SUKABUMIUPDATE.com - Kepala Desa Berekah, Andri Andriansyah, menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan donasi Rp1.000 per hari yang dicanangkan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Pemerintah Provinsi Jawa Barat berencana meluncurkan program Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu).
Melalui unggahan di media sosial pribadinya, ia menilai bahwa ketika pemerintah meminta masyarakat ikut berdonasi untuk menyelesaikan permasalahan sosial, hal itu justru menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menjalankan amanat konstitusi.
Dalam unggahan berjudul “Raja Mahadiraja Mulai Lelah, Iuran dan Perelek Jadi Program Unggulan”, Andri menulis bahwa warga, ASN, dan siswa di Jawa Barat diwajibkan iuran tiap hari Rp1.000.
Baca Juga: Macet Panjang di Sekitar Jembatan Pamuruyan Sukabumi, Imbas Evakuasi Kecelakaan Beruntun
“Kalau Koperasi Merah Putih pinjam uang ke HIMBARA dan gagal bayar, maka DD jadi jaminannya. Dasar hukum Permendes. Sedangkan di Jawa Barat, warga, ASN dan siswa wajib iuran tiap hari Rp1.000. Kalau program perelek dan iuran sapoe sarebu gagal menghalangi warga ke Pakuan untuk minta ongkos berobat, maka Banprov jadi jaminannya alias ditunda (Dasar hukum: Kumaha Dewek),” tulis Andri dalam unggahan tersebut.
Ia menyoroti bahwa gotong royong warga di desa bukan hal baru, tetapi kebijakan donasi yang bersifat wajib justru bisa membebani masyarakat.
“Ketika pemerintah meminta warga untuk mengajak donasi menyelesaikan permasalahan di lapangan harus selesai di tingkat lingkungan, artinya pemerintah telah gagal menjalankan amanat konstitusi UUD 1945, bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara,” ujar Andri, kepada Sukabumiupdate.com, Senin 6 Oktober 2025.
Baca Juga: 6 Kendaraan Terlibat Kecelakaan Beruntun di Pamuruyan Sukabumi Dievakuasi
Ia mencontohkan, banyak warga yang tidak berangkat berobat karena terkendala biaya transportasi. Menurutnya, seharusnya pemerintah membuat terobosan agar pajak yang dipungut dari rakyat bisa membiayai kebutuhan dasar warga miskin, bukan justru meminta masyarakat membuat donasi.
“Karena selama ini donasi di warga berupa program jimpitan atau udunan sudah berjalan. Tetapi karena besarnya masalah di lingkungan, dana tersebut tidak mungkin mencukupkan untuk terus-menerus membiayai transportasi setiap orang berobat ke rumah sakit, terutama di lingkungan masyarakat yang secara ekonomi masih lemah,” tuturnya.
Andri juga mempertanyakan keterkaitan kebijakan donasi dengan Bantuan Provinsi (Banprov) untuk desa. Ia menilai ada ketidakjelasan aturan jika sampai Banprov bisa ditunda hanya karena warga meminta bantuan transportasi ke Pakuan (Kantor Gubernur Jawa Barat).
“Yang jadi permasalahan juga, kenapa harus dikaitkan dengan Banprov untuk desa. Banprov itu kan peraturannya dibuat Gubernur, bahwa dana tersebut untuk infrastruktur. Tapi ketika ada warga datang ke Pakuan minta ongkos buat transport berobat, maka Banprov-nya akan ditinjau ulang alias ditunda. Itu kan aturan yang tidak jelas dasar hukumnya,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menilai jika memang masalah utama warga adalah biaya transportasi untuk berobat, maka seharusnya Gubernur mengatur agar sebagian Banprov dialokasikan untuk membantu transportasi warga miskin.
“Kalau memang banyak yang jadi masalah warga bingung biaya transportasi untuk berobat, ya sudah saja Pak Gubernur bikin aturan bahwa Banprov untuk desa itu dialokasikan untuk membiayai transportasi warga yang sakit dan tidak punya biaya. Kalau oleh Gubernur sudah dianggarkan, lalu masih ada warga yang datang minta biaya transport ke Pakuan, baru Gubernur bisa memberikan sanksi ke desa yang bersangkutan,” kata Andri menegaskan.