Hari Sawit di Balik Kabut Memori Antara Pesta Komoditas dan Trauma Lingkungan

Sukabumiupdate.com
Selasa 18 Nov 2025, 08:56 WIB
Hari Sawit di Balik Kabut Memori Antara Pesta Komoditas dan Trauma Lingkungan

"Apakah sawit yang kita produksi hari ini sudah benar-benar bertanggung jawab?" (Foto: Istimewa)

SUKABUMIUPDATE.com - Hari ini, 18 November 2025, kalender mencatatnya sebagai Hari Sawit Nasional. Bagi sebagian besar pelaku industri, hari ini adalah momentum perayaan atas sumbangsih signifikan komoditas ini terhadap devisa negara dan kehidupan jutaan petani.

Namun, bagi kami yang pernah menyaksikan dan merasakan langsung Karhutla (Kebakaran Hutan dan Lahan) terparah di Sumatera, tanggal ini tak hanya memicu apresiasi, melainkan juga sebuah refleksi kritis yang getir. Hari ini Adalah Refleksi Getir di Tengah Hamparan yang Mengubah Wajah Riau

Kali ini, kami ajak Anda ke Pekanbaru, Riau, pada penghujung tahun 2015. Waktu itu, matahari adalah kemewahan, dan langit biru hanyalah ingatan. Dalam sebuah ekspedisi menuju Camp Flying Squad di Taman Nasional Tesso Nilo, perjalanan kami dimulai dengan pemandangan yang tak pernah bisa dilepaskan dari ingatan.

Begitu pedal gas diinjak menuju Kabupaten Pelalawan, pemandangan seketika berubah. Riau menyambut kami bukan dengan hijaunya hutan tropis yang legendaris, melainkan dengan hamparan monokultur sawit tak bertepi. Sejauh mata memandang, hanya batang-batang tegak nan seragam itu yang mendominasi horizon yang harusnya selalu biru.

Pemandangan itu yang langsung menarik saya kembali ke akhir 2015 saat Sumatera dan Kalimantan dicekik asap Karhutla. Sontak, terlintas di benak yang paling dalam tentang pohon-pohon ini penopang ekonomi, terasa seperti ‘tanaman kutukan’ yang melumat habis hutan dataran rendah.

Dalam perjalan ekspedisi yang terdiri dari 2 perwakilan Green Radio Pekanbaru, 4 Perwakilan dari Balai TNTN, 3 Personil TNI,  2 Volunteer WWF dan 2 perwakilan masyarakat menembus hutan dari utara ke selatan     Konten ini telah tayang di Kompasiana.com deSawit sejauh mata memnadang menyambut kami dalam perjalan ekspedisi yang terdiri dari 2 perwakilan Green Radio Pekanbaru, 4 Perwakilan dari Balai TNTN, 3 Personil TNI,  2 Volunteer WWF dan 2 perwakilan masyarakat menembus hutan dari utara ke selatan. 

'Kebencian' publik terhadap sawit saat itu beralasan, salahsatunya, ia memaksa keluarga saya dievakuasi dari Sumatera ke Sukabumi. Saya masih ingat jelas, bagaimana kami merindukan matahari dan langit biru terhalang oleh kabut kuning pekat dengan angka ISPU yang sudah jauh melampaui batas aman saat itu.

Setelah berjam-jam menembus hamparan monokultur sawit yang memenjarakan pandangan, kami akhirnya tiba di batas yang diklaim sebagai suaka terakhir, Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) Riau. Namun, alih-alih disambut oleh keheningan mistis dan kerapatan kanopi hutan dataran rendah yang legendaris, saya disambut oleh kejutan yang jauh lebih mengusik. Betapa pun ironisnya, hutan pun tak seperti yang saya bayangkan. Kawasan yang seharusnya menjadi ‘jantung’ konservasi ini ternyata telah terfragmentasi dan terinterupsi.

Jalan setapak dan jalur yang kami lalui bukanlah jalur rintisan alami. Di depan mata, bentangan hutan yang tersisa ternyata telah dibelah, ditandai, dan diakses dengan begitu mudah. Sebuah sistem jalan telah terbentuk, membelah habitat berupa jalanan sekunder, primer, hingga tersier, terukir bagai jaring laba-laba yang rumit dan merusa.

Pertanyaan itu terbersit tajam di benak saya, Ini hutan, lho? Bagaimana mungkin sebuah taman nasional benteng terakhir bagi Gajah Sumatera dan keanekaragaman hayati bisa memiliki infrastruktur akses semasif ini di bagian awal, yang tak lain adalah pembuka pintu bagi perambahan (encroachment) dan ancaman ilegal di masa depan.

Green Radio Pekanbaru melaporkan Satuan tugas kebakaran lahan dan hutan, Satgas Karlahut Propinsi Riau, menerbangkan dua unit helikopter pengebom air atau Waterbombing dan dua unit pesawat air tractor ke kecamatan Bagan Sinembah, kabupaten Rokan Hilir.Green Radio Pekanbaru pada sebuah reportase langsung; Satuan tugas kebakaran lahan dan hutan, Satgas Karlahut Propinsi Riau, menerbangkan dua unit helikopter pengebom air atau Waterbombing dan dua unit pesawat air tractor ke kecamatan Bagan Sinembah, kabupaten Rokan Hilir (foto:Greenradioline Pekanbaru).

Kontras tragis ini semakin menghunjam ketika ingatan akan "tanaman kutukan" dari Pelalawan kembali. Jika hamparan sawit di luar sana terasa tak terbatas, ternyata laju perambahan di dalam benteng konservasi ini adalah cerminan langsung dari tekanan tersebut.

Data menunjukkan, betapa masifnya ekspansi ini di Sumatera, wilayah tempat Tesso Nilo berada, merupakan kontributor terbesar terhadap total perkebunan sawit nasional, dengan luasan yang telah melampaui 8,5 juta hektar. Angka itu bukan sekadar statistik di atas kertas; ia adalah representasi nyata dari hilangnya hutan, yang kini menyisakan petak-petak terfragmentasi yang kami pijak.

Jaringan jalan yang membelah Tesso Nilo seolah menjadi tanda bahwa tekanan dari luar dari ambisi komoditas telah berhasil menyusup hingga ke jantung terakhir perlindungan alam.

9 Tahun Berlalu Dilema Ekonomi dan Konservasi

Paragraf di atas, adalah perjalanan Ekspedisi Taman Nasional Tessonilo 2016, yang jadi catatan saya dalam menangkap esensi trauma kolektif. Sawit, yang secara ilmiah diakui sebagai tanaman penghasil minyak nabati paling efisien, dalam konteks Indonesia sering diasosiasikan dengan bencana ekologis. Pada periode Karhutla 2015, Bank Dunia memperkirakan kerugian ekonomi Indonesia mencapai $16 miliar USD angka yang jauh melampaui keuntungan yang didapatkan dari sektor sawit itu sendiri.

Hamparan sawit yang membentang di Pelalawan, Riau, mungkin adalah cerminan dari kemajuan ekonomi. Namun, selagi kabut memori tahun 2015 belum sepenuhnya hilang, masyarakat akan terus menagih janji: bahwa pertumbuhan tidak boleh lagi mengorbankan paru-paruHamparan sawit yang membentang di Pelalawan, Riau, mungkin adalah cerminan dari kemajuan ekonomi. Namun, selagi kabut memori tahun 2015 belum sepenuhnya hilang, masyarakat akan terus menagih janji: bahwa pertumbuhan tidak boleh lagi mengorbankan paru-paru bumi.

Ironi Hari Sawit terletak pada jurang pemisah antara angka-angka ekonomi yang gemilang dan kerugian tak ternilai (intangible loss) berupa hilangnya keanekaragaman hayati dan kualitas kesehatan masyarakat. Hutan dataran rendah Sumatera, yang dikenal sebagai salah satu yang terkaya di dunia, telah tergantikan oleh monokultur sawit. Tesso Nilo, tujuan ekspedisi kami, adalah salah satu contoh nyata; taman nasional tersebut kini terimpit oleh konsesi perkebunan dan terus menghadapi ancaman encroachment (perambahan) ilegal.

Tuntutan akan Sawit yang Bertanggung Jawab

Meskipun memori asap masih pekat, industri sawit telah mengalami pergeseran pasca-trauma 2015. Tuntutan global dan domestik telah mendorong lahirnya berbagai kebijakan ketat:

  1. Moratorium Izin Baru: Pemerintah Indonesia, melalui Instruksi Presiden, pernah memberlakukan moratorium izin baru perkebunan sawit.
  2. Sertifikasi Wajib: Skema Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) telah diwajibkan, menuntut kepatuhan hukum dan praktik berkelanjutan dari perusahaan dan petani.
  3. Tekanan RSPO: Di pasar internasional, sertifikasi sukarela Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) menjadi standar bagi produk yang ingin diterima di Eropa dan Amerika, memaksa perusahaan untuk menerapkan kebijakan No Deforestation, No Peat, and No Exploitation (NDPE).

Perubahan ini adalah respons terhadap narasi "tanaman kutukan" yang kami rasakan. Hari Sawit seharusnya tidak hanya menjadi perayaan panen, tetapi juga momentum audit sosial dan lingkungan.

Harapan kami, ekspedisi ke Tesso Nilo, adalah simbol perjuangan untuk menemukan batas, di mana hutan (dan harapan) masih bisa bertahan.Harapan kami, ekspedisi ke Tesso Nilo, adalah simbol perjuangan untuk menemukan batas, di mana hutan (dan harapan) masih bisa bertahan. Tetapi, di dalam hutan sejauh mata memandang adalah lahan terbakar.

Menuju Harapan di Tengah Hamparan

Di Hari Sawit Nasional ini, refleksi tahun 2016 kami menegaskan bahwa sawit bukan hanya soal komoditas, tetapi juga tentang keadilan lingkungan. Pertanyaan utamanya bukan lagi "apakah sawit itu baik atau buruk," melainkan "apakah sawit yang kita produksi hari ini sudah benar-benar bertanggung jawab?"

Hamparan sawit yang membentang di Pelalawan, Riau, mungkin adalah cerminan dari kemajuan ekonomi. Namun, selagi kabut memori tahun 2015 belum sepenuhnya hilang, masyarakat akan terus menagih janji: bahwa pertumbuhan tidak boleh lagi mengorbankan paru-paru dunia, kesehatan warga, dan habitat terakhir Gajah Sumatera. Harapan kami, ekspedisi ke Tesso Nilo, adalah simbol perjuangan untuk menemukan batas, di mana hutan (dan harapan) masih bisa bertahan.

Hari Sawit ini harus melampaui sekadar kepemilikan sertifikasi ISPO atau RSPO. Sertifikat hanyalah checklist di atas kertas’ akuntabilitas sejati terwujud ketika tidak ada lagi titik api yang ditemukan di lahan gambut yang kering kerontang, dan ketika konflik lahan dengan masyarakat adat benar-benar terselesaikan secara adil.

Jika laju ekspansi terus melahap wilayah konservasi, dan jika sistem jalan 'jaring laba-laba' di Tesso Nilo masih aktif memfasilitasi perambahan, maka klaim keberlanjutan hanyalah kosmetik. Akuntabilitas harus berarti transparansi total dalam rantai pasok dan penegakan hukum yang tegas terhadap siapapun baik korporasi besar maupun individu yang terbukti melanggar moratorium atau membakar lahan.

Salah satu kawan jurnalis Green Radio berkesempatan liputan udara langsung dari bawah langit RiauSalah satu kawan jurnalis Green Radio berkesempatan liputan udara langsung dari bawah langit Riau (Foto:Besta Junandi/Greenradio)

Dilema sawit tidak hanya menjadi urusan produsen atau pemerintah; ia kini beralih menjadi dilema etis di meja makan global dan lokal. Setiap konsumen yang menggunakan minyak goreng, sabun, atau kosmetik berbasis minyak sawit memiliki daya tawar. Di Hari Sawit ini, tekanan harus diarahkan pada ritel dan industri hilir agar secara eksplisit mengedukasi konsumen mengenai sumber produk sawit mereka.

Memilih produk bersertifikasi yang jelas asal-usulnya bukan lagi opsi mewah, melainkan sebuah kewajiban moral untuk memastikan bahwa uang yang kita belanjakan tidak mendanai praktik deforestasi dan bencana kemanusiaan di masa depan. Kita harus menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar penonton bencana.

Hari Sawit Nasional tahun ini harus dilihat sebagai peringatan, bukan hanya perayaan. Peringatan bahwa memori langit kuning beracun tahun 2015 masih sangat segar, dan bahwa perjuangan untuk melindungi benteng terakhir seperti Tesso Nilo belum usai. Perlu ada kesadaran kolektif, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan adalah pertumbuhan yang tidak membahayakan generasi berikutnya. Harapan kami tetap sederhana: menemukan batas yang jelas antara perkebunan dan konservasi, sehingga di Hari Sawit mendatang, kita bisa merayakan keberhasilan ekonomi tanpa harus diselimuti rasa bersalah atau kecemasan akan kabut asap yang akan datang.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini