SUKABUMIUPDATE.com - Fenomena perubahan tinggi badan manusia dari masa ke masa telah lama menjadi perbincangan, menghadirkan dua narasi besar yang saling mengisi, satu berdasarkan wahyu dan yang lainnya berdasarkan observasi ilmiah. Dalam pandangan Islam, ada penegasan jelas mengenai postur manusia pertama yang sangat besar, sementara sains menyajikan data fosil dan teori evolusioner yang kompleks. Bagaimana kedua pandangan tersebut untuk memahami misteri di balik penyusutan postur tubuh kita?
Dalam tradisi Islam, postur manusia pertama, Nabi Adam 'Alaihissalam, bukanlah sebuah misteri melainkan fakta akidah yang disampaikan langsung oleh Nabi Muhammad SAW melalui hadis sahih. Hadis ini secara eksplisit menyebutkan tingginya:
"Allah menciptakan Adam dengan tinggi 60 hasta (sekitar 27 hingga 37 meter). Lalu bentuk fisiknya terus menyusut hingga sekarang." (HR Bukhari dan Muslim)
Angka 60 hasta, yang setara dengan tinggi gedung bertingkat 8 hingga 10 lantai, merupakan ukuran yang sangat masif dan melampaui rekor manusia tertinggi yang pernah tercatat. Keyakinan ini mengajarkan bahwa Nabi Adam AS adalah ciptaan yang unik dan sempurna di awal penciptaan, dan bahwa penyusutan tinggi adalah proses yang telah ditetapkan Allah SWT bagi keturunan-Nya di Bumi.
Bagi umat Islam, hadis ini tidak perlu dipertentangkan dengan hukum fisika modern, karena penciptaan pertama tersebut berada di bawah kekuasaan Allah yang tidak terbatasi oleh hukum alam yang kita pahami. Postur ini akan dikembalikan kepada orang-orang beriman kelak di Surga, menunjukkan kemuliaan postur awal tersebut.
Baca Juga: Padi Reborn Rilis Single "Ego" dan Album "Dua Delapan" Jumat, 7 November 2025
Di sisi ilmiah, eksistensi manusia setinggi puluhan meter (seperti 27-37 meter) menghadapi tantangan serius dari hukum Biomekanika dan Hukum Skala (Scaling Laws) (Foto: Gemini/Shutterstock).
Di sisi ilmiah, eksistensi manusia setinggi puluhan meter (seperti 27-37 meter) menghadapi tantangan serius dari hukum Biomekanika dan Hukum Skala (Scaling Laws). Para ilmuwan, dalam studi seperti "Where Have All the Giants Gone?" yang diterbitkan di PLOS Biology, menjelaskan bahwa ketika ukuran (panjang) suatu makhluk hidup bertambah, massanya (berat) akan bertambah secara kubik, sedangkan luas penampang tulang (kekuatan penopang) hanya bertambah secara kuadrat.
Fenomena ini berarti bahwa tulang dan otot makhluk bipedal raksasa akan mengalami stres mekanis yang berlebihan , sehingga kekuatan material biologis tidak cukup untuk menopang berat badannya sendiri melawan gravitasi, apalagi untuk bergerak lincah. Inilah yang menjadi dasar ilmiah mengapa makhluk hidup terbesar di Bumi (seperti dinosaurus Sauropoda) harus memiliki postur berkaki empat dan struktur tulang yang sangat adaptif.
Di sisi lain, sains, khususnya arkeologi dan antropologi fisik, menyajikan data berdasarkan bukti nyata yang dapat diobservasi: fosil. Penemuan kerangka manusia purba (hominid dan Homo sapiens awal) menunjukkan bahwa:
Tinggi Rata-rata Manusia Purba: Meskipun tinggi rata-rata manusia purba berfluktuasi, ukuran tertinggi yang pernah ditemukan pada kerangka manusia purba umumnya berkisar antara 1,5 hingga 2,1 meter. Rekor manusia modern tertinggi pun hanya mencapai sekitar 2,7 meter, dengan kondisi medis langka (gigantisme).
Hambatan Biomekanika: Dari sudut pandang fisika dan biologi, tubuh setinggi 27 meter akan menghadapi masalah biomekanika yang sangat besar. Jantung harus bekerja ekstra keras untuk memompa darah hingga ke otak melawan gravitasi. Selain itu, tulang dan otot harus memiliki massa yang sangat besar untuk menopang berat badan, membuat makhluk tersebut menjadi tidak efisien secara energi. Fosil yang mendukung keberadaan makhluk seukuran itu dalam genus Homo belum pernah ditemukan.
Baca Juga: Menang Dramatis atas Selangor, Persib Bandung Semakin Nyaman di Puncak Klasemen
Dua pandangan mengenai asal-usul penciptaan ini sejatinya beroperasi dalam ranah epistemologis yang fundamentalnya berbeda, sehingga tidak bisa dipertentangkan dalam kerangka yang sama. Islam menyajikan kebenaran yang bersifat mutlak dan transenden tentang penciptaan unik Nabi Adam 'alaihissalam (AS), yang didasarkan pada Wahyu Ilahi yang pasti (qat'iy), sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Penciptaan Adam AS adalah sebuah Mukjizat (Ayatullah), sebuah intervensi langsung dari Allah Subhanahu wa Ta'ala , yang melampaui dan menangguhkan hukum-hukum alam yang kini kita kenal.
Kisah penciptaan Adam dari tanah liat (thin) dan peniupan ruh (ruh) bukanlah sekadar hipotesis, melainkan sebuah fakta dogmatis yang merupakan bagian integral dari Aqidah (keyakinan) seorang Muslim. Ini adalah kebenaran dari Pencipta yang bersifat abadi dan sempurna. Sebaliknya, sains empiris
berpegang pada bukti empiris yang terbatas pada kerangka waktu dan ruang yang dapat diuji serta hukum-hukum alam yang berlaku saat ini (uniformitarianisme). Metode ilmiah hanya dapat menganalisis fenomena fisik yang bertahan dan dapat diulang. Oleh karena itu, sains secara inheren tidak memiliki perangkat untuk menguji atau memvalidasi peristiwa metafisik atau ghayb (hal-hal gaib) seperti penciptaan langsung oleh Tuhan. Kesimpulannya bersifat tentatif dan dapat berubah seiring penemuan bukti baru.
Dalam pandangan Islam, sains mengkaji ayat-ayat Allah yang tercipta (ayat kauniyyah), sementara Wahyu adalah ayat-ayat Allah yang diwahyukan (ayat tanziliyyah). Keduanya datang dari Sumber yang sama (Allah), tetapi untuk tujuan dan dengan metodologi yang berbeda. Penciptaan Adam adalah peristiwa ghayb yang harus diterima dengan Iman, sementara sains mengkaji bagaimana alam semesta berjalan setelah peristiwa penciptaan itu terjadi.



