Pendingin AC Itu Kuno! Tiongkok Malah Tenggelamkan Server ke Dasar Laut, Pengaruh Ibu Susi?

Sukabumiupdate.com
Senin 17 Nov 2025, 07:54 WIB
Pendingin AC Itu Kuno! Tiongkok Malah Tenggelamkan Server ke Dasar Laut, Pengaruh Ibu Susi?

Pendingin Ruangan (AC) Kuno di Darat, China Main Level! Server Google, Meta, dan Lainnya 'Diungsikan' ke Dasar Laut Demi Dingin yang tak terbatas. (GenIMage Ilustrasi: CanvaAI)

SUKABUMIUPDATE.com - Dalam perlombaan global menuju komputasi yang lebih efisien, Tiongkok tidak hanya berinovasi dengan cara menenggelamkan infrastruktur konvensional. Di lepas pantai Lin-gang, sebuah kawasan khusus di Shanghai, fasilitas pusat data bawah laut (Underwater Data Center/UDC) pertama di dunia yang beroperasi secara komersial kini menjadi kenyataan. Server yang biasanya ditempatkan di gudang ber-AC yang haus daya, kini dikemas dalam kapsul kedap air, diletakkan di dasar laut, dan menggunakan air dingin samudra sebagai pendingin alami.

Tentu saja, langkah ambisius ini menjanjikan penghematan energi masif, tetapi juga membuka kotak Pandora baru mengenai dampak ekologis di lautan. Pusat data di darat dikenal sebagai "rakus" energi. Hampir 40% hingga 50% dari total daya mereka dihabiskan hanya untuk pendinginan. Dengan suhu air laut yang stabil dan dingin di kedalaman, UDC Tiongkok membalikkan logika ini.

Su Yang, Manajer Umum Shanghai Hicloud Technology, salah satu kontraktor proyek, mengklaim bahwa proyek bawah laut ini dirancang untuk menghemat konsumsi daya hingga 22,8% dan menghilangkan kebutuhan akan air tawar sama sekali. Parameter kunci efisiensi Power Usage Effectiveness (PUE) pada fasilitas ini ditargetkan di bawah 1,15. Ini jauh melampaui standar industri modern (rata-rata PUE global berkisar 1,50) dan memenuhi ambisi Tiongkok untuk infrastruktur komputasi rendah karbon.

Baca Juga: Teknologi Memanggil! Ketika Kloning Suara AI Berujung Tuntutan Perampokan oleh Morgan Freeman

Selagi perusahaan teknologi global berkutat dengan dilema pendinginan ruangan (AC) server yang rakus daya, di mana-mana orang sibuk membandingkan keunggulan chiller buatan Tiongkok, ternyata para engineer top dunia mendapatkan inspirasi paling out of the box dari Indonesia, lho.Mereka sadar bahwa mereka salah fokus, alih-alih melawan panas, kenapa tidak memanfaatkan dingin yang tak terbatas? Dengan filosofi yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan penangkapan ikan ilegal, mereka serempak menghentikan produksi unit cooling mahal dan berteriak, "Tiga, Dua, Satu, TENGGELAMKAN!" mengubah lautan menjadi liquid cooling system terbesar dan termurah yang pernah ada.

Perwujudan humor dan kepraktisan yang ekstrem, di mana data center yang harusnya steril dan dijaga ketat di darat malah disuruh "berenang" permanen di kedalaman. Mereka meniru ketegasan Ibu Susi Pudjiastuti, namun dengan objek yang berbeda, jika Ibu Susi menenggelamkan kapal yang melanggar hukum, para tech leader ini menenggelamkan server mereka demi mencapai efisiensi energi tertinggi. Langkah ekstrem nan jenius ini akhirnya membuktikan bahwa terkadang, solusi teknologi paling canggih justru datang dari kebijakan yang paling sederhana, paling nyentrik, dan paling mantap yang pernah diucapkan di Nusantara.

Selain itu, pusat data ini sebagian besar dihubungkan ke ladang angin lepas pantai, memastikan lebih dari 95% energinya berasal dari sumber terbarukan. Meskipun UDC menjanjikan penghematan energi darat yang signifikan dan menghilangkan jejak karbon yang masif, kritik utama justru mengarah ke laut itu sendiri: Polusi Termal.

Akhir Era AC Server! Solusi Cooling China: Tenggelamkan Komputer di Bawah Laut. Laut Adalah Liquid Cooling Paling Premium!Akhir Era AC Server! Solusi Cooling China: Tenggelamkan Komputer di Bawah Laut. Laut Adalah Liquid Cooling Paling Premium! (Ilustrasi:CanvaAI)

Server melepaskan panas (sekitar 24 Megawatt untuk total proyek Shanghai), dan panas ini dilepaskan ke air laut di sekitarnya. Meskipun sistem dirancang untuk menyebarkan panas secara efektif, muncul kekhawatiran dari para ekolog kelautan:

  • Gangguan Ekosistem: Peningkatan suhu air laut, sekecil apa pun, dapat menarik atau mengusir spesies tertentu, berpotensi mengganggu rantai makanan dan keanekaragaman hayati lokal di sekitar lokasi server.
  • Zona Dampak: Para ilmuwan memperingatkan bahwa saat Tiongkok meningkatkan skala proyek ini menenggelamkan lebih banyak modul total panas yang dibuang juga akan meningkat. Skala megaproyek memerlukan studi yang lebih mendalam mengenai zona termal yang tercipta dan dampak jangka panjangnya.

Namun, pengembang UDC, merujuk pada hasil uji coba awal di Zhuhai pada tahun 2020, mengklaim bahwa peningkatan suhu air di sekitar kapsul tetap di bawah ambang batas yang dapat diterima dan tidak menimbulkan dampak yang substantif.

Baca Juga: 15 Fakta Menarik  Lagu Bohemian Rhapsody Komposisi Lagu Queen Paling Megah

Proyek pusat data bawah laut hanyalah satu contoh kecil dari strategi komprehensif Tiongkok untuk memimpin dalam transisi energi global. Dengan target ambisius untuk mencapai puncak emisi karbon sebelum 2030 dan netralitas karbon sebelum 2060, Tiongkok telah mengalihkan fokus dari "Tiga Komoditas Lama" (pakaian, furnitur, peralatan rumah tangga) ke "Tiga Komoditas Baru" yang ramah lingkungan:

  1. Kendaraan Listrik (EV) dan Baterai: Tiongkok adalah pasar EV terbesar di dunia dan merupakan pemimpin global dalam produksi baterai lithium-ion. Mereka menguasai lebih dari 60% pangsa pasar global untuk baterai EV, memasok tulang punggung transportasi bersih di seluruh dunia.
  2. Solar Photovoltaics (PV): Tiongkok memproduksi sekitar 80% dari seluruh rantai pasokan sel surya global. Keahlian ini telah mendorong penurunan drastis biaya panel surya, membuat energi matahari menjadi pilihan yang terjangkau bagi negara berkembang.
  3. Energi Angin: Tiongkok tidak hanya memiliki kapasitas terpasang terbesar, tetapi juga memelopori desain turbin angin yang tahan terhadap kondisi ekstrem. Perusahaan seperti Mingyang Smart Energy telah mengembangkan turbin raksasa lepas pantai (seperti turbin berkapasitas 12 MW) yang dapat beroperasi secara stabil bahkan saat terjadi topan dahsyat di zona pesisir yang rawan badai.

Baca Juga: Bojan Hodak Temui Zlatko Dalic, Mencari Bekal untuk Melatih Timnas Indonesia?

Secara keseluruhan, Tiongkok telah melampaui target yang ditetapkan untuk tahun 2030 (1.200 GW energi angin dan surya) jauh lebih awal, menggarisbawahi kecepatan dan skala investasinya dalam infrastruktur energi bersih. Pusat data bawah laut adalah perpanjangan logis dari strategi ini menerapkan inovasi teknologi untuk mengatasi salah satu tantangan terbesar dalam era digital, efisiensi energi.

Selamatkan Bumi dari Panas Server: Bukan Aquaman, Ini China! Biarkan Dunia Sibuk Atur Suhu Ruangan, Mereka Bangun Data Center di Kandang Ikan!Selamatkan Bumi dari Panas Server: Bukan Aquaman, Ini China! Biarkan Dunia Sibuk Atur Suhu Ruangan, Mereka Bangun Data Center di Kandang Ikan! (Ilustrasi:CanvaAI)

Pusat data konvensional menawarkan kemudahan perbaikan; jika ada hard drive yang gagal, teknisi dapat menggantinya dalam hitungan menit. UDC tidak menawarkan kemewahan tersebut.

  • Pemeliharaan Mahal: Jika satu komponen gagal, keseluruhan modul harus diangkat ke permukaan menggunakan kapal khusus, dibawa ke fasilitas darat, diperbaiki, dan ditenggelamkan kembali. Prosedur ini lambat, rumit, dan sangat mahal.
  • Fokus Keandalan: Oleh karena itu, strategi Tiongkok berfokus pada keandalan komponen yang jauh lebih tinggi dan desain modular yang memungkinkan penggantian seluruh kapsul, memprioritaskan efisiensi energi jangka panjang di atas kemudahan akses harian.

Tiongkok, dengan proyek di Shanghai ini, telah mengubah ide radikal menjadi realitas komersial. Sementara dunia berjuang menghadapi tagihan energi pusat data yang melonjak, Negeri Tirai Bambu telah menunjukkan bahwa masa depan digital kita mungkin tidak lagi berada di awan, tetapi diam-diam di dasar lautan yang dingin.

Namun, terlepas dari kejenakaan meniru filosofi "Tenggelamkan!" ala Ibu Susi Pudjiastuti, muncul pertanyaan geopolitik dan ekologis yang jauh lebih serius. Inovasi data center bawah laut ini menuntut kontrol maritim yang mutlak dan kemampuan deployment yang masif, sebuah kemewahan yang hanya dimiliki oleh segelintir negara dengan yurisdiksi lautan yang dominan.

Mampukah negara-negara lain, yang tidak memiliki kendali ketat atas wilayah maritimnya dan masih berjuang melawan penangkapan ikan ilegal, meniru inovasi berisiko tinggi ini tanpa wilayah perairan mereka disalahgunakan atau dijarah? Lebih penting lagi, apakah penghematan energi yang luar biasa dari pendinginan alami ini sebanding dengan potensi risiko ekologis yang belum teruji di bawah laut?

Penenggelaman ribuan ton hardware elektronik walaupun diklaim ramah lingkungan dapat mengubah suhu perairan lokal, menimbulkan polusi akustik pada ekosistem laut dalam, dan menciptakan sampah elektronik skala raksasa. Singkatnya, menenggelamkan server mungkin berhasil memecahkan masalah panas di darat, tetapi berpotensi memindahkan dan memperparah masalah lingkungan ke dasar laut, menjadikannya isu yang bahkan mungkin memerlukan Ibu Susi Pudjiastuti yang baru untuk menenggelamkan ide buruk ini di masa depan jika terbukti merusak lautan kita.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini