SUKABUMIUPDATE.com - Single hit a-ha, "Take On Me" (1985), dikenal sebagai mahakarya synth-pop yang ikonik dari era 80-an, didorong oleh riff keyboard yang melenting dan video musik rotoscope yang revolusioner. Lagu ini adalah undangan untuk menari dan merayakan kegembiraan yang cepat.
Namun, titik balik yang membuktikan kedalaman komposisi lagu ini terjadi pada tahun 2017. Band asal Norwegia ini memutuskan untuk merombak total "Take On Me" dalam sesi MTV Unplugged - Summer Solstice. Keputusan ini bukan sekadar aransemen ulang; versi akustik ini adalah sebuah metamorfosis yang berani, melepaskan semua lapisan produksi synth-pop yang serba upbeat. Transformasi ini secara instan mengubah nuansa lagu yang tadinya ceria menjadi sebuah balada yang mendalam, matang, dan sangat introspektif.
Perbedaan fundamental ini menciptakan dikotomi emosional yang kuat bagi pendengarnya. Jika versi aslinya yang energik akan secara naluriah membuat Anda ingin menari dan merayakan masa muda era 80-an, maka versi santai dari MTV Unplugged ini justru memaksa Anda untuk berhenti, merenung, dan hanyut dalam lapisan emosi yang baru terungkap. Keterbatasan instrumen akustik justru memaksa pendengar untuk fokus pada inti melodi dan vokal Morten Harket, menjadikannya pengalaman yang lebih personal dan intim.
a-ha - Take On Me [ Live From MTV Unplugged, Giske / 2017 ]
Analisis Musikalitas Mengapa Versi Akustik Jauh Lebih Emosional
Perubahan dari anthem pesta menjadi sajak puitis ini didorong oleh beberapa penyesuaian musikalitas krusial yang secara langsung menyentuh emosi pendengar:
- Tempo yang Diperlambat Menciptakan Ruang Emosional
Kunci utama keberhasilan emosional versi akustik adalah tempo yang diperlambat secara signifikan. Versi aslinya yang upbeat (sekitar 169 BPM) dirancang untuk mendorong energi tinggi. Sebaliknya, tempo yang lebih pelan dalam versi akustik secara psikologis menciptakan suasana melankolis dan merenung. Pendengar memiliki lebih banyak waktu untuk menyerap melodi dan, yang paling penting, liriknya, sehingga pesan emosionalnya menjadi lebih mendalam.
- Instrumentasi Beralih ke Organik dan Hangat
Versi asli didominasi oleh instrumen elektronik yang terkesan "dingin" dan futuristik. Dalam versi Unplugged, aransemennya "dilucuti" menjadi instrumen akustik yang hangat dan organik. Piano menggantikan synth sebagai fondasi harmonis. Penggunaan string section (cello dan biola) di beberapa bagian menambahkan lapisan drama sinematik dan keindahan yang secara naluriah menarik empati pendengar.
- Fokus pada Vokal yang Rentan (Vulnerable)
Vokal Morten Harket menjadi titik fokus absolut. Alih-alih menyanyi dengan power tinggi, ia menyajikan lirik dengan dinamika yang lebih terkontrol dan rentan. Bahkan falsetto (nada tinggi ikonik) yang sangat melengking di versi asli disajikan dengan lebih lembut dan terkontrol, memprioritaskan ekspresi emosional di atas power teknis. Perubahan ini membuat narasi lagu terasa sangat personal.
Baca Juga: Ketika Siluman Bertemu Quantum: Kuantum China Jadi Tantangan bagi Kedaulatan Udara Indonesia
- Lirik Menjadi Jauh Lebih Personal
Dengan tidak adanya backing track yang membombardir, lirik-liriknya, terutama baris seperti "I'll be gone in a day or two" dan "It's no better to be safe than sorry," muncul dengan makna yang lebih berat dan puitis. Lagu ini bertransformasi dari kisah pengejaran cinta yang bersemangat menjadi sebuah pernyataan kerentanan dan harapan yang serius, seolah-olah sang vokalis sedang berbisik ke telinga pendengar.
Bagi siapa pun yang ingin memahami esensi di balik musik Nirvana dan jiwa yang menciptakannya, "Kurt Cobain: Montage of Heck" adalah pintu masuk yang sempurna.
Rekomendasi Lagu-Lagu Unplugged Terbaik Sepanjang Masa
Fenomena MTV Unplugged telah melahirkan banyak penampilan ikonik yang berhasil mengupas lapisan produksi tebal dari musik pop dan rock, dan mengembalikannya pada esensi melodi dan emosi.
Mahakarya Unplugged yang Menyentuh Hati:
- "Tears in Heaven" oleh Eric Clapton (MTV Unplugged, 1992): Lagu yang sangat menyentuh dan personal yang ditulis Clapton setelah kehilangan putranya. Penampilan ini begitu emosional dan otentik hingga album Unplugged-nya menjadi album live terlaris sepanjang masa.
- "The Man Who Sold the World" (Cover David Bowie) oleh Nirvana (MTV Unplugged in New York, 1993): Salah satu momen paling gelap dan paling jujur dalam sejarah MTV. Kurt Cobain membawakan lagu ini dengan vokal yang mentah dan melancholy, memberikan nuansa yang sama sekali berbeda dari versi aslinya.
- "Nutshell" oleh Alice In Chains (MTV Unplugged, 1996): Momen yang sangat emosional dan powerful yang menonjolkan vokal Layne Staley yang sarat duka. Penampilan ini adalah puncak otentisitas dari band grunge tersebut.
- "Plush" oleh Stone Temple Pilots (MTV Unplugged, 1993): Lagu grunge ini diubah menjadi balada yang lebih puitis, menonjolkan jangkauan dan kepiawaian vokal Scott Weiland dalam suasana yang intim.
- "Hotel California" oleh Eagles (Hell Freezes Over, 1994): Versi klasik ini menampilkan aransemen baru dengan vibe Latin, intro gitar akustik yang diperpanjang, dan fokus pada permainan gitar yang bersih, berhasil menciptakan kembali keajaiban lagu tersebut dengan kesegaran baru.
- "I'll Be There" (Cover The Jackson 5) oleh Mariah Carey (MTV Unplugged, 1992): Menunjukkan range dan kemampuan vokal Mariah dalam format yang minimalis, berhasil mengubah lagu ini menjadi hit live yang sukses.
- "Losing My Religion" oleh R.E.M. (MTV Unplugged, 1991): Mandolin yang ikonik menjadi lebih jelas dan aransemennya terasa lebih intim, membawa kedalaman baru pada lirik tentang keraguan dan obsesi.
Baca Juga: Solo Slash dan Piano Axl Jadi Senjata Bullying Musik Paling Manis di Lagu "November Rain"
Secara keseluruhan, penampilan unplugged terbaik sepanjang masa berhasil bukan sekadar karena band mengganti gitar listrik dengan gitar akustik. Kesuksesan sejati terletak pada kemampuan mereka untuk menemukan kembali jiwa emosional lagu tersebut.
Versi akustik berfungsi seperti cermin musik, menyingkirkan semua lapisan produksi yang tebal (distorsi, synthesizer, reverb besar) yang seringkali menutupi lirik dan melodi. Ketika sound dibersihkan, yang tersisa hanyalah kebenaran emosi. Sebuah anthem rock yang bertenaga tiba-tiba berubah menjadi permohonan yang tulus, dan sebuah lagu pop yang ceria mengungkap sebuah cerita tentang kerentanan.
Proses ini sangat berhasil dilakukan a-ha pada "Take On Me". Mereka secara cerdas menggeser fokus dari kegembiraan synth-pop yang serba cepat ke konflik internal dalam liriknya: harapan yang tidak pasti ("take on me") dan janji perpisahan yang singkat ("I'll be gone in a day or two"). Melalui tempo yang diperlambat dan vokal yang lebih intim, a-ha tidak hanya mengubah aransemen, tetapi juga mengubah makna lagu, menjadikannya sebuah meditasi yang menyentuh tentang cinta dan kesempatan yang fana, sebuah proses yang mengabadikan lagu tersebut di hati pendengar lintas generasi.



