SUKABUMIUPDATE.com - Coba kenali sosok ini! Ia adalah orang yang pertama kali Anda cari ketika terjadi masalah. Ia selalu ingat ulang tahun semua orang, dialah yang mengatur rencana liburan keluarga, dan ia yang akan diam-diam membayar tagihan penting tanpa mengeluh. Di mata dunia, ia adalah sosok mandiri, sukses, dan kuat seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, di balik senyum dan efisiensinya, ada kelelahan kronis, kecemasan yang tersembunyi, dan rasa bersalah yang menggerogoti setiap kali ia mencoba memprioritaskan diri. Inilah fenomena yang kini ramai disebut sebagai Eldest Daughter Syndrome (EDS).
Fenomena Eldest Daughter Syndrome (EDS) berhasil menjadi viral di berbagai platform media sosial, khususnya TikTok dan X/Twitter, karena didorong oleh kekuatan validasi dan pengalaman yang sangat dapat dihubungkan (relatable). Intinya, istilah ini memberikan nama pada beban emosional dan tanggung jawab ekstra yang selama ini dirasakan oleh banyak anak perempuan sulung.
Mereka yang awalnya merasa sendirian, cemas, atau berpikir ada yang "salah" dengan tuntutan tak terucapkan untuk menjadi perfeksionis, people pleaser, dan pengambil alih tanggung jawab, tiba-tiba menemukan komunitas besar yang berbagi pengalaman identik. Format video pendek yang lugas dan emosional di TikTok, misalnya, sangat efektif menjadi wadah bagi pengguna untuk secara cepat berbagi cerita, mengidentifikasi ciri-ciri EDS, dan saling menyatakan, "Aku juga kayak gitu!", sehingga menciptakan rasa dilihat dan dipahami yang mendalam.
Baca Juga: HKN ke-61, Dinkes Sukabumi Gelar Cek Kesehatan Gratis di 6 Puskesmas
Penting untuk dicatat, Eldest Daughter Syndrome bukanlah diagnosis klinis resmi dalam psikologi, tetapi lebih merupakan istilah untuk menjelaskan pengalaman bersama dan pola perilaku yang dialami oleh banyak anak perempuan sulung akibat dinamika keluarga dan ekspektasi sosial.
Mengapa Anak Sulung Perempuan Menjadi Terbebani?
Apa sebenarnya EDS itu? Istilah populer ini merujuk pada pola psikologis yang dialami anak perempuan tertua yang sejak dini dibebani tanggung jawab yang secara emosional atau fisik seharusnya diemban oleh orang dewasa. Dalam psikologi, ini dikenal sebagai Parentification, di mana anak terpaksa mengambil peran sebagai pengasuh, penengah, atau bahkan tempat curhat orang tua, membuat mereka dewasa sebelum waktunya.
Beban ini seringkali diperparah oleh ekspektasi gender yang tak terucapkan. Budaya kita cenderung menganggap anak perempuan lebih lembut, telaten, dan secara alami "bertanggung jawab." Akibatnya, anak perempuan sulunglah yang lebih sering diminta untuk menjaga adik, membantu pekerjaan rumah tangga yang berat, dan menjadi "jembatan emosional" keluarga, sementara saudara laki-laki mungkin dibebaskan dari peran tersebut. Mereka tumbuh dengan pesan, "kamu yang tertua, kamu harus mengalah."
Sebagaimana dijelaskan oleh [Psikolog X Morton], "Anak sulung perempuan kerap merasa sebagai 'orang tua ketiga' dan sering kali bertanggung jawab atas pengasuhan emosional seluruh keluarga mereka." Beban peran ini yang menjadi fondasi bagi semua tantangan yang mereka hadapi di kemudian hari.
Baca Juga: Bakal Tampil Luar Biasa, Harga Tiket Konser TREASURE di Jakarta Tahun 2026
Ciri-Ciri EDS yang Mempengaruhi Hubungan Dewasa
Konsekuensi dari peran ini terbawa hingga mereka menjadi perempuan dewasa. Ciri paling menonjol adalah perfeksionisme ekstrem. Mereka merasa bahwa kegagalan mereka tidak hanya memengaruhi diri sendiri, tetapi juga mencoreng citra keluarga. Hal ini berakar dari tekanan masa kecil untuk selalu menjadi "panutan" yang sempurna.
Ciri kedua adalah perilaku people-pleaser. Mereka merasa harga diri mereka terikat pada seberapa besar mereka bisa menyenangkan dan melayani orang lain. Mereka takut mengecewakan, sehingga sangat sulit untuk menolak atau mengatakan "tidak," bahkan ketika permintaan tersebut sudah melewati batas kemampuan mereka. Pola ini membuat mereka rentan memasuki hubungan yang tidak seimbang, di mana mereka kembali berperan sebagai caretaker bagi pasangannya.
Yang paling menyiksa adalah sifat hiper-independen yang ironis. Mereka sangat mandiri, tetapi itu adalah kemandirian yang lahir dari trauma, bukan pilihan. Mereka kesulitan meminta bantuan karena merasa meminta bantuan adalah tanda kelemahan, atau lebih parah, mereka tidak percaya ada orang lain yang benar-benar bisa diandalkan selain diri mereka sendiri. Sulitnya menunjukkan kerentanan ini sangat menghambat keintiman emosional yang sehat dalam hubungan asmara.
Baca Juga: Uang Judol Disebut-sebut Kalahkan Korupsi & Narkoba, Judi Online Menggila!
Strategi Praktis Membangun Batasan yang Sehat
Memutus rantai EDS bukanlah tugas yang mudah, tetapi ini adalah perjalanan yang penting menuju kesehatan mental. Langkah pertama adalah memvalidasi emosi Anda: Sadari bahwa Anda memiliki hak untuk merasa lelah. Langkah berikutnya adalah menetapkan batasan yang sehat. Batasan berfungsi untuk melindungi energi dan nilai diri Anda, bukan untuk menyakiti orang lain.
Berikut adalah beberapa frasa praktis yang dapat Anda gunakan untuk mulai menetapkan batasan dengan keluarga atau pasangan, tanpa harus merasa bersalah:
- Untuk menolak permintaan: "Terima kasih sudah memikirkanku, tapi saat ini jadwalku sedang padat. Aku harus menolaknya."
- Untuk mendelegasikan tanggung jawab: "Aku tidak bisa menyelesaikan ini sendirian. Bisakah kamu mengambil alih bagian [sebutkan tugas spesifik]?"
- Untuk menjaga waktu pribadi: "Aku sangat ingin membantumu, tapi aku hanya bisa memberikan waktu 30 menit karena aku sedang fokus pada [kebutuhan pribadi/istirahat]."
- Untuk menghentikan over-sharing emosional: "Aku menghargai kamu berbagi denganku, tapi beban emosional ini terlalu berat bagiku untuk ditangani sendiri. Mungkin kamu bisa bicara dengan terapis atau profesional?"
Baca Juga: Persaingan Ketat Kaca Mata AI Terbaik: Lenovo AI Glasses V1, Ray-Ban Meta Gen 2, dan XREAL Air 2!
Selain komunikasi, praktikkan pendelegasian. Biarkan orang lain (pasangan atau saudara kandung) memikul bagian tanggung jawab yang adil dan biarkan mereka melakukan kesalahan. Dengan mendelegasikan, Anda tidak hanya meringankan beban Anda, tetapi juga memberikan kesempatan bagi orang lain untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab.
EDS mengajarkan sebuah pelajaran berharga menjadi "anak yang baik" tidak harus berarti mengorbankan diri sendiri. Anak perempuan sulung berhak untuk mengejar kebahagiaan, bersikap rentan, dan menerima bantuan tanpa merasa bersalah. Menjadi kuat yang sesungguhnya adalah berani mengakui kelemahan, berani meminta apa yang Anda butuhkan, dan merawat diri sendiri, bukan hanya merawat orang lain.



