Seruan Keras Walhi, Lindungi Jawa Barat dari Bencana Ekologis! Dedi Mulyadi Jawab dengan Skema Reboisasi Upah Harian.

Sukabumiupdate.com
Rabu 03 Des 2025, 13:56 WIB
Seruan Keras Walhi, Lindungi Jawa Barat dari Bencana Ekologis! Dedi Mulyadi Jawab dengan Skema Reboisasi Upah Harian.

Tambang Pasir Galunggung, Kabupaten Tasikmalaya (Sumber: istimewa)

SUKABUMIUPDATE.com - Walhi Jawa Barat (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) mengeluarkan peringatan keras mengenai potensi bencana banjir bandang dan longsor berskala besar di Jabar, yang diprediksi dapat melampaui keparahan bencana di Sumatra. Peringatan ini didasarkan pada lonjakan drastis kerusakan lingkungan dalam periode 2023–2025. Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Wahyudin Iwang, menyoroti fakta-fakta mengkhawatirkan penyusutan tutupan hutan mencapai 43 persen dan teridentifikasinya 176 titik tambang ilegal di seluruh wilayah.

Walhi menilai pemerintah hampir tidak bertindak, sementara 900 ribu hektare lahan kritis masih terbengkalai tanpa reboisasi. Kerusakan ini mencakup deforestasi di kawasan kelola Perhutani, kawasan lindung, hingga alih fungsi lahan resapan air untuk properti dan wisata, menempatkan Jabar pada ambang krisis lingkungan.

Rentetan bencana alam dan ekologis yang melanda Jawa Barat beberapa tahun terakhir adalah manifestasi nyata dari krisis lingkungan yang diperingatkan Walhi. Peristiwa banjir bandang Garut pada tahun 2020 dan longsor mematikan di Sumedang pada awal 2021 menjadi studi kasus kelam. Banjir di Garut, yang sering terjadi, diperparah oleh masifnya alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian sayur di kawasan hulu yang curam, menghilangkan fungsi buffer alami.

Ilustrasi tambang pasir di Jawa BaratIlustrasi tambang pasir di Jawa Barat

Sementara itu, insiden longsor di Sumedang, meskipun dipicu oleh curah hujan ekstrem, semakin diperburuk oleh kontur tanah yang telah labil akibat pembangunan infrastruktur dan pemukiman yang tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Pola ini menunjukkan bahwa bencana di Jabar bukan semata takdir alam, melainkan bencana yang terinternalisasi oleh pilihan kebijakan tata ruang yang abai terhadap konservasi, memperburuk risiko sosial-ekonomi bagi masyarakat setempat.

Baca Juga: Dalam 24 Jam, Donasi Ferry Irwandi untuk Korban Banjir Sumatra Tembus Rp10 Miliar

Sukabumi, dengan kontur wilayah yang didominasi perbukitan curam dan geologi yang labil, sering menjadi lokasi kritis bagi bencana tanah longsor, yang puncaknya terlihat pada peristiwa tragis di Cisolok dan Cikidang. Bencana longsor di Sukabumi umumnya tidak hanya dipicu oleh curah hujan ekstrem, melainkan diperparah oleh masifnya praktik alih fungsi lahan di kawasan hulu dan aktivitas penambangan pasir atau batu ilegal yang merusak struktur tanah penahan air. Ketika lapisan tanah atas (topsoil) yang menipis diguyur hujan lebat, saturasi air yang tinggi menyebabkan massa tanah kehilangan daya ikatnya dan meluncur deras, seringkali menimbun permukiman warga yang berdiri di kaki bukit. Kejadian-kejadian ini menegaskan bahwa kerentanan Sukabumi terhadap bencana adalah perpaduan berbahaya antara faktor alam dan tekanan eksploitasi manusia terhadap kawasan lindung.

Lahan Kritis dan Jejak Kelam Pertambangan Ilegal

Kerusakan alam akibat pertambangan ilegal menjadi salah satu pemicu utama meningkatnya lahan kritis di Jabar. Lokasi-lokasi seperti Bogor, Sukabumi, dan Tasikmalaya menjadi saksi bisu eksploitasi mineral tanpa izin yang merusak bentang alam secara permanen.Tambang emas, pasir Galunggung, atau batu di kawasan ini sering kali meninggalkan lubang-lubang besar yang tidak direklamasi, mengubah kawasan resapan air menjadi kolam-kolam berlumpur atau jurang terbuka yang sangat rawan longsor dan mengotori Sungai yang mengaliri ribuan kolam ikan. Selain merusak struktur tanah, operasional ilegal ini juga mencemari aliran sungai dengan zat kimia berbahaya, mengancam ketersediaan air bersih dan merusak ekosistem perairan. Fenomena ini menciptakan 'luka-luka' geologis yang membuat wilayah Jabar semakin rapuh saat diterpa hujan deras, sebab tidak ada lagi vegetasi yang mampu menahan laju air dan erosi.

Fenomena Hutan Gugur Tropis (Tropical Dry Deciduous Forest) di Indonesia, seperti hutan jati di Jawa Timur atau Nusa Tenggara, adalah adaptasi cerdas pohon terhadap musim kemarau panjang.Indonesia hanya kenal 2 musim, tapi Fenomena Hutan Gugur Tropis (Tropical Dry Deciduous Forest) di Indonesia, seperti hutan jati di Jawa Timur atau Nusa Tenggara, adalah adaptasi cerdas pohon terhadap musim kemarau panjang dan menyerap air saat penghujan.

Selain dampak langsung dari bencana, ancaman ekologis jangka panjang di Jabar juga datang dari alih fungsi lahan resapan air untuk properti mewah dan sektor wisata. Kawasan Puncak di Bogor dan Lembang di Bandung Utara, yang semula berfungsi sebagai penampung air alami, kini dipenuhi vila, hotel, dan resort.

Baca Juga: Panggilan Global di Hari Penyandang Disabilitas Internasional 2025 dari Inklusi ke Implementasi Nyata

Pembangunan masif ini tidak hanya mengurangi kemampuan tanah menyerap air hujan sehingga meningkatkan volume air permukaan yang memicu banjir di hilir tetapi juga mengakibatkan krisis air bersih di kawasan urban. Penetrasi air hujan ke dalam tanah menurun drastis, mengganggu siklus hidrologi dan menurunkan permukaan air tanah. Situasi ini diperparah dengan hilangnya ekosistem pesisir seperti mangrove di pantai utara Jabar akibat pembangunan industri dan tambak, yang seharusnya menjadi benteng alami dari abrasi dan potensi rob laut. Kehilangan ekosistem ganda ini menandakan bahwa Jabar menghadapi ancaman bencana dari hulu hingga ke pesisir.

Menanggapi krisis yang ada, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengakui kondisi hutan Jabar yang telah rusak parah hingga 80 persen. Sebagai upaya pemulihan, Pemprov Jabar akan memulai program reboisasi berbasis rakyat pada Desember 2025. Skema program ini dirancang untuk melibatkan masyarakat secara langsung dalam penanaman dan perawatan pohon di lahan kritis.

Warga yang berpartisipasi akan menerima upah sebesar Rp50 ribu per hari. Hal ini bertujuan untuk memastikan keberlanjutan perawatan pohon, mengatasi kegagalan program reboisasi konvensional di masa lalu. Jenis pohon yang ditanam adalah perpaduan strategis antara pohon hutan yang tidak dapat ditebang (untuk fungsi ekologis murni) dan pohon produktif seperti pete, jengkol, dan nangka. Kombinasi ini bertujuan ganda memulihkan ekosistem hutan sekaligus memberikan manfaat ekonomi jangka panjang kepada masyarakat pengelola, menciptakan insentif agar masyarakat menjaga hutan sebagai sumber penghidupan mereka.

(Dari berbagai sumber)

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini