SUKABUMIUPDATE.com - Amirudin (45 tahun), warga Kecamatan Kebonpedes, Kabupaten Sukabumi, menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Myanmar. Baru-baru ini ia membagikan kisahnya bagaimana dapat terjebak dalam pusaran eksploitasi penipuan.
Amirudin mendapatkan lowongan kerja dari keponakannya yang tinggal satu kampung dan berangkat lebih dulu yakni Ramadan 2024. Sepengetahuannya, sang keponakan memperoleh informasi dari temannya di Bangka Belitung. Setelah Idulfitri, ia pun banyak bertanya.
"Mereka (keponakan dan temannya) dulu satu tempat belajar di Sukalarang, Kabupaten Sukabumi. Setelah Idulfitri, saya coba tanya-tanya ke dia, ingin tahu seperti apa pekerjaannya. Namanya juga hidup, pasti ingin lebih baik, lebih layak secara ekonomi," kata dia kepada sukabumiupdate.com, Rabu, 11 Juni 2025.
Setelah bertanya, Amirudin menerima penjelasan bahwa pekerjaan di sana adalah sebagai admin cryptocurrency, mirip seperti platform perdagangan daring Binomo di Indonesia. Ketika itu, ia diberi tahu akan bekerja di Thailand, bukan Myanmar. “Saya tertarik, karena menurut keponakan saya tugasnya hanya cari nasabah atau player," ujarnya.
Atas saran keponakannya, Amirudin dihubungkan dengan supervisor atau pemilik agensi asal Malaysia keturunan Tionghoa, bernama Jonathan.
Baca Juga: Jerat Gelap di Asia Tenggara: Sukabumi dalam Pusaran Perdagangan Manusia
Percakapan awal dilakukan melalui Telegram dalam bahasa Inggris. Amirudin dijanjikan gaji Rp 17 juta per bulan, ditambah bonus 10 ribu bāht. “Saya dijanjikan gaji sekitar 17 juta rupiah (33.884,09 bāht Thailand) per bulan, plus bonus 10 ribu bāht (Rp 4.938.672,00), jadi total bisa dapat 20 jutaan rupiah,” ucap dia.
Dalam obrolan itu, Amirudin bertanya lebih jauh. Ia dijelaskan tugasnya hanya perlu mencari dua player setiap bulan. Merasa tugas tersebut mudah, Amirudin optimistis bisa melampaui target yang diberikan. “Saya pikir, jangankan dua orang, lebih pun saya mampu,” katanya.
Rencana Amirudin untuk bekerja di luar negeri sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya, ia pernah mempertimbangkan bekerja di Malaysia setelah sempat mengunjungi negara tersebut dalam rangka tugas sebagai staf remittance di bidang jasa pengiriman uang. Ketika kesempatan kerja di Malaysia belum pasti, ia memilih mencoba peluang lain di Thailand.
Dengan keyakinan penuh, Amirudin mengurus kembali paspornya yang sempat hilang. Setelah paspor selesai, ia memutuskan berangkat ke Thailand. Jika situasi tidak sesuai harapan, ia berencana langsung berpindah ke Malaysia.
Ia merasa semakin yakin karena mendapat jaminan dari Jonathan bahwa visa kerjanya akan diurus secara lengkap, dengan opsi untuk pulang jika tidak betah. “Kata si Mister Jonathan itu, saya ke sana akan diuruskan visa juga olehnya. Nah selama dua minggu, kalau tidak betah, saya bisa memutuskan untuk pulang ke Indonesia,” kata Amirudin.
Sayangnya, keputusan itu membawa Amirudin ke situasi yang jauh dari ekspektasinya, menjadi bagian dari kasus TPPO yang kini sedang diusut lebih lanjut.
Setelah mempertimbangkan banyak hal, termasuk keraguan dari keluarga, Amirudin memutuskan tetap berangkat. Ia datang seorang diri ke Bandara Soekarno-Hatta pada 13 Mei 2024, untuk terbang menggunakan maskapai Lion Air tujuan Bangkok. Setibanya di bandara, ia bertemu seseorang dari Bandung yang juga diajak teman keponakannya. "Jadi kami berdua berangkat, tapi saya sendiri dari Sukabumi."
Sebelum berangkat, Amirudin mengaku sempat mendapat penolakan dari istrinya. Namun karena niatnya yang kuat untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarga, ia melangkah.
Setibanya di Bangkok, ia melanjutkan perjalanan ke Mae Sot, sebuah kota di Thailand yang terletak di perbatasan Myanmar. Amirudin mengudara ke sana menggunakan maskapai domestik, Nok Air. Dari Bandara Mae Sot, ia dijemput mobil berpelat Thailand dan diarahkan ke suatu tempat yang belum dikenalinya.
Perjalanan dengan mobil itu menurutnya terasa aneh. “Di tengah perjalanan, mobil tiba-tiba menikung tajam dengan kecepatan tinggi. Durasi perjalanan sekitar 15 menit. Kalau di kita itu seperti melewati Jalan Lingkar Selatan, menikung dengan cepat,” katanya.
Amirudin mulai curiga ketika mobil membelok tajam dan masuk ke permukiman, bahkan menyeberangi sungai dan dikawal tentara berseragam Border Guard Force (BGF). “Ternyata itu bukan Thailand, saya dibawa ke Myanmar,” ungkapnya yang baru mengetahui lokasi sebenarnya beberapa waktu kemudian. “Saya tahu itu Myanmar tanggal 10 Juni 2024."
Amirudin paham banyak orang akan mempertanyakan mengapa ia tidak tahu sejak awal bahwa berada di Myanmar. Ia menjelaskan kedatangannya dilakukan malam hari, berbeda dengan para pekerja lain yang datang pada siang sehingga bisa melihat kondisi sekitar lebih jelas. “Saya datang malam, jadi tidak lihat ada bendera atau penanda lain,” jelasnya.
Tempat ia bekerja berada di sebuah kompleks tertutup, seperti perumahan yang dilengkapi kebutuhan seperti sembako dan fasilitas lainnya. Tetapi tempat itu memiliki aturan ketat: semua pekerja dilarang keluar dari kompleks dan dijaga oleh pasukan BGF.
"Di sana saya jarang keluar dan memang tidak terlalu banyak bergaul," ujarnya.
Ia juga menyebut bahwa dirinya adalah yang paling tua di antara para pekerja, sedangkan yang lain kebanyakan masih muda dan sering bermain ke taman atau bersosialisasi.
Amirudin sempat mencoba memastikan lokasinya melalui Google Maps, namun hasilnya tak meyakinkan. “Sinyalnya susah, loading lama, dan yang terbaca pun masih GPS dari Thailand, makanya saya percaya tempat itu masih di wilayah Thailand,” kata dia.
Ia juga mengalami kesulitan berkomunikasi dengan keluarganya karena buruknya sinyal di lokasi tersebut. Aplikasi WhatsApp sulit digunakan, sehingga ia beralih menggunakan Telegram. Namun hal ini menyulitkannya karena kebanyakan orang di Indonesia, termasuk keluarganya, lebih umum menggunakan WhatsApp. “Jadi saya minta istri saya untuk install Telegram supaya bisa komunikasi sama saya,” ungkap Amirudin.
Masuk Jebakan Scam
Amirudin memulai hari pertamanya bekerja pada 14 Mei 2024. Saat itu ia ditugaskan di divisi Human Resources Development (HRD), mengurusi pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). “Semua orang yang baru datang memang selalu ditaruh dulu di bagian HRD,” ujar dia.
Ia mengungkapkan dari seluruh karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut, sekitar 30 persen adalah perempuan, sisanya laki-laki. Namun seiring berjalannya waktu, Amirudin baru menyadari bahwa pekerjaan yang dijalankan di perusahaan itu bukanlah pekerjaan yang wajar.
“Pekerjaan kami di sana itu sebenarnya scammer,” katanya terus terang.
Amirudin menjelaskan, meski tempat kerja tersebut mengaku bergerak di bidang cryptocurrency, kenyataannya yang mereka lakukan adalah menipu dengan kedok crypto palsu.
“Itu crypto ada, tapi bukan crypto asli, scammer. Ada juga yang berperan sebagai tentara padahal aslinya mereka hanya menipu,” tambahnya.
Ia mengatakan peran dirinya dalam skema itu adalah sebagai pencari nomor kontak target. “Tugas saya mencari nomor, pura-pura mencintai korban,” ungkapnya yang menyebut target utamanya adalah orang Indonesia, karena pasarnya memang dari negara asalnya sendiri. Namun ia secara sadar memilih untuk lebih banyak menargetkan orang Malaysia.
“Saya gak enak hati bangsa sendiri saya tipu. Saya tahu saya mencari nomor ini tujuannya akan ditipu. Saya lebih memilih korban kebanyakan dari Malaysia,” katanya.
Amirudin menyebut dia mencari nomor-nomor tersebut melalui platform online shop yang ternyata juga palsu. Skema penipuan ini dijalankan melalui aplikasi bernama Dating Love, di mana para scammer diminta mencari target korban dari media sosial seperti Facebook, Instagram, dan lainnya. Mereka menyamar sebagai wanita dengan memakai identitas selebgram atau karakter menarik lainnya. “Setelah saya dapat calon korban, nomornya saya serahkan ke tim lain,” ujarnya.
Tim lain itu kebanyakan dari warga negara Cina yang fasih berbahasa Melayu atau menggunakan translate. Mereka bertugas melanjutkan proses penipuan dengan membangun hubungan emosional dengan korban. Nantinya, korban diminta menginvestasikan uang melalui aplikasi palsu tersebut. Mereka diyakinkan dengan janji keuntungan atau dijebak dengan perasaan cinta palsu yang dibangun oleh karakter fiktif yang digunakan dalam prosesnya.
“Ada yang bukan tergiur dengan keuntungan, tapi mereka yang merasa sudah dekat dengan karakter yang digunakan untuk menipu,” kata dia.
Baca laporan lengkapnya di artikel SOROT berjudul "Jerat Gelap di Asia Tenggara: Sukabumi dalam Pusaran Perdagangan Manusia."