Benteng Sukabumi Jebol, Buffer Zone Gede Pangrango Masuk Status Sangat Kritis

Sukabumiupdate.com
Selasa 09 Des 2025, 19:19 WIB
Benteng Sukabumi Jebol, Buffer Zone Gede Pangrango Masuk Status Sangat Kritis

Peta lahan kritis buffer zone Gunung Gede Pangrango di wilayah Kabupaten Sukabumi tahun 2023. | Foto: Dokumen Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat

SUKABUMIUPDATE.com - Zona penyangga (buffer zone) Gunung Gede Pangrango di Kabupaten Sukabumi saat ini tercatat sebagai lahan sangat kritis. Penetapan itu muncul dalam data Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Tahun 2023 yang diterima dan dikaji oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat.

Dalam dokumen yang dibagikan Walhi kepada redaksi sukabumiupdate.com, terlihat kerusakan alam di kaki Gunung Gede Pangrango membentang luas—setidaknya mulai Kecamatan Nagrak, Caringin, Kadudampit, hingga Sukalarang—meliputi kurang lebih sepuluh desa yang seluruhnya berada di dekat kawasan hutan konservasi.

Temuan ini menegaskan kekhawatiran Walhi soal memburuknya kondisi ekologi Sukabumi, terutama di kawasan yang seharusnya menjadi penyangga utama sistem hidrologi dan perlindungan bencana. Buffer zone Gunung Gede Pangrango selama ini berfungsi mengatur serapan air, menahan erosi, dan menjaga stabilitas tanah di wilayah lereng.

"Kami mendesak pemerintah kabupaten, provinsi, dan pemangku kebijakan, melakukan evaluasi. Jika pemetaan regulasi ruang tidak segera diperbaiki dan pemulihan lingkungan tidak dilakukan, potensi bencana di Jawa Barat tidak kalah dari Sumatera. Kali ini korbannya bukan hanya alam, namun juga masyarakat, infrastruktur, dan ekosistem hidup kita," kata Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat Siti Hannah Alaydrus, Selasa (9/12/2025).

Data lahan kritis Kabupaten Sukabumi tahun 2023. | Foto: Dokumen Dinas Kehutanan Provinsi Jawa BaratData lahan kritis Kabupaten Sukabumi tahun 2023. | Foto: Dokumen Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat

Baca Juga: Sukabumi Diancam Bencana: 235 Ribu Ha Lahan Kritis, Walhi Ingatkan Kejadian Sumatera

Hannah mengungkapkan Walhi menyerukan penghentian setiap izin baru aktivitas ekstraktif , wisata, dan pembangunan properti di zona penyangga, termasuk proyek panas bumi di Gunung Gede Pangrango. Hal ini diperkuat oleh adanya konflik horizontal di masyarakat, termasuk kondisi buffer zone yang telah kritis.

"Pengoperasian panas bumi itu pasti membutuhkan ekstraksi air yang banyak, tentu mengganggu akses air warga. Secara kapasitas alam pun akan mengambil air dari zona-zona penyangga. Intinya harus diaudit dan ditinjau ulang setiap izin lama di zona kritis berdasarkan data terbaru tahun 2023. Tetapkan kebijakan jangka panjang berbasis daya dukung dan daya tampung lingkungan, bunya hanya soal pertumbuhan ekonomi, agar bencana ekologis tidak terus terulang," lanjut dia.

Sebelumnya, Hannah menyebut penyebab utama rangkaian bencana di Sukabumi sejak akhir 2024 hingga April 2025 bukan semata hujan ekstrem, tetapi kerusakan ekologis yang dipicu aktivitas manusia. Ia menyoroti pola yang juga terjadi di sejumlah daerah lain: hutan hilang, kawasan konservasi berubah fungsi, dan ruang air terdesak oleh kegiatan ekstraktif maupun pembangunan komersial.

“Sejumlah daerah (di Sukabumi) sudah ditodong untuk kegiatan ekstraktif dan komersial. Ada pertambangan emas, kuarsa, tambang ilegal, proyek hutan tanaman energi, dan alih fungsi untuk pembangunan properti atau wisata dan permukiman,” kata dia.

Data Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Tahun 2023 yang dipegang Walhi memperlihatkan skala kerusakan di Kabupaten Sukabumi. Lebih dari 235 ribu hektare lahan kritis dan sangat kritis berada di berbagai fungsi kawasan, mulai areal penggunaan lain, hutan lindung, hutan produksi, hingga hutan konservasi.

Bagi Walhi, data itu bukan sekadar angka, tetapi indikator retakan ekologis di Sukabumi kini mencapai wilayah paling sensitif: lereng dan kaki gunung yang menjadi pusat penyangga ekosistem. Kerusakan ini turut tercermin pada fenomena banjir di dataran tinggi seperti Salabintana dan Pondok Halimun—yang secara geografis seharusnya tidak tergenang.

Walhi menilai kejadian semacam itu menunjukkan bahwa daya tampung dan daya dukung lingkungan telah runtuh, termasuk di zona-zona yang seharusnya menjadi pertahanan terakhir.

Berita Terkait
Berita Terkini