Peran QRIS dan BI-FAST Dorong Transformasi UMKM di Daerah Terpencil

Sukabumiupdate.com
Jumat 07 Nov 2025, 09:36 WIB
Peran QRIS dan BI-FAST Dorong Transformasi UMKM di Daerah Terpencil

Dengan satu kode QR yang dapat di-scan oleh aplikasi pembayaran manapun, QRIS berhasil menembus hambatan transaksi di jutaan merchant, dari toko modern hingga warung kecil di pelosok desa (Foto: Rio)

SUKABUMIUPDATE.com - QRIS bukan sekadar alat pembayaran, melainkan fondasi yang membebaskan UMKM dari keterbatasan geografis dan membuka jalur bagi pencatatan keuangan yang rapi. Dengan satu kode QR standar, pedagang di daerah terpencil dapat menerima pembayaran dari seluruh bank dan e-wallet. Ini secara fundamental mengatasi hambatan "tidak ada kembalian" atau "tidak punya rekening bank yang sama," sekaligus memberikan jejak transaksi digital yang sangat penting untuk akses pembiayaan di masa depan. "Prediksinya, nilai ekonomi digital Indonesia bisa tembus $400 miliar pada 2030. Naik empat kali lipat dari $90 miliar di 2024. Semua didorong e-commerce, pembayaran digital, dan UMKM yang makin melek teknologi."

Transformasi digital bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) adalah imperatif ekonomi yang vital untuk mempertahankan daya saing di pasar global. Namun, akselerasi ini menghadapi kendala struktural yang signifikan. Perspektif Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) secara konsisten menyoroti dua isu utama infrastruktur digital yang belum merata di luar pulau Jawa dan literasi digital yang rendah di kalangan pelaku usaha mikro.

Menurut studi yang dilakukan oleh Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dalam laporan Simulasi Kajian CIPS, 2024 dikatakan, keterbatasan akses internet yang stabil di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) berpotensi memperluas ketimpangan ekonomi, membuat banyak UMKM kesulitan mengakses pasar yang lebih luas dan platform e-commerce. Jika sinyal seluler tidak memadai, transaksi digital, bahkan yang paling sederhana sekalipun, akan terhambat, memaksa pedagang dan konsumen kembali ke kebiasaan tunai dan mengikis kepercayaan terhadap sistem pembayaran baru. Oleh karena itu, solusi teknologi haruslah yang mampu memitigasi risiko kegagalan koneksi dan tidak memerlukan perangkat keras berteknologi tinggi.

Baca Juga: Miss Meksiko Disebut "Bodoh" di Panggung MU 2025 Berujung Aksi Walkout Massal Guncang Miss Universe

QRIS: Penyederhanaan Inklusi Keuangan dan Mitigasi Risiko Transaksi

Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang diinisiasi oleh Bank Indonesia (BI) hadir sebagai jembatan yang menghubungkan UMKM dengan ekosistem pembayaran digital secara masif. Dari perspektif pedagang kecil, QRIS menyederhanakan kompleksitas yang sebelumnya menakutkan alih-alih harus mendaftar dan mengelola banyak akun e-wallet atau mesin EDC dari berbagai bank, mereka hanya perlu satu kode yang universal. Keuntungan terbesar bagi UMKM mikro adalah mitigasi risiko.

Dengan QRIS, risiko penerimaan uang palsu dapat dieliminasi, dan masalah klasik mencari uang kembalian (receh) dapat diselesaikan seketika. "QRIS memberikan kredibilitas instan pada warung kecil," demikian kutipan dari seorang akademisi ekonomi digital Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam sebuah seminar, yang menekankan bahwa kemudahan ini secara psikologis mendorong pelaku UMKM untuk berani mengadopsi teknologi.

Selain itu, QRIS secara otomatis menyediakan jejak transaksi digital yang rapi, membuka peluang bagi UMKM untuk mengajukan pembiayaan usaha di lembaga keuangan formal, karena riwayat keuangan mereka kini dapat diverifikasi dengan mudah.

Baca Juga: Misteri Postur Manusia: Tinggi Nabi Adam AS 60 Hasta, Mengapa Manusia Modern Lebih Pendek dari Leluhurnya?

BI-FAST Efisiensi Biaya dan Peningkatan Arus Kas Operasional

Sementara QRIS berfokus pada sisi front-end (pembayaran dari konsumen ke penjual), BI-FAST berperan penting di sisi back-end (transfer dana antar bank). Sistem BI-FAST memungkinkan transfer dana antar bank yang super cepat (real-time), tersedia 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan dengan biaya yang jauh lebih rendah daripada sistem transfer konvensional (SKNBI/RTGS).

Dari sudut pandang pelaku UMKM, terutama mereka yang bergerak dalam sektor produksi atau distribusi, BI-FAST memberikan efisiensi yang signifikan pada biaya dan waktu operasional. Biaya transfer antar bank yang rendah (saat ini ditetapkan maksimum Rp2.500) sangat mengurangi beban biaya transaksi harian UMKM yang sering melakukan pembayaran ke supplier, distributor, atau menggaji karyawan yang menggunakan bank berbeda. Sebagai contoh, sebuah studi kasus pada klaster UMKM di Jawa Tengah menunjukkan bahwa penggunaan BI-FAST mampu memangkas waktu pengiriman barang karena pembayaran kepada pemasok dapat diverifikasi secara real-time, mempercepat perputaran modal kerja. Integrasi kedua sistem ini menciptakan ekosistem pembayaran dan transfer yang efisien, cepat, dan ekonomis.

Literasi dan Pendampingan Berkelanjutan

Tantangan terbesar yang tersisa bukanlah teknologi, melainkan manusia. Rendahnya literasi digital dan resistensi terhadap perubahan menjadi penghalang terakhir. Solusi tidak terletak pada pengenalan teknologi yang lebih canggih, tetapi pada pendampingan dan edukasi yang humanis dan terstruktur.

Baca Juga: Miss Meksiko Disebut "Bodoh" di Panggung MU 2025 Berujung Aksi Walkout Massal Guncang Miss Universe

Menurut pandangan Deputi Kementerian Koperasi dan UKM, program Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) harus dibarengi dengan pelatihan intensif yang tidak hanya mengajarkan cara scan QRIS, tetapi juga cara mengamankan data pribadi, memanfaatkan laporan transaksi untuk analisis bisnis, dan mengintegrasikan pembayaran digital ke dalam strategi digital marketing sederhana mereka. Keberhasilan adopsi QRIS dan BI-FAST oleh UMKM di daerah terpencil akan sangat bergantung pada kolaborasi penta-helix: Pemerintah yang membangun infrastruktur, BI yang menyediakan regulasi, bank dan fintech yang memberikan layanan, serta komunitas lokal yang menjadi pendamping terdepan.

Sejarah Pembentukan QRIS

Pembentukan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) berakar dari kebutuhan mendesak Bank Indonesia (BI) untuk menyatukan fragmentasi sistem pembayaran digital di Indonesia yang mulai menjamur sekitar tahun 2017-2018. Sebelum QRIS, setiap penyedia layanan pembayaran digital (fintech) seperti GoPay, OVO, atau Dana, memiliki kode QR yang berbeda dan tidak dapat saling diterima (interoperable).

Baca Juga: Dramatis! Dua Gol Adam Alis Pastikan Kemenangan Persib atas Selangor FC

Kondisi ini membingungkan konsumen dan membebani pedagang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang terpaksa memasang banyak kode QR di kasir mereka. Melihat inefisiensi dan potensi kekacauan sistem ini, BI mengambil langkah proaktif melalui Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) untuk menciptakan standar tunggal. Tujuan utama dari inisiasi ini adalah untuk memfasilitasi inklusi keuangan secara efisien, meningkatkan keamanan transaksi, dan memastikan persaingan yang sehat di antara para penyedia jasa pembayaran.

Implementasi dan Dampak Nasional QRIS

Setelah melalui proses uji coba yang ketat, QRIS secara resmi diluncurkan dan diimplementasikan secara nasional oleh Bank Indonesia bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-74 pada 17 Agustus 2019, dengan tanggal efektif implementasi penuh per 1 Januari 2020. Peluncuran ini menjadi tonggak sejarah yang menandai dimulainya era standar pembayaran non-tunai di Indonesia.

Dampak implementasinya sangat besar, terutama bagi UMKM. Dengan satu kode QR yang dapat di-scan oleh aplikasi pembayaran manapun, QRIS berhasil menembus hambatan transaksi di jutaan merchant, dari toko modern hingga warung kecil di pelosok desa. Keberhasilan ini tidak hanya dilihat dari peningkatan volume transaksi digital, tetapi juga dari kontribusinya yang signifikan dalam mempercepat inklusi keuangan. Dalam beberapa tahun, QRIS berhasil mendorong jutaan UMKM yang sebelumnya unbanked (belum terlayani bank) untuk memiliki rekening bank atau dompet digital, menjadikan mereka bagian integral dari ekosistem ekonomi digital nasional.

Baca Juga: Puskesmas Bojonggenteng Jadi Tuan Rumah Gebyar Cek Kesehatan Gratis HKN ke-62 di Sukabumi

Ringkasan Perkembangan dan Strategi Ekonomi Digital Indonesia

Ekonomi digital Indonesia adalah yang terbesar di ASEAN dan menjadi penggerak utama ekonomi nasional, dengan nilai mencapai USD90 miliar pada 2024 dan diproyeksikan melonjak hingga USD360 miliar pada 2030.

  1. Penggerak Utama: Sektor keuangan digital menjadi salah satu pendorong utama. Presiden berpesan agar program Pemerintah (seperti bansos) di-elektronifikasi dan setiap keluarga memiliki rekening keuangan formal untuk penyaluran yang lebih tepat sasaran.

  2. Adopsi Digital: Pemanfaatan QRIS telah menjangkau jutaan pelaku usaha, di mana 93% atau 56 juta pengguna adalah UMKM, menunjukkan pertumbuhan digitalisasi keuangan yang organik.

  3. Tantangan: Terdapat tantangan terkait keamanan sistem pembayaran, peningkatan literasi digital, dan membangun kepercayaan untuk inovasi yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.

  4. Target dan Kebijakan Strategis:

    • Indonesia menargetkan kontribusi ekonomi digital pada PDB nasional mencapai 15,5%-19,6% pada tahun 2045.

    • Pemerintah menerbitkan Buku Putih Strategi Nasional Ekonomi Digital 2030 sebagai pedoman pengembangan.

    • DNKI (Dewan Nasional Keuangan Inklusif) mendorong perluasan akses layanan keuangan formal. Tingkat inklusi keuangan telah mencapai 92,74% (Literasi: 66,64%).

    • Penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan suku bunga rendah telah mencapai Rp217,20 triliun (76,86% dari target plafon) hingga 17 Oktober 2025.

    • Program TP2DD (Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah) telah mencapai partisipasi Pemda sebesar 97,4% (melebihi target 95%).

    • Pemerintah sedang menyiapkan Peta Jalan Pengembangan Kecerdasan Artifisial dan Peta Jalan Pengembangan Ekosistem Semikonduktor dan Teknologi Baru untuk mendorong inovasi.

    • Pengembangan data center nasional didorong sebagai infrastruktur strategis untuk menjamin kedaulatan data.

  5. Peran Global: Pemerintah aktif dalam perundingan ASEAN Digital Economic Framework Agreement (DEFA). Kesepakatan DEFA diharapkan dapat ditandatangani pada 2026, yang mana Indonesia diproyeksikan mendapat porsi sekitar USD600 miliar dari target ekonomi digital ASEAN sebesar USD2 triliun pada 2030.

(Berbagai Sumber/Situs Kementerian Koordinator Bidang Perkenomian)

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini