamnya, seperti "Here We Go", "Been There", "Hurricane", "Miles Away", dan "Ginger the Cat", telah mendapatkan sambutan hangat dari para pendengar setia.
Baca Juga: Achonk Menjaga Nyala Musik Blues di Sukabumi dengan Jiwa dan Gitar
Inspirasi dari Gugun Blues Shelter dan Kancah Musik Lokal
Jay the Bird mengakui bahwa salah satu inspirasi terbesarnya datang dari legenda blues Indonesia, Gugun Blues Shelter (GBS). Timmy Hamsen bahkan sering berkomunikasi langsung dengan Gugun untuk berdiskusi tentang teknik dan sound.
"Awalnya, David dan Daniel adalah pemain metal. Tapi setelah saya perkenalkan dengan musik blues yang energik ala GBS, mereka langsung tertarik," kenang Timmy.
Namun, fondasi musik Timmy sendiri terbentuk dari kancah musik lokal Sukabumi yang semarak di era 90-an hingga 2000-an. Timmy mengenang bagaimana musisi-musisi lokal seperti Lee Ming, Achonk, Qnoy, Middle Finger, Ris-ris Rap, dan Bolonk membentuk karakternya.
"Dulu di Cibadak, kalau mau latihan, tinggal telepon sana-sini terus janjian langsung ngagembreng di studio Qinoy. Suasana seperti itulah yang membentuk semangat dan skill kami," ujar Timmy.
Perbedaan Kancah Musik Hamburg dan Sukabumi
Timmy Hamsen memberikan pandangan unik tentang perbedaan lanskap musik antara dua kota yang sangat berbeda: Hamburg dan Sukabumi.
Budaya Apresiasi Musik yang Berbeda
Menurut Timmy, budaya apresiasi musik di Hamburg memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan di Indonesia. Musik klasik, dengan gedung-gedung konser megah dan fasilitas lengkap, sangat dihargai dan punya tempat yang kokoh di budaya mereka.
"Kebanyakan orang Jerman identik sama musik klasik. Banyak sekali konser-konser klasik dengan fasilitas yang menunjang," jelas Timmy.
Selain itu, budaya mendengarkan musik langsung di klub dan kafe juga berbeda. Di Indonesia, lumrah bagi orang untuk makan, minum, dan mengobrol santai sambil menikmati pertunjukan. Di Jerman, kebiasaan ini lebih terpisah.
"Di sini, orang mau makan-minum ke restoran, sedangkan kalau mau lihat musik langsung, mereka ke gedung konser atau klub. Mereka lebih suka kalau makan minum sambil ngobrol, jadi kalau ada musik langsung, mereka kurang suka karena terlalu berisik," tambahnya.
Dalam perjalanan musiknya, Jay the Bird mengakui terinspirasi oleh legenda blues Indonesia, Gugun Blues Shelter (GBS). Timmy Hamsen bahkan kerap berkomunikasi langsung dengan Gugun untuk berdiskusi tentang teknik dan sound
Tantangan sebagai Musisi di Jerman
Timmy juga membagikan tantangan realistis yang dihadapi musisi independen di Jerman. Berbeda dengan Indonesia di mana musik bisa menjadi mata pencaharian utama, di Jerman musisi sering kali harus membagi waktu antara pekerjaan utama dan passion mereka.
"Ini kendala klasik di sini, kami semua sibuk kerja. Soalnya, meskipun ada pemasukan dari musik, belum bisa dijadikan pekerjaan utama buat kita," ujar Timmy.
Kesibukan ini membuat proses produksi, seperti pembuatan video klip, menjadi tantangan tersendiri. "Sambil berjalan beriringan sajalah, tidak ngotot dan tidak kendor malas-malasan juga, karena membagi waktunya yang susah," katanya.
Baca Juga: Geliat Industri Musik: Peran Vital Label Indie di Balik Layar Scene Musik Indonesia
Menjaga Koneksi dengan Musisi Indonesia
Meskipun jarak memisahkan, Timmy tetap aktif berkomunikasi dengan musisi-musisi Indonesia untuk bertukar ide dan mendapatkan masukan. "Tidak gampang buat komunikasi sama teman-teman di Indo... sering tanya-tanya sama Gugun atau komunikasi sama Djimboen Wijaya (gitaris Whizzkid), tidak lupa juga sama teman waktu saya tinggal di Bali, Tude Akustik Sanur," ungkap Timmy.
Hal ini menunjukkan bahwa dukungan dan jaringan dari musisi Indonesia tetap menjadi bagian penting dari perjalanan musik mereka di Jerman.
Pesan untuk Musisi Muda: Berani Ekspansi!
Bagi Timmy, pengalamannya bersama Jay the Bird adalah bukti bahwa fondasi kuat dari komunitas musik lokal dapat menjadi bekal berharga untuk berkarier di kancah internasional. Ia berpesan kepada musisi muda Indonesia, khususnya yang berasal dari kota kecil, untuk berani mengeksplorasi dan tidak takut mencoba hal baru.
"Yang saya sayangkan, banyak talenta yang bagus-bagus dari Cibadak atau Sukabumi, skill juga bagus, cuma sayangnya tidak berani keluar, ekspansi lah! Kalau orang Sunda bilang ngokok di kampung sorangan," pesan Timmy.
Jay the Bird membuktikan bahwa dengan tekad, konsistensi, dan fondasi yang kuat, musik Indonesia dapat bersinar di mana saja, bahkan hingga ke jantung Eropa.
Energi Autentik Blues-Rock dari Hamburg
Patut diingat bagi pencinta musik autentik, bahwa Jay The Bird, kuartet blues-rock di Hamburg ini memadukan energi alamiah dengan pengaruh modern dari pop dan funk. Baik di panggung klub intim maupun festival besar, mereka menghadirkan pertunjukan memukau yang langsung menyihir penonton untuk bergoyang.
Beranggotakan Daniel Rothe (drum), Oda Roerdink (bass), Timmy Hemsen (gitar), dan David Knaack (gitar & vokal), band ini merupakan proyek internasional yang lahir dari beragam akar budaya: Hamburg, Belanda, dan Bali.
Single perdana mereka yang dirilis pada 27 Desember 2024, merupakan kolaborasi istimewa dengan gitaris blues-rock ternama asal Indonesia, meninggalkan kesan mendalam sekaligus membuka jalan bagi EP mereka, "It Might Get Loud" (Januari 2025), yang menunjukkan kekuatan dan keluwesan musikalitas mereka.
Jay The Bird adalah band yang wajib disaksikan langsung dengan vokal powerful, riff tak terlupakan, dan groove yang terus terngiang bahkan setelah musik usai. Ini baru permulaan! Cek Jay the Bird di platform sosial media mereka, atau di Spotify buat dengerin karya mereka.