Tiga Jantung Jawa Barat Simpan Rahasia Debus, Ternyata Bukan Monopoli Sunda Banten!

Sukabumiupdate.com
Jumat 14 Nov 2025, 13:24 WIB
Tiga Jantung Jawa Barat Simpan Rahasia Debus, Ternyata Bukan Monopoli Sunda Banten!

Penelusuran mendalam terhadap akar Debus menunjukkan bahwa seni kebal ini tidak pernah menjadi monopoli satu wilayah. (GenImage: Sora)

SUKABUMIUPDATE.com - Di tengah era digital yang serba rasional, masih ada warisan budaya yang menolak logika, menantang hukum fisika, dan membangkitkan rasa takjub sekaligus keraguan. Inilah Debus, seni kanuragan yang, bagi sebagian orang, adalah mukjizat, sementara bagi yang lain, hanyalah trik sulap yang licin. Realitas Debus adalah kontradiksi itu sendiri, darah yang menetes dari dada seorang praktisi setelah ditembak senapan angin, lalu berhenti dan mengering hanya dalam hitungan detik setelah ditepuk. Fenomena ini tidak hanya memicu perdebatan antara ilmuwan dan pawang, tetapi juga menyembunyikan narasi sejarah yang lebih rumit.

Selama ini, ingatan kolektif masyarakat Indonesia terlanjur mengukuhkan Banten sebagai satu-satunya ibu kota keilmuan ini. Namun, apa jadinya jika klaim tunggal itu runtuh? Penelusuran mendalam terhadap akar Debus menunjukkan bahwa seni kebal ini tidak pernah menjadi monopoli satu wilayah. Catatan sejarah justru membawanya jauh melampaui pelabuhan Banten, menunjuk ke titik-titik vital di jantung Jawa Barat, mulai dari Cirebon pada awal abad ke-17 sebagai titik masuk Islamisasi, menyebar ke Indramayu dengan tradisi tembaknya, hingga ke Sukabumi yang mengedepankan filosofi lisan.

Debus, dengan demikian, adalah sebuah narasi panjang tentang transmisi ilmu, perpaduan antara ajaran spiritual Timur Tengah dengan kearifan lokal Sunda, yang terpatri dalam bentuk atraksi ekstrem. Artikel investigatif ini tidak hanya akan membongkar letak sejarah yang sebenarnya, tetapi juga membandingkan tiga wajah Debus di Jawa Barat dan Banten, serta menyoroti ancaman nyata yang kini mengintai warisan budaya kebal peluru dan tsukan golok ini.

Baca Juga: Kasus Bunuh Diri Meningkat: Ini Tanda Mental Rusak pada Remaja yang Tak Boleh Diabaikan!

Gema Tembakan di Jantung Kedua Ilmu Kebal

Hening mencekam melingkupi lapangan desa Pacet di bawah terik matahari Indramayu. Ribuan pasang mata menahan napas, terpusat pada seorang pemuda bertelanjang dada, berdiri tegar hanya tiga meter dari ujung laras senapan angin berkaliber 5,5 mm. Jarak yang mematikan. Tiba-tiba, suara keras, pletak!, memecah keheningan.

Peluru logam itu melesat dan menemukan sasarannya. Seketika, darah menetes dari dada pemuda itu, memicu kengerian. Namun, drama itu hanya berlangsung sesaat.

Tiga detik penuh ketegangan, pawang senior datang dan dengan gerakan yang cepat dan penuh keyakinan spiritual, menepuk luka itu menggunakan telapak tangannya. Secara ajaib, pendarahan segera berhenti dan luka mulai mengering. Penonton pun meledak dalam decak kagum. Atraksi yang baru saja mereka saksikan bukanlah pertunjukan dari Banten wilayah yang selama puluhan tahun diyakini sebagai satu-satunya ibu kota seni kebal ini melainkan Debus Pacet, sebuah tradisi yang lahir dan bertahan di Indramayu, Jawa Barat, sejak abad ke-18, menuntut pengakuan atas warisannya.

Paguyuban Lingkung Seni Padjajaran Anyar menampilkan atraksi debus di Festival Budaya Hari Nelayan Palabuhanratu Sukabumi ke-64.Paguyuban Lingkung Seni Padjajaran Anyar menampilkan atraksi debus di Festival Budaya Hari Nelayan Palabuhanratu Sukabumi ke-64 (Foto:Istimewa).

Warisan yang Lebih Tua dan Jauh Lebih Luas

Selama ini, Debus hampir selalu identik dengan Banten, sebuah citra yang diperkuat oleh liputan dokumenter dan catatan sejarah era VOC tahun 1680. Namun, investigasi lapangan dan dokumen akademik membuktikan bahwa narasi sejarah tersebut terlalu sempit. Debus ternyata memiliki akar yang jauh lebih tua dan penyebaran geografis yang lebih luas. Menurut Dr. H. Undang Koswara, seorang dosen Antropologi dari UNPAD, Debus pertama kali tercatat di Cirebon pada tahun 1608. Ia menjelaskan bahwa ilmu kebal ini dibawa oleh Sunan Gunung Jati dari Baghdad, dan kemudian disebarkan oleh murid-muridnya mulai dari Cirebon, Indramayu, hingga akhirnya sampai di Banten.

Baca Juga: Roy Suryo, Rismon, dan Dokter Tifa Diperiksa 9 Jam atas Kasus Ijazah Palsu Jokowi

Lebih jauh, penelusuran menunjukkan bahwa Jawa Barat tidak hanya menjadi ‘kampung halaman sejarah’, tetapi juga pusat transmisi keilmuan ini ke wilayah lain.

Debus tidak hanya hidup di Cirebon dan Indramayu, tetapi juga menyebar ke selatan, menjangkau Sukabumi. Di sana, kesenian ini dikenal sebagai budaya khas Sunda yang masih eksis dan bahkan telah mendunia. Paguron seperti Debus Dadali Pati dari Sukabumi tercatat telah membawa atraksi ini hingga ke luar negeri, membuktikan bahwa praktik Debus telah melampaui batas provinsi dan menjadi warisan Nusantara.

Bahkan, kelompok seperti Paguron Wangsa Kencana yang dipimpin oleh Abah Ujang Guru di Palabuhanratu, Sukabumi, secara rutin berpartisipasi dalam perayaan lokal seperti Hari Jadi Kabupaten Sukabumi. Keberadaan paguron-paguron ini menunjukkan komitmen warga Sukabumi untuk menjaga dan menampilkan Debus sebagai bagian integral dari kearifan lokal.

Kedekatan geografis antara Sukabumi, khususnya kawasan pesisir Palabuhanratu dengan Banten, bukanlah sekadar garis batas administratif, melainkan sebuah koridor budaya. Kabupaten Sukabumi, tempat Paguron Wangsa Kencana berdiri, berbatasan langsung dengan Kabupaten Lebak di Provinsi Banten.

Baca Juga: Kaleidoskop Sains 2025: Tahun Saat Kita Belajar Mengendalikan Kecerdasan Buatan

Jarak yang berdekatan ini berperan besar dalam transmisi dan percampuran budaya Debus. Jika Cirebon dan Indramayu menjadi gerbang masuk Debus dari utara, maka Palabuhanratu berfungsi sebagai titik temu dan pertukaran tradisi pesisir, di mana tradisi Debus yang kental dengan spiritualitas Sunda berinteraksi dan dipengaruhi oleh kemasyhuran Debus Banten. Kedekatan ini menegaskan bahwa seni kebal ini tersebar melalui jaringan kultural yang cair, bukan terisolasi oleh batas-batas provinsi modern.

Hubungan kultural antara Banten dan Sukabumi semakin kompleks ketika menelusuri wilayah Pajampangan (yang mencakup kecamatan-kecamatan di Sukabumi bagian selatan, termasuk Jampang Kulon dan Surade). Wilayah ini, yang relative dekat dengan Banten, secara historis dikenal sebagai hotspot spiritualitas dan ilmu kanuragan yang mendalam.

Bahkan, beberapa sumber sejarah mencatat bahwa jejak ilmu mistis Pajampangan disinyalir berasal dari Banten sebelum menyebar luas. Dalam konteks Debus, kedalaman Pajampangan menambahkan dimensi mistik yang pekat.

Bagi paguron seperti Wangsa Kencana dan Dadali Pati yang beroperasi di wilayah Sukabumi, praktik kekebalan tidak sekadar demonstrasi, tetapi perwujudan kekuatan yang didapatkan melalui ritual puasa, zikir, dan kepasrahan total (tawakal). Kekuatan batiniah ini, yang sering disalahartikan sebagai klenik oleh masyarakat modern, yakni puasa, zikir, dan kepasrahan total (tawakal) merupakan inti spiritual yang diwarisi dari ajaran Islam yang dibawa oleh para ulama penyebar Debus, menjadikannya puncak dari kekuatan spiritual yang mengikat Pajampangan dengan Banten.

Debus adalah kesenian bela diri tradisional yang berasal dari masyarakat Sunda Banten.Di sisi lain, para pawang bersikukuh pada keyakinan spiritual mereka. Ki Jaja Miharja, pawang senior Cikadu, menolak penjelasan ilmiah, menyatakan, “Bukan trik".

Baca Juga: Era Baru Pertahanan: Traktat Keamanan Prabowo-Albanese Jadi Pintu Masuk Penguasaan Teknologi Pertahanan Canggih

Tiga Wajah Ilmu Kebal, Nyali, Mistik, dan Rasionalitas

Praktik Debus di Jawa Barat dan Banten telah berevolusi, menampilkan perbedaan mencolok baik dalam ritual maupun atraksi. Di Indramayu, khususnya Pacet, ciri khasnya adalah keberanian menghadapi kecepatan dan ledakan, dengan atraksi utama berupa kebal tembak menggunakan peluru logam 5,5 mm. Ritualnya melibatkan puasa yang relatif singkat, yaitu tiga hari. Kontras dengan itu, di Banten (Cikadu), Debus didominasi oleh atraksi yang melibatkan tusukan benda tajam, utamanya golok 40 cm, dengan persiapan spiritual yang lebih ketat, menuntut puasa hingga tujuh hari.

Sementara itu, di Sukabumi, atraksi Debus seringkali menekankan pada dimensi filosofis, tidak hanya sekadar ilmu kanuragan atau kekebalan fisik. Para pelaku Debus, seperti yang dipraktikkan oleh Dadali Pati dan Wangsa Kencana, kerap menyampaikan makna moral yang mendalam di balik atraksi ekstrem mereka. Misalnya, aksi menggesekkan golok ke lidah diartikan sebagai simbol betapa tajamnya lisan, mengajarkan pesan moral agar manusia menjaga ucapannya. Dengan demikian, jika Banten adalah pusat promosi dan Indramayu fokus pada tantangan peluru, Sukabumi menjadi penjaga filosofi Debus sebagai sarana syiar dan pesan moral.

Lalu, bagaimana atraksi yang melanggar hukum fisika ini bisa dijelaskan? Pertanyaan ini memecah belah ilmuwan dan praktisi. Dr. Ayatullah Humaeni dari UIN Jakarta mencoba merasionalisasi dalam jurnal Walisongo (2015). Ia berpendapat bahwa sekitar 70% atraksi dapat dijelaskan secara ilmiah, melibatkan penebalan kulit, sugesti hipnotis, atau trik sulap tertentu. Tetapi, ia juga mengakui bahwa 30% sisanya sulit diverifikasi karena pawang menolak menjalani tes medis saat ritual berlangsung.

Baca Juga: 21 Orang Masih Dicari, Longsor Timbun Banyak Rumah di Majelang Cilacap Jawa Tengah

Di sisi lain, para pawang bersikukuh pada keyakinan spiritual mereka. Ki Jaja Miharja, pawang senior Cikadu, menolak penjelasan ilmiah, menyatakan, “Bukan trik. Kami membaca Ayat Kursi sebanyak 41 kali. Kalau bohong, mati di tempat.” Debus, pada hakikatnya, bukanlah sekadar sulap. Ia adalah perpaduan kompleks antara keteguhan iman, latihan fisik yang ekstrem, dan misteri yang menantang batas-batas nalar manusia.

Menuju Ambang Kepunahan

Sayangnya, Debus kini menghadapi ancaman eksistensial berupa perubahan zaman dan minat generasi muda. Di Indramayu, hanya 5 perguruan yang masih aktif dari total 12 yang pernah ada. Generasi muda kini lebih tertarik menjadi konten kreator daripada menjalani disiplin keras sebagai pawang, yang menuntut puasa hingga tujuh hari. Ustadz Fauzi, ketua Perguruan Pacet Jaya, khawatir bahwa tanpa pelestarian yang serius, “10 tahun lagi, debus hanya akan menjadi video YouTube.” Namun, semangat melestarikan Debus tetap hidup. Panggung-panggung budaya daerah menjadi harapan terakhir.

Meskipun jadwal untuk Nadran Pacet Indramayu pada Mei 2026 masih belum dirilis, Anda memiliki kesempatan untuk menyaksikan seni kebal ini di Jawa Barat, misalnya di Paguron Wangsa Kencana dan Pusaka Karuhun Sancang yang tampil dalam rangkaian perayaan Hari Jadi Kabupaten Sukabumi (Milangkala ke-155) yang puncaknya jatuh pada bulan September 2025 lalu. Pagelaran ini seringkali menampilkan kolaborasi Debus khas Sunda yang kental dengan filosofi dan nilai kearifan lokal.

Baca Juga: BLACKPINK hingga Dept, Jadwal Konser dan Fanmeeting Artis Korea di Jakarta Bulan Ini

Debus harus dipahami bukan sekadar sebagai atraksi kekebalan fisik yang menantang akal sehat, melainkan sebagai manifestasi nyata dari nyali manusia yang diuji di depan ribuan mata. Ia adalah ujian spiritualitas, kedisiplinan, dan kepercayaan diri yang melampaui trik panggung manapun. Mengingat akar sejarahnya yang terentang dari Cirebon pada awal abad ke-17, yang kemudian bercabang menjadi tradisi kebal tembak di Indramayu, dimensi filosofis di Sukabumi, dan ritual tusuk golok yang ikonik di Banten, Debus menuntut pengakuan yang lebih adil dan luas.

"Tapestry Spiritual" dalam Debus adalah gambaran kerangka spiritualitas yang kaya, rumit, dan berlapis, yang menjadi sumber kekuatan sejati di balik aksi kekebalan fisik. (ilustrasi:Canva)

Kesenian ini adalah warisan budaya yang sah milik bersama, sebuah tapestry spiritual dan historis yang ditenun oleh tiga jantung utama Jawa Barat tempat ia lahir dan berevolusi dan ibu kota promosinya, Banten. Jika kita gagal melestarikan keragaman manifestasinya ini, risiko kepunahan akan menghapus bukti hidup bahwa, di tengah dunia modern, masih ada tempat bagi perpaduan antara iman, latihan keras, dan misteri Nusantara.

Popularitas Debus identik dengan Banten, namun sentral akar sejarah dan praktik unik kesenian ini terpusat di tiga wilayah utama di Jawa Barat. Secara historis, Cirebon dianggap sebagai titik masuk dan penyebaran awal Debus sejak tahun 1608, dibawa oleh ulama penyebar Islam.

Evolusi Debus kemudian melahirkan kekhasan ritual di Indramayu (khususnya Pacet), yang dikenal sebagai sentral Debus dengan spesialisasi atraksi kebal tembak senapan angin, membedakannya dari tradisi tusuk benda tajam. Sementara itu, di selatan, Sukabumi terutama di kawasan Palabuhanratu dan Pajampangan yang berbatasan dengan Banten menjadi sentral yang menekankan dimensi filosofis dan moralitas Sunda di balik atraksi, menjadikannya warisan bersama yang tersebar mulai dari pesisir utara hingga selatan Jawa Barat.

Selain tiga wilayah sentral tersebut yang memiliki ciri khas atau akar sejarah kuat, pertunjukan Debus juga ditemukan di beberapa kabupaten lain di Jawa Barat, seperti: Bandung/Kabupaten Bandung: Terdapat atraksi dan kelompok Debus (misalnya di Desa Tenjolaya, Pasirjambu). Garut dan Karawang: Disebutkan sebagai lokasi di mana Paguron Sukabumi sering diundang untuk tampil. Ciamis: Terdapat Paguyuban yang menampilkan Debus (misalnya Paguyuban Pencak Silat Kawasen).

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini