SUKABUMIUPDATE.com - Cik ah, ngacung! siapa yang tak kenal jengkol? Si bintang panggung kuliner Nusantara yang selalu bikin drama: Dicintai setengah mati karena rasanya yang legit dan mantap, tapi tak jarang juga dihindari karena aromanya yang bikin salut (bikin kaget) di mana-mana. Ibarat public figure, jengkol ini teh kontroversial, tapi selalu dinanti! Nah, tapi di Sukabumi dan sekitarnya, drama jengkol ini punya episode tambahan yang lebih unik bin ajaib!
Ternyata, si jengkol punya nama panggung ganda Khususnya jengkol yang sudah berumur alias tua, yang sudah "lulus" dari sekolah pengolahan tradisional tingkat tinggi, ia punya julukan rahasia yang bikin kita kerung (mengernyitkan dahi) sekaligus tertarik: "Sepi."Loh, kok sepi? Emang dia kesepian gitu? Hayooo... Penasaran kan?
Jengkol (Archidendron pauciflorum) selalu menjadi bintang yang kontroversial, bagaimana tidak? Ia dicintai karena rasanya, dihindari karena aromanya. Namun, di Sukabumi dan sekitarnya, bahan makanan yang akrab ini memiliki lapisan keunikan lain: ia memiliki nama ganda. Jengkol yang sudah tua, yang telah melewati ritual pengolahan tradisional, disebut dengan satu kata yang tak terduga!
Fenomena Linguistik di Jantung Tatar Sunda
Penggunaan istilah "Sepi" untuk jengkol tua merupakan fenomena linguistik mikro yang menarik di Tatar Sunda. Meskipun secara umum Bahasa Sunda mengenal kata jengkol, di beberapa wilayah seperti Sukabumi, Cianjur, dan Bogor yang secara historis berada dalam lingkup budaya Pakuan terdapat diferensiasi istilah yang kuat. Ini menunjukkan bahwa meskipun satu etnis, dialek dan kosakata spesifik dapat berkembang berdasarkan kebiasaan setempat.
Baca Juga: Inilah 6 Amalan yang Dianjurkan untuk Meraih Keberkahan di Hari Jumat
Penggunaan nama yang berbeda ini bukan sekadar variasi penyebutan, melainkan berfungsi sebagai indikator kualitas dan fungsi di mata masyarakat dan para pedagang. Ketika orang Sunda di wilayah ini menyebut Sepi, mereka secara implisit merujuk pada jengkol dengan kualitas tertentu: sudah matang, teksturnya lebih padat, dan sangat cocok untuk dimasak dengan bumbu berat (seperti semur atau rendang), berlawanan dengan jengkol yang lebih muda yang sering diolah menjadi lalapan mentah.
 Jengkol baru panen dari pohon (Foto Istimewa)
Jengkol baru panen dari pohon (Foto Istimewa)
Petunjuk Tradisi Kuliner yang Bertahan
Bertahannya istilah lokal seperti Sepi di tengah dominasi Bahasa Indonesia membuktikan kuatnya tradisi kuliner lokal. Nama ini menjadi jembatan yang menghubungkan generasi sekarang dengan metode pengolahan turun-temurun, terutama ritual penguburan jengkol yang khas. "Sepi" adalah warisan lisan yang menyimpan memori akan cara leluhur mereka menikmati dan mengawetkan bahan makanan yang berharga.
Etimologi Lokal: Kontras Rasa dan Fungsi di Papan Sajian
Secara linguistik, kata "Sepi" mungkin berarti sunyi, namun di dapur Sunda, ia justru membawa kegembiraan rasa. Kata ini berfungsi sebagai kode rahasia yang memisahkan dua pengalaman kuliner yang berbeda, memandu lidah pembaca kata sepi ke dua dunia rasa yang berbeda:
- Jengkol Sang Lalapan (Yang Muda):
Ini adalah jengkol dalam wujudnya yang paling mentah dan berani. Biasanya bertekstur renyah, berwarna hijau muda atau gading pucat, dan sering disajikan utuh tanpa dimasak. Ia adalah pendamping setia sambal dadak, dicocol bersama terasi pedas, memberikan sensasi kress yang segar di mulut. Rasanya sepat dan aromanya tajam, cocok untuk mereka yang mencari tantangan dan kepuasan gigitan langsung dari alam.
- Sepi Sang Bintang Utama (Yang Tua):
Inilah evolusi rasa yang sesungguhnya. Sepi adalah jengkol yang telah mencapai kematangan paripurna, kaya pati, dan siap bertransformasi. Setelah melalui ritual pengolahan (seperti penguburan atau perebusan), Sepi berubah menjadi lembut, pulen, dengan warna cokelat gelap yang menggoda. Ia tidak lagi menjadi pendamping, melainkan bintang panggung direndam dalam kuah kental Semur yang manis gurih, atau dimasak dalam balutan bumbu Rempah Rendang yang pedas menghangatkan. Setiap gigitannya menawarkan sensasi meleleh dan rasa umami yang mendalam, jauh dari ketajaman lalapan muda.
Baca Juga: 5 Tips Merawat Sepeda dan Motor Listrik agar Tak Kebakaran
 Perbedaan nama Jengkol versus Sepi bukanlah kebetulan. Ini adalah peta rasa. Peta yang memandu para penikmat kuliner untuk memilih: ingin sensasi segar dan renyah, atau ingin kenikmatan lembut nan kaya bumbu.
Perbedaan nama Jengkol versus Sepi bukanlah kebetulan. Ini adalah peta rasa. Peta yang memandu para penikmat kuliner untuk memilih: ingin sensasi segar dan renyah, atau ingin kenikmatan lembut nan kaya bumbu.
Para ahli bahasa lokal dan budayawan sering menjelaskan bahwa kata "Sepi" muncul sebagai cara praktis masyarakat untuk membedakan fungsi dan usia jengkol. Menggunakan dua kata berbeda mempermudah komunikasi di pasar dan dapur: Jengkol untuk lalapan, Sepi untuk semur.
Konteks Budaya: Ritual Pengolahan yang "Menyendiri"
Kunci untuk memahami istilah "Sepi" mungkin terletak pada metode pengolahannya yang unik: fermentasi tanah.
Jengkol yang dimaksudkan menjadi "Sepi" sering kali melewati proses penuaan yang tradisional dikubur di dalam tanah selama beberapa waktu. Proses penguburan ini bertujuan melunakkan tekstur dan mengurangi kandungan zat yang keras.
Baca Juga: Siaga Cuaca Ekstrem, Distan Sukabumi Minta Petani Waspada Ancaman Gagal Panen
Di sinilah kiasan "sepi" menemukan tautannya:
- Penyendirian: Jengkol tersebut diasingkan, disembunyikan, dan dibiarkan "menyendiri" di bawah tanah, jauh dari keramaian dapur, untuk menjalani proses pematangan. Tindakan penguburan ini adalah ritual yang "sunyi" dan tersembunyi.
- Tujuan Akhir: Setelah proses "kesepian" ini, Sepi akan diambil, dibersihkan, dan diolah menjadi sajian lezat yang dicari banyak orang, seperti semur jengkol atau rendang jengkol.
Dengan demikian, "Sepi" bukan sekadar jengkol tua, melainkan sebuah jengkol yang telah melalui proses pencerahan dalam kesendirian.
Kekayaan di Balik Kesederhanaan
Kisah "Sepi" adalah contoh cemerlang bagaimana bahasa daerah berinteraksi dengan kehidupan sehari-hari dan kearifan lokal. Satu kata tunggal mampu menjelaskan tiga dimensi sekaligus: usia biologis jengkol, metode pengolahan tradisional (penguburan), dan identitas geografis (dialek Pakuan).
Jengkol tua mungkin tidak "kesepian," tetapi ia memberikan kita pelajaran berharga tentang kekayaan linguistik dan budaya yang tersembunyi di balik nama sederhana sebuah makanan favorit. Jadi, lain kali Anda menemukan Sepi di pasar Sukabumi, ingatlah bahwa Anda sedang melihat sebuah kata yang kaya akan cerita.
Baca Juga: Nexus Mak Comblang Digital, Sang Penghubung Semua Hal yang Bikin Orang Itu Kaya atau Miskin
Siapa Dalang di Balik Nama "Sepi"?
Kisah Sepi ini teh benar-benar cerminan dari kecerdasan orang Sunda. Cuma satu kata, tapi fungsinya teu saeutik (tidak sedikit) langsung menjelaskan tiga dimensi sekaligus umur si jengkol, cara dia diolah (nyaéta dikubur jiga sedang nyepi), dan dari mana asalnya (dialek Pakuan).
Tapi coba sakali-kali (sesekali) kita berpikir: Siapa sih orang pertama yang ceu-ceukan (berteriak) di pasar, "Mang, pang-nyandakkeun (tolong ambilkan) Sepi nu geus asak (yang sudah) matang!"? Apakah dia seorang filsuf yang terinspirasi dari jengkol yang sedang meditasi di dalam tanah? Atau hanya ibu-ibu geulis (cantik) yang malas bilang "jengkol yang sudah dikubur"?
Wallahualam Bishowab Updaters Euy!, da nu penting mah ngeunah didahar bari halal ngolah halal meunangna! (Yang penting enak dimakan dan halal mengolahnya serta cara mendapatkannya!). Jengkol tua, meskipun kita sebut "Sepi," justru membawa rame dan cucok di lidah. Ia membuktikan bahwa kesederhanaan nama menyimpan kekayaan linguistik dan filosofi budaya yang tak terduga.
Jadi, engké mun (nanti kalau) Anda manggih (bertemu/kedapatan/disajikan) Sepi di pasar Pelita Sukabumi, Cisaat, Cibadak, Palabuanratu atawa Cicurug jeung Cigombbong jangan poho (lupa)! Anda bukan cuma beli makanan, tapi Anda sedang membeli sepotong cerita dan kebiasaan Sunda yang kudu dilestarikeun (harus dilestarikan), Ceuk Abdi, kitu oge. Eh, tapi satuju meureun, yah? Salam dari rasa sepi di lubuk hati terdalam, yang tidak merasa sepi mah dipiringan!





 
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
 