SUKABUMIIPDATE.com - Di tengah gemuruh musik dan kerumunan ribuan penonton di festival Rock en Seine, Paris, pada 24 Agustus lalu, sebuah pesan politik bergema lantang. Kneecap, trio rap asal Belfast, sekali lagi tidak hanya menghadirkan irama yang menghentak tetapi juga sebuah pernyataan sikap yang berani.
Meski menghadapi penolakan keras dari kelompok-kelompok Yahudi Prancis dan tekanan dari pejabat pemerintah, mereka mengulangi penentangan mereka terhadap perang Israel di Gaza, membuktikan bahwa panggung musik tetap menjadi ruang bagi protes dan solidaritas yang tak terbungkam.
Naik panggung di Saint-Cloud, kelompok yang satu anggotanya bahkan menghadapi dakwaan terorisme di Inggris karena dukungannya terhadap Hizbullah ini, langsung menyasar hati nurani penonton.
Baca Juga: Rage Against the Machine: Ketika Musik Jadi Senjata Budaya, Bukan Sekadar Hiburan
Di awal konser, teriakan "Bebaskan, bebaskan Palestina!" menggema, diikuti oleh sorak-sorai dan nyanyian dari audiens yang tak sedikit terlihat mengenakan keffiyeh dan seragam tim nasional Irlandia. Sebuah bendera Palestina yang terpampang besar di layar atas panggung semakin mengukuhkan momen itu sebagai sebuah pernyataan visual yang powerful.
Aksi mereka terjadi hanya sehari setelah aksi serupa oleh band rock Bring Me The Horizon (BMTH) yang mengibarkan bendera Palestina di panggung Reading Festival. Namun, bagi Kneecap, suara ini adalah bagian tak terpisahkan dari identitas mereka.
Sebagai grup yang berasal dari Irlandia Utara—bagian dari Britania Raya yang memiliki sejarah konflik dan penjajahan yang panjang—mereka telah terbiasa menggunakan platform mereka untuk menyuarakan ketidakadilan. Bagi mereka, konser bukan hanya hiburan; ia adalah mimbar untuk membongkar kekejaman Israel di Gaza dan menyatakan dukungan teguh bagi perjuangan rakyat Palestina.
Baca Juga: 5 Sorotan Dunia Musik: Dari Batam “Pica Pica” hingga Duka di Meksiko
Jejak Sejarah dalam Solidaritas yang Berulang
Apa yang dilakukan Kneecap adalah cerminan dari sebuah narasi solidaritas yang lebih luas dan telah berakar lama antara Irlandia dan Palestina. Banyak orang Irlandia melihat paralel antara perjuangan mereka sendiri untuk kemerdekaan dari kekuasaan Britania Raya dengan perlawanan rakyat Palestina hari ini.
Pengalaman sebagai bangsa yang pernah terjajah menciptakan empati yang mendalam, sebuah pengakuan bahwa perjuangan melawan pendudukan dan apartheid adalah perjuangan universal untuk kemanusiaan.
Penolakan yang mereka terima dari kelompok tertentu di Prancis justru menggarisbawahi kompleksitas dan sensitivitas isu ini. Namun, Kneecap memilih untuk tidak bersikap diam. Dengan terus menyuarakan hal ini, mereka mengikuti jejak panjang musisi dan seniman yang menggunakan popularitas mereka untuk menyoroti ketidakadilan global, mewarisi semangat protes yang menjadi jiwa dari musik rap dan hip-hop itu sendiri.
Pada akhirnya, aksi Kneecap di Rock en Seine lebih dari sekandal headline media. Itu adalah pengingat bahwa dalam dunia yang semakin terpolarisasi, seni dan musik tetap menjadi medan perang makna.
Mereka memaksa kita untuk melihat, mendengar, dan mempertanyakan. Dalam setiap teriakan "Bebaskan Palestina," tersimpan pesan abadi: bahwa solidaritas tidak mengenal batas geografis, dan perlawanan terhadap opresi akan selalu menemukan suaranya, di mana pun panggung itu berada.
Penulis: Danang Hamid