Setelah 17 Tahun Ahli Botani Ini Temukan Bunga Bangkai Raksasa Paling Langka

Sukabumiupdate.com
Kamis 20 Nov 2025, 17:39 WIB
Setelah 17 Tahun Ahli Botani Ini Temukan Bunga Bangkai Raksasa Paling Langka

Setelah 17 Tahun, Ahli Botani Ini Temukan Rafflesia Banaona Langka di Hutan Kalinga, Filipina (Credit Foto:@thorogoodchris1/X.com)

SUKABUMIUPDATE.com - Di balik tirai kabut tebal yang menyelimuti hutan pegunungan terpencil di Kalinga, di mana suara burung enggang (hornbill) menjadi satu-satunya penanda kehidupan, sebuah momen luar biasa terjadi. Seorang pria berkebangsaan Inggris, yang telah bertahun-tahun menjelajahi hutan hujan Asia Tenggara, berlutut dengan lutut gemetar. Di hadapannya, mekar sempurna, adalah bunga merah raksasa yang tampak seperti mimpi atau makhluk dari planet lain. Air mata kelegaan dan haru menetes dari matanya, membasahi tanah hutan yang lembap.

Pria itu adalah Dr. Chris Thorogood, seorang ahli botani terkemuka yang menjabat sebagai Deputi Direktur Oxford Botanic Garden & Arboretum, Universitas Oxford. Ia kemudian mengungkapkan bahwa momen tersebut, setelah pencarian selama hampir dua dekade, adalah "momen paling emosional dalam hidup saya sebagai botanis," sebuah pengakuan atas beratnya beban dan harapan yang ia pikul selama ini.

Bunga yang menyebabkan emosi begitu mendalam itu adalah Rafflesia banaoana sebuah spesies yang sangat langka dan sulit ditemukan, yang secara historis hanya pernah didokumentasikan oleh dua orang Filipina di masa lalu. Penemuan kembali dan penampakan bunga ini adalah puncak dari perjalanan epik selama 17 tahun yang diisi dengan kegagalan yang tak terhitung, serangan nyamuk dan lintah yang tak terhindarkan, tantangan fisik yang ekstrem, namun juga didorong oleh obsesi dan harapan yang tak pernah padam. Perjalanan ini bukan hanya sekadar ekspedisi ilmiah, tetapi juga sebuah ziarah untuk menyelamatkan salah satu keajaiban alam terbesar di Bumi yang berada di ambang kehancuran.

Baca Juga: Rumor Yudo Sadewa Terlibat Perang Lawan Pencucian Uang Crypto Mixer

Ahli Botani Oxford Temukan Rafflesia Langka Peringatkan 60% Spesies Terancam Punah (Credit Foto:@thorogoodchris1/X.com)Ahli Botani Oxford Temukan Rafflesia Langka Peringatkan 60% Spesies Terancam Punah (Credit Foto:@thorogoodchris1/X.com)

Kisah gairah Chris Thorogood terhadap genus Rafflesia bermula pada tahun 2008. Saat itu, ia masih seorang doktor muda yang sedang meniti karier di bidang botani ketika ia pertama kali melihat foto ikonik Rafflesia arnoldii spesies dengan diameter terbesar yang ditemukan di hutan Sumatra. Dampaknya sangat instan dan transformatif. “Saya langsung jatuh cinta.

Bunga ini seperti alien tidak punya daun, batang, akar, [dan] tidak berfotosintesis, tapi bisa mekar hingga berdiameter lebih dari satu meter dan mengeluarkan bau bangkai yang khas,” ceritanya, mengenang awal mula obsesinya dalam buku terbarunya, Pathless Forest: The Quest to Save the World’s Largest Flowers yang terbit pada tahun 2024.

Sejak momen itu, Thorogood memutuskan untuk mendedikasikan hidupnya. Ia menghabiskan ratusan hari di medan yang paling sulit di hutan hujan Malaysia, Indonesia, dan Filipina seringkali harus berjalan kaki berhari-hari melintasi hutan lebat tanpa jaminan sedikit pun bahwa ia akan menemukan satu bunga Rafflesia yang mekar. Ia menjelaskan betapa sulitnya pencarian ini: “Rafflesia hanya mekar selama 5–7 hari sebelum layu dan mati. Kalau Anda salah waktu beberapa jam saja, Anda pulang dengan tangan hampa setelah semua pengorbanan itu,” sebuah tantangan yang menuntut kombinasi antara ketekunan, perencanaan yang cermat, dan keberuntungan yang luar biasa.

Baca Juga: Respon Netizen terhadap Ancaman Pemblokiran Cloudflare Sebagai Sanksi "Mau Bunuh Diri?"

Chris ThorogoodChris Thorogood:"“Yang paling membanggakan saya bukan menemukan spesies langka,” kata Chris, “tapi melihat masyarakat adat bangga dengan warisan mereka. Mereka bilang, ‘Ini bunga kami, kami yang menjaga’.”(Credit Foto:@thorogoodchris1/X.com)

Setelah 14 tahun berlalu dalam pencarian yang gigih namun penuh frustrasi, kesabaran dan dedikasi Chris Thorogood akhirnya membuahkan hasil. Pada tahun 2022, ia menerima undangan yang sangat berharga dari suku Banao sebuah komunitas adat yang selama beberapa generasi telah menjadi penjaga rahasia lokasi Rafflesia banaoana. Ini adalah kehormatan besar, karena suku Banao hanya akan membawa orang luar yang benar-benar mereka percaya ke lokasi keramat ini.

Ekspedisi menuju lokasi penemuan ini sendiri adalah sebuah ujian fisik: mereka harus berjalan kaki mendaki selama enam jam, menyusuri hutan yang begitu perawan hingga tidak tercantum dalam peta modern mana pun. Saat mereka akhirnya tiba di lokasi, hadiah yang menanti mereka benar-benar memukau.  Di hadapannya, bunga itu mekar sempurna, dengan ukuran hampir sebesar ban mobil. Kelopaknya berwarna merah darah yang dramatis dengan bintik-bintik putih, mengeluarkan bau busuk yang kuat mekanisme evolusioner untuk memanggil lalat sebagai penyerbuknya.

Momen itu begitu mendalam hingga Chris tidak kuasa menahan air matanya. “Saya menangis. Bukan karena lelahnya pendakian, tapi karena saya tahu betapa rapuhnya bunga ini. Satu kali saja ada pembalakan liar, atau satu proyek bendungan yang tidak direncanakan, semua keindahan dan keunikan ini bisa lenyap selamanya,” ujarnya, menyoroti betapa tipisnya garis antara keberadaan dan kepunahan spesies ini.

Kekhawatiran yang diungkapkan oleh Thorogood didukung oleh data ilmiah yang mengejutkan. Pada tahun 2023, ia memimpin sebuah penelitian konservasi skala besar yang diterbitkan dalam jurnal bergengsi Plants, People, Planet. Temuan dari studi ini sangat mengkhawatirkan: dari total 42 spesies Rafflesia yang telah diidentifikasi secara global, 60% (atau 25 spesies) masuk dalam kategori Critically Endangered (Kritis), sementara 15 spesies lainnya diklasifikasikan sebagai Endangered (Terancam Punah). Ironisnya, meskipun tingkat ancaman ini begitu tinggi, hanya SATU spesies Rafflesia yang saat ini secara resmi tercantum dalam Daftar Merah IUCN (International Union for Conservation of Nature), yang berfungsi sebagai standar global untuk status konservasi.

Baca Juga: KDM Tegaskan Langkah Jabar Dukung Target Pertumbuhan Ekonomi Nasional 8 Persen

Setelah 17 Tahun, Ahli Botani Ini Temukan Rafflesia Banaona Langka di Hutan Kalinga, FilipinaSetelah 17 Tahun, Ahli Botani Ini Temukan Rafflesia Banaona Langka di Hutan Kalinga, Filipina

Chris Thorogood menegaskan bahwa ini adalah krisis konservasi yang mendesak. “Kalau kita tidak bertindak sekarang, kita akan kehilangan bunga terbesar di dunia ini dalam kurun waktu 20 hingga 30 tahun mendatang,” sebuah peringatan keras tentang perlombaan melawan waktu yang sedang dihadapi oleh para ilmuwan dan penjaga hutan.

Namun, di tengah laporan yang suram mengenai ancaman kepunahan, terdapat beberapa titik terang dan harapan yang mulai bermekaran. Upaya konservasi ex-situ (di luar habitat alami) telah menunjukkan potensi yang signifikan. Pada tahun 2010, Kebun Raya Bogor di Indonesia berhasil mencapai terobosan global dengan membuat Rafflesia patma berbunga di luar habitat aslinya sebuah pencapaian ilmiah yang sangat sulit mengingat sifat parasit Rafflesia.

Keberhasilan ini telah memicu upaya lebih lanjut: para peneliti di Universitas Philippines Los Baños (UPLB) dan tim dari Oxford yang dipimpin Thorogood kini secara aktif menyempurnakan teknik pencangkokan tanaman inang Tetrastigma, yang merupakan satu-satunya inang bagi Rafflesia, dengan harapan dapat mengembangbiakkan spesies lain. Lebih penting lagi, harapan terbesar datang dari inisiatif akar rumput.

Suku Banao di Filipina, misalnya, kini telah memeluk peran sebagai "penjaga resmi" Rafflesia banaoana. Mereka tidak hanya secara teratur melakukan patroli untuk memantau bunga, tetapi juga dengan tegas menolak tawaran menggiurkan dari perusahaan tambang yang ingin merusak habitat mereka. Dengan bertindak sebagai filter, mereka hanya memperbolehkan peneliti yang benar-benar terpercaya untuk mengakses lokasi tersebut, menjadikannya model konservasi berbasis masyarakat yang berhasil.

Perjuangan Dr. Chris Thorogood masih jauh dari selesai. Saat ini, ia masih secara aktif melakukan perjalanan antara Asia dan Eropa. Fokus utamanya kini beralih ke ranah kebijakan global. Ia sedang bekerja keras menyiapkan proposal komprehensif agar SEMUA spesies Rafflesia yang terancam punah dapat secara resmi dimasukkan ke dalam Daftar Merah IUCN pada tahun 2026. Ia sangat menghargai kerja keras para penjaga hutan yang menjadi mitra penting di lapangan, khususnya di Indonesia, tempat Rafflesia terbesar berada.

Baca Juga: Kunjungi Pabrik di Sukabumi, Pengelola Masjid Istiqlal Puji Mutu-Transparansi dan Kehalalan Aqua

Saat ini Chris masih bolak-balik Asia Tenggara. Ia sedang menyiapkan proposal agar SEMUA spesies Rafflesia masuk Daftar Merah IUCN tahun 2026.Saat ini Chris masih bolak-balik Asia Tenggara. Ia sedang menyiapkan proposal agar SEMUA spesies Rafflesia masuk Daftar Merah IUCN tahun 2026 (Credit Foto:@thorogoodchris1/X.com).

“Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para rimbawan Sumatera Barat, khususnya Pak Iwan dan Bang Deki, yang telah berbagi bunga istimewa ini dengan kami, kami tidak akan pernah melupakannya,” kata Chris, menegaskan bahwa kolaborasi dan kepercayaan lokal adalah kunci keberhasilan konservasi.

Secara paralel, ia terus melakukan kampanye ekowisata yang bertanggung jawab. Pesannya kepada para wisatawan dan pecinta alam sangat jelas, “Lihatlah dari jauh, jangan sentuh bunganya, jangan gunakan flash saat memotret, dan yang terpenting jangan biarkan hutan tempat mereka hidup hilang demi perkebunan sawit atau proyek tambang.” Di akhir wawancara yang intens, Chris sempat menatap foto Rafflesia banaoana di ponselnya. Sambil tersenyum kecil, ia merenung: “Saya sudah 17 tahun mengejar bunga yang cuma mekar seminggu sekali. Tapi kalau kita berhasil menyelamatkannya, bunga ini akan tetap ada ratusan tahun lagi  bahkan setelah saya tiada.”

Bunga bangkai raksasa itu mungkin masih mengeluarkan bau busuk yang khas, namun di balik aroma tersebut, ada benih harapan besar yang sedang mekar perlahan sebuah harapan yang ditopang oleh ilmuwan Inggris yang gigih, kolaborasi ilmiah global, dan ratusan penjaga hutan adat dari seluruh Asia Tenggara. Mereka semua kini sedang berpacu dengan waktu untuk memastikan kelangsungan hidup flora yang menakjubkan ini.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini