Mengapa Banyak Orang Suka Flexing di Media Sosial? Ini Alasannya Secara Psikologis

Sukabumiupdate.com
Senin 23 Jun 2025, 11:00 WIB
Mengapa Banyak Orang Suka Flexing di Media Sosial? Ini Alasannya Secara Psikologis

Ilustrasi.Mengapa Banyak Orang Suka Flexing di Media Sosial? Ini Alasannya Secara Psikologis (Sumber : Freepik/@jcomp)

SUKABUMIUPDATE.com - Di era digital saat ini, media sosial bukan lagi sekadar tempat berbagi momen, tetapi juga menjadi panggung untuk menunjukkan siapa kita atau lebih tepatnya, siapa yang ingin kita tampilkan. Salah satu fenomena yang semakin marak adalah flexing, atau pamer kekayaan, gaya hidup mewah, dan pencapaian pribadi di media sosial.

Tapi, apakah ini hanya soal pamer biasa? Atau ada alasan psikologis yang lebih dalam di baliknya?

Apa Itu Flexing?

Flexing adalah istilah populer yang menggambarkan perilaku memamerkan barang-barang mewah, pencapaian, atau gaya hidup glamor di hadapan publik terutama di platform seperti Instagram, TikTok, atau YouTube. Misalnya, memamerkan liburan mahal, outfit branded, gadget terbaru, atau bahkan saldo rekening.

Baca Juga: Peregangan Salah Satunya! 6 Tips Gaya Hidup Sehat untuk Pekerja Kantoran

Alasan Psikologis di Balik Flexing

Berikut beberapa penjelasan dari sisi psikologis mengapa banyak orang tergoda untuk flexing:

1. Butuh Pengakuan dan Validasi Sosial

Media sosial menyediakan sistem instan untuk mendapatkan pengakuan: like, comment, dan followers.
Secara psikologis, otak manusia menyukai penghargaan sosial. Saat seseorang mengunggah foto tas mahal atau liburan mewah dan mendapatkan banyak respons positif, dopamin (hormon bahagia) dilepaskan menciptakan rasa senang dan ingin mengulanginya lagi.

2. Membangun Citra Diri (Self-Image)

Orang menggunakan media sosial untuk membentuk identitas yang ideal, yaitu versi "terbaik" dari diri mereka. Flexing sering kali bukan sekadar pamer, tapi juga strategi untuk membangun persepsi bahwa mereka sukses, keren, dan pantas dihargai.
Sayangnya, ini bisa menjauhkan dari kenyataan hidup sebenarnya.

3. Social Comparison (Perbandingan Sosial)

Menurut teori psikologi sosial, manusia cenderung membandingkan diri dengan orang lain. Ketika melihat teman sebaya terlihat kaya dan bahagia di media sosial, seseorang bisa terdorong untuk menunjukkan bahwa dirinya "tidak kalah" meskipun harus berpura-pura.

Baca Juga: Gaya Hidup Sehat Tanpa Harus Ribet: Tips dan Trik untuk Pemula

4. Tekanan Lingkungan dan Budaya Konsumtif

Budaya "biar terlihat mapan" telah menjadi norma tak tertulis. Di banyak komunitas, status sosial sering diukur dari apa yang bisa ditampilkan. Flexing jadi cara cepat (walau tidak selalu jujur) untuk menunjukkan “kesuksesan”.

5. FOMO (Fear of Missing Out)

Ketakutan tertinggal tren atau tidak terlihat "ikut gaya" bisa membuat orang terjebak dalam perilaku flexing. Mereka merasa harus menunjukkan bahwa mereka juga menikmati hidup meski sebenarnya sedang kesulitan.

6. Masking (Menutupi Luka atau Kekurangan)

Beberapa orang melakukan flexing sebagai cara untuk menutupi rasa rendah diri, luka batin, atau ketidakamanan. Mereka berpura-pura bahagia dan sukses sebagai pelarian dari masalah nyata yang tidak ingin mereka hadapi.

Baca Juga: Menebak Kepribadian Lewat Kopi Favorit, Kamu Suka yang Mana?

Dampak Negatif Flexing Berlebihan

Meski terlihat menyenangkan, flexing yang berlebihan bisa berdampak buruk:

  • Menyebabkan stres finansial karena memaksakan gaya hidup di luar kemampuan.
  • Menimbulkan kecemburuan dan konflik sosial.
  • Memperkuat budaya palsu dan pencitraan semu.
  • Menurunkan kepercayaan diri orang lain yang merasa hidupnya “kurang” sempurna.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

  • Jujur pada diri sendiri. Tak semua hal harus dibagikan untuk diakui.
  • Kurangi perbandingan sosial. Fokus pada perkembangan pribadi, bukan impresi orang lain.
  • Hargai proses, bukan hanya hasil. Sukses tidak selalu harus terlihat mencolok.
  • Bangun relasi yang tulus. Teman sejati tak menilai dari tampilan feed.

Flexing di media sosial bukan selalu salah, tapi penting untuk memahami motivasi di baliknya. Apakah kita berbagi karena ingin menginspirasi? Atau hanya demi pengakuan sementara?

Di dunia yang penuh pencitraan, kejujuran adalah bentuk keberanian yang langka. Mari jadi versi terbaik dari diri sendiri tanpa harus memalsukan kenyataan.

Baca Juga: Resep Nasi Tutug Oncom Khas Sunda – Gurihnya Bikin Nagih!

Sumber: Psychology Today

Berita Terkait
Berita Terkini