SUKABUMIUPDATE.com - Pada tahun 2025 ini, perayaan Hari Raya Idul Adha 1446 Hijriah jatuh bertepatan dengan hari Jumat. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan di berbagai kalangan umat Muslim, terutama terkait dengan kewajiban menjalankan shalat Jumat.
Banyak yang bertanya-tanya, apabila seseorang telah menunaikan shalat Ied di pagi harinya, apakah ia masih tetap diwajibkan untuk melaksanakan salat Jumat di siang harinya?
Pertanyaan tersebut menjadi penting karena masih banyak umat Muslim yang mempertanyakan tentang shalat Jumat ketika bertepatan dengan hari raya.
Baca Juga: Sunnah Sebelum Shalat Idul Adha: Bolehkah Makan Dulu atau Jangan? Ini Jawabannya!
Mengutip NU Online, Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa berdasarkan Mazhab Imam Syafi'i, hukum shalat Jumat yang jatuh bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha tergantung dimana tempat tinggal seseorang, apakah si fulan rumahnya dekat atau bahkan jauh dari masjid.
Dalam sejumlah riwayat hadits, terdapat ketentuan berupa rukhshah atau keringanan bagi mereka yang telah menunaikan salat Ied agar tidak lagi diwajibkan menjalankan salat Jumat, khususnya bagi penduduk pedalaman yang harus menempuh perjalanan jauh ke kota untuk mengikuti salat Id.
Salah satu hadits yang menjadi dasar keringanan ini adalah riwayat dari Zaid bin Arqam, yang menyatakan:
قال: صَلَّى الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَصَ فِي الْجُمْعَةِ، فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ
Artinya: “Rasulullah menjalankan shalat Ied kemudian memberikan keringanan (rukhshah) perihal tidak mengikuti shalat Jumat. Rasulullah kemudian bersabda, ‘Siapa yang ingin shalat Jumat, silakan!’" (HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ad-Darimi, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Hakim).
Berdasarkan hadits tersebut, para ulama dari mazhab Syafi’i berpendapat bahwa syariat memberikan dispensasi kepada orang-orang yang tinggal di daerah terpencil. Jika mereka telah bersusah payah hadir ke kota untuk menunaikan salat Id pada pagi hari, maka mereka tidak dibebani kewajiban untuk kembali lagi mengikuti salat Jumat di siang harinya.
Pandangan ini ditegaskan dalam karya Imam As-Sya’rani, yang mencatat perbedaan posisi mazhab-mazhab besar dalam menyikapi kondisi semacam ini. Ia menyatakan:
Pendapat As-Syafi’i meringankan orang pedalaman. Pendapat Abu Hanifah membebani orang kota dan orang pedalaman. Pendapat Ahmad bin Hanbal meringankan orang kota dan orang pedalaman. Pendapat Imam Atha sangat meringankan orang kota dan orang pedalaman. Tetapi pilihan atas pelbagai pendapat itu dikembalikan pada pertimbangan yang proporsional. (As-Sya’rani, 1981 M/1401 H: I/202).
Namun demikian, dalam konteks masyarakat Indonesia, terutama di Pulau Jawa hampir seluruh desa telah memiliki masjid yang menyelenggarakan salat Jumat. Dengan demikian, konsep “penduduk pedalaman” yang mengalami kesulitan akses karena jauhnya masjid dari tempat tinggal, sebagaimana dibahas dalam fiqih, tidak sepenuhnya relevan untuk sebagian besar masyarakat Muslim di Indonesia.
Oleh sebab itu, dalam situasi seperti ini, hukum asal tetap diberlakukan: shalat Idul Adha dilaksanakan sebagai sunnah muakkadah, dan shalat Jumat tetap wajib bagi siapa pun yang telah memenuhi syarat kewajiban shalat Jumat.
Pendapat Buya Yahya
Hal senada juga diutarakan oleh Buya Yahya, pengasuh Lembaga Pengembangan Da'wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah Cirebon. Dalam Channel Youtubenya Al-Bahjah TV, ia menjawab pertanyaan terkait hukum shalat Jumat yang bertepatan dengan hari Jumat.
Jika hari raya (Idul Fitri atau Idul Adha) bertepatan dengan hari Jumat, apakah salat Jumat tetap wajib bagi mereka yang semula memang terkena kewajiban Jumat?
“Tentu saja, bagi orang yang memang tidak wajib Jumat—seperti ibu-ibu, musafir, atau orang sakit—tidak perlu dibahas, karena sejak awal memang tidak terkena kewajiban tersebut,” ungkapnya.
Yang menjadi fokus di sini adalah: bagi orang yang wajib Jumat, dan dia sudah melaksanakan salat Id di pagi harinya, apakah kewajiban shalat Jumatnya gugur?
Pendapat Mazhab Syafi'i (yang dianut mayoritas umat Islam di Indonesia): Orang yang telah melaksanakan shalat Ied tetap wajib menunaikan shalat Jumat, selama syarat-syarat kewajiban Jumat terpenuhi.
Namun, perlu dicatat bahwa kewajiban salat Jumat juga bergantung pada keberadaan salat Jumat yang sah di tempat tinggalnya. Jika seseorang tinggal di desa kecil atau kampung yang tidak memenuhi syarat jumlah jemaah tetap (mustauthin)—menurut mazhab Syafi’i minimal 40 orang mukallaf yang menetap—maka kewajiban Jumat bisa gugur. Dalam kasus seperti itu, ia cukup melaksanakan salat Zuhur.
Akan tetapi, jika orang tersebut tinggal tidak jauh dari daerah yang mendirikan salat Jumat secara sah (misalnya perbatasan desa), maka ia tetap dianjurkan untuk pergi ke sana dan menunaikan salat Jumat.
Kesimpulannya, jika Anda tinggal di daerah yang banyak masjid, seperti kebanyakan kampung di Jawa, meskipun sudah shalat Ied, shalat Jumat tetap wajib. Pengecualian berlaku bagi mereka yang tinggal di pelosok atau daerah transmigrasi yang tidak mengadakan Jumat.
Jadi, mari kita pahami ini sebagai wawasan fikih, bukan untuk saling menjatuhkan. Hormati pendapat yang berbeda selama masih bersumber dari mazhab yang diakui. Tetapi, bagi kita yang mengikuti mazhab Syafi’i, tetaplah berpegang pada pendapat ulama kita: jika Anda sudah shalat Ied dan di kampung Anda ada Jumat, maka Anda tetap wajib shalat Jumat.
Kesimpulan praktisnya adalah sebagai berikut:
- Bagi orang yang tinggal dekat masjid: Shalat Jumat tetap wajib, meskipun telah melaksanakan salat Idul Adha di pagi harinya.
- Bagi orang yang tinggal jauh dari masjid atau berada di daerah pedalaman: Jika setelah melaksanakan salat Id mereka tidak memungkinkan kembali untuk shalat Jumat karena faktor jarak atau kesulitan lain yang sah secara syar’i, maka mereka tidak diwajibkan mengikuti salat Jumat. Sebagai gantinya, mereka cukup melaksanakan salat Zuhur di tempat tinggal masing-masing.
Secara umum, bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut mazhab Syafi’i, pelaksanaan salat Jumat tetap merupakan kewajiban meskipun bertepatan dengan hari raya Idul Adha, kecuali dalam kondisi khusus sebagaimana dijelaskan di atas.