Oleh: Dr. Akhmad Edhy Aruman, M.Si. , Expert in: Marketing Communication
Bukan karena jabatan, popularitas, atau prestasi akademik yang melambung, melainkan karena satu momen kemanusiaan yang terekam kamera.
Dia berdiri melindungi seorang pedagang kue ape di tengah kericuhan demonstrasi di depan Gedung DPRD Kota Sukabumi, pada Senin, 1 September 2025.
Aksi itu bukan hasil rencana atau strategi besar. Itu adalah tindakan spontan. Hasil dari empati murni yang lahir dari seorang anak muda yang terbiasa memperhatikan penderitaan orang lain.
Perempuan kelahiran 23 Juli 2002 ini tinggal di Kampung Cibatu Kaler, Desa Sukasari, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi. Ia adalah anak sulung dari dua bersaudara.
Meski hidup dalam kondisi keluarga yang tidak ideal, Riska tumbuh dengan kepekaan yang kuat terhadap orang lain.
Ia hidup tanpa kehadiran ayah hingga usia SMP. "Aku baru ketemu ayah waktu SMP kelas 8, dan di kelas 9 ayah meninggal, jadi aku belum pernah ngerasain figur ayah di hidup aku," kisahnya dalam wawancara bersama sukabumiupdate.com.
Aksi heroiknya saat melindungi pedagang kue ape bukanlah bentuk keinginan untuk viral atau mencari perhatian.
Riska sendiri mengatakan, “Atas dari rasa empati saya pribadi,” ketika ditanya apa yang mendorongnya untuk tetap berdiri di sana, meski situasi mulai kacau.
Sambil menahan rasa takut yang sempat muncul, ia lebih memilih untuk bertahan dan menjadi tameng bagi pedagang kecil yang sedang berusaha mencari nafkah. “Aku juga takut, tapi aku kasihan sama si ibu pedagangnya,” ucap Riska jujur. “Kalau semua orang lari, terus siapa yang bakal jaga beliau?”
Empatinya tidak dibentuk oleh nasihat panjang atau ceramah moral. Ia tumbuh dari pengamatan dan pengalaman.
“Mungkin bisa dibilang aku suka mengamati orang lain, kalau melihat orang berbuat baik, aku ada keinginan untuk jadi orang seperti itu juga.”
Itu adalah bentuk kesadaran sosial yang langka—kesadaran yang tak diajarkan, tetapi dipelajari dari kehidupan.
Meski hidupnya penuh perjuangan, Riska tidak pernah larut dalam rasa kehilangan atau kesulitan. Sebaliknya, ia menjadikan itu sebagai bahan bakar untuk lebih peka terhadap sekitarnya.
Salah satu momen paling berkesan baginya adalah ketika ia bisa memberi sesuatu, sekecil apapun, untuk ibunya. “Ngasih hadiah kecil aja ke ibu, terus lihat beliau senyum, itu udah cukup bikin hati aku lega,” katanya.
Di tengah atmosfer demonstrasi yang penuh energi, ide, dan kadang kericuhan, Riska menunjukkan sisi paling penting dari sebuah perjuangan: kemanusiaan.
Ia membuktikan bahwa perjuangan tidak hanya tentang slogan, bendera, atau barisan massa, tapi juga tentang keberanian untuk melindungi mereka yang paling rentan di tengah kekacauan.
Aksinya adalah pelajaran diam-diam bagi kita semua bahwa keberpihakan bisa hadir dalam bentuk paling sunyi, tapi paling bermakna.
Sebagai aktivis muda yang kini aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Riska tetap melihat pentingnya demonstrasi sebagai bagian dari menyampaikan aspirasi. Namun ia berharap, gerakan mahasiswa tidak berhenti hanya sebagai simbol perlawanan, tetapi benar-benar menghasilkan perubahan konkret.
“Semoga dari demo-demo yang sudah kita lakukan entah itu di Sukabumi atau di wilayah lainnya, setiap aspirasi yang kita sampaikan ada buah hasil yang baik dan bermanfaat untuk masyarakat Indonesia. Dan semoga Indonesia kembali baik lagi keadaannya,” ucapnya, penuh harap.
Kisah Riska bukan sekadar potret perempuan muda yang berani. Ia adalah cermin dari nilai-nilai yang mulai langka: keberanian yang muncul bukan karena dorongan ego, tapi karena kepedulian terhadap sesama.
Dalam satu tindakan sederhana namun besar maknanya, Riska telah mengingatkan kita semua bahwa dunia ini belum sepenuhnya kehilangan harapan—selama masih ada orang-orang yang mau berdiri, bahkan ketika semua orang memilih untuk lari.