Registrasi Kartu SIM Biometrik Mulai 2026, Berisiko Abaikan Masyarakat Daerah 3T

Sukabumiupdate.com
Jumat 26 Des 2025, 17:48 WIB
Registrasi Kartu SIM Biometrik Mulai 2026, Berisiko Abaikan Masyarakat Daerah 3T

Ilustrasi - Regustrasi Kartu SIM Biometrik dengan face recognition. (Sumber : AI/Copilot).

SUKABUMIUDPATE.com - Registrasi Kartu SIM berbasis biometrik menggunakan data wajah atau face recognition yang akan diterapkan di 2026, menimbulkan kritik dari beberapa pengamat. Rencana tersebut dinilai memiliki kelemahan serius jika dilaksanakan secara terburu-buru tanpa persiapan yang matang.

Komisioner Ombudsman RI periode 2016-2021, Alamsyah Saragih mengatakan masalah yang akan timbul nantinya adalah risiko pengabaian masyarakat yang tinggal di daerah terpencil atau 3T (tertinggal, terdepan, terluar), terutama mereka yang masih menggunakan gawai dengan teknologi 2G.

“Ada keterbatasan akses biometrik di wilayah-wilayah tertentu. Kalau ini tidak dimitigasi, ini akan jadi sumber keributan. Saya enggak membayangkan terjadi bencana, handphone hilang, mau register tercepat, orang terus kemudian harus pakai face recognition, sementara sistemnya belum jalan,” kata Komisioner Ombudsman RI 2016-2021, Alamsyah Saragih di Jakarta pada 18 Desember 025.

Ketakutan tersebut didukung data dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), dimana hingga tahun 2023 masih terdapat 154.416 infrastruktur BTS 2G yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia, terutama di daerah terpencil.

Baca Juga: GSBI Kecam Besaran UMK Sukabumi 2026 di Bawah Rekomendasi Bupati, KDM Dinilai Ingkar Janji

Bahkan di 2023, masih ada 681 infrastruktur BTS 2G yang dibangun di Aceh. Sementara Provinsi Jawa Barat masih menduduki jumlah infrastruktur BTS 2G terbanyak pada tahun 2023 yaitu sejumlah 25.327.

Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi juga mengemukakan kekhawatirannya. Ia mengatakan penerapan registrasi SIM berbasis data biometrik menghadapi tantangan serius di wilayah 3T.

Sebab di wilayah tersebut penggunaan smartphone belum merata, akses internet masih 2G atau sangat terbatas, dan literasi digital relatif rendah. Selain itu, wilayah bencana yang terjadi beberapa waktu terakhir ini juga dinilainya perlu jadi perhatian.

"Oleh karena itu, pemerintah perlu menerapkan pendekatan asimetris antara lain registrasi SIM berbasis gerai atau offline dengan perangkat FR portabel, integrasi layanan Dukcapil–Operator di tingkat kecamatan/desa, dan transisi bertahap, di mana wilayah 3T dan wilayah kena bencana diberi masa adaptasi lebih panjang," kata Heru.

Risiko Kebocoran

Selain itu, Alamsyah juga mengatakan data biometrik berbeda dari kata sandi atau password yang bisa dengan mudah diganti secara berkala. Sekali digunakan, maka data biometrik tersebut akan terus dipakai dan tak bisa diubah.

“Pertama biometrik bukan password yang bisa diganti. Jadi sekali dia masuk, tidak bisa diperbaiki, kemudian dia akan dipakai berkali-kali, itu ada resiko,” beber Alamsyah.

Konsekuensinya, lanjut Alamsyah, jika terjadi kebocoran risikonya akan sangat serius. Karena data biometrik tidak bisa diganti seperti ketika terjadi kebocoran data password atau kata sandi.

“Tapi kalau sidik jari dan face recognition, makanya seumur hidup data kita bisa dikumpulkan oleh orang lain,” ia mewanti-wanti.

Sementara Heru mewanti-wanti para operator seluler untuk tidak menyimpan data biometrik wajah penduduk untuk melakukan registrasi SIM card atau kartu SIM.

"Mekanisme registrasi biometrik ini harus bersifat data minimization, yakni face recognition hanya digunakan untuk verifikasi (1:1 matching), bukan penyimpanan ulang oleh operator," kata Heru.

Heru juga menekankan penerapan registrasi SIM berbasis data biometrik perlu kesiapan menyeluruh, termasuk pada Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai pemilik basis data biometrik nasional.

Menurutnya, sebagian besar warga negara Indonesia telah direkam biometrik wajahnya melalui proses perekaman e-KTP. Namun dia tak menampik masih ada penduduk rentan seperti lansia, disabilitas, masyarakat adat, hingga migran internal yang belum terekam atau datanya bermasalah.

Selain itu kualitas data lama saat perekaman awal e-KTP juga dapat menyebabkan false rejection pada sistem face recognition (FR) karena data tersebut diambil sekitar 2014.

"Karena itu, FR tidak boleh menjadi satu-satunya mekanisme jika ada kendala. Pemerintah harus menyediakan opsi verifikasi manual atau offline, layanan pembaruan biometrik cepat, kemudian mekanisme keberatan dan eskalasi layanan yang sederhana," pungkas Heru.

Diketahui Pemerintah bakal menerapkan sensor biometrik untuk pendaftaran kartu SIM mulai 1 Januari 2026. Kementerian Komdigi menyebut kebijakan ini sebagai upaya strategis memutus rantai kejahatan digital yang selama ini menjadikan nomor seluler sebagai gerbang utama penipuan.

Pada tahap awal, registrasi biometrik face recognition akan bersifat sukarela dan berjalan secara hybrid hingga akhir Juni 2026. Setelah itu, mulai 1 Juli 2026, seluruh registrasi pelanggan baru akan dilakukan sepenuhnya menggunakan face recognition. (*)

 

 

Berita Terkait
Berita Terkini