SUKABUMIUPDATE.com - Sudah lebih dari empat bulan, 14 keluarga di Desa Neglasari, Kecamatan Purabaya, Kabupaten Sukabumi, tinggal di hunian sementara atau huntara, setelah pergerakan tanah pada 4 Desember 2024 memaksanya meninggalkan rumah. Mereka kini bertahan di hunian darurat berukuran 4x4 meter yang dibangun dari bambu, berdinding dan beratap terpal, serta berdiri di atas lahan milik warga yang meminjamkan.
“Kondisi mereka memprihatinkan. Huntara ini dibangun dari bahan seadanya oleh BPBD dan relawan Sehati. Anak-anak sekolah pun harus belajar di SD darurat di Kalibunder,” kata Camat Purabaya Sri Yuliani saat dikonfirmasi sukabumiupdate.com, Sabtu (14/6/2025).
Selain 14 keluarga tersebut, dua keluarga lainnya terpaksa tinggal di lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik Jasula Wangi, yang sementara ini diizinkan digunakan dengan kesepakatan bahwa mereka akan pindah begitu hunian tetap atau huntap selesai dibangun oleh pemerintah.
Baca Juga: Luka Tanah Bergerak: Bertahan di Bilik Huntara, Warga Lembursawah Sukabumi Menanti Masa Depan
Menurut Sri, lahan untuk pembangunan huntap sebenarnya sudah disediakan. Bagian dari 5 hektare lahan penyisihan dari HGU Jasula Wangi telah dialokasikan, meski sebagian kecil masih digunakan lapang sepak bola. Tinggal menunggu pembangunan fisik huntap oleh pemerintah.
"Tanah untuk huntap sudah siap, tinggal menunggu proses pembangunan. Harapan kami tentu agar proses ini bisa segera direalisasikan agar warga tidak terus-menerus berada di huntara dengan kondisi terbatas. Jadi semuanya ada 16 KK (keluarga), 46 jiwa," ujarnya.
Kondisi di huntara memang jauh dari kata layak. Meski listrik dan air bersih tersedia berkat bantuan pihak ketiga yang menyediakan sumur bor dan instalasi listrik, stok logistik mulai menipis. Bantuan dari Pemdes, Forkopimcam, dan donatur kini hampir habis. Sementara untuk makan sehari-hari, warga mengandalkan hasil ladang dan sawah mereka.
Sopyan (40 tahun), salah satu warga penghuni huntara, mengungkapkan harapannya. “Kami bersyukur masih bisa bertahan, tapi harapan kami cuma satu: semoga pemerintah segera bangunkan hunian tetap untuk kami. Hidup di huntara seperti ini tidak mudah, apalagi kalau musim hujan datang,” katanya.
Meski di tengah keterbatasan, semangat masyarakat masih terlihat. Anak-anak tetap bersekolah, petani turun ke ladang, dan solidaritas antarwarga menjadi penopang utama untuk bertahan. Harapan mereka kini bergantung pada percepatan pembangunan huntap yang lebih layak dan aman.