SUKABUMIUPDATE.COM - Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 akan diikuti tiga pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur, salah satunya ada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat yang masih menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur.
Ada yang menyebut "incumbent", ada pula yang menyebut petahana, bagi calon yang bersaing dalam kontestasi politik, selagi masih menjabat untuk jabatan yang sedang diperebutkan.
Biasanya, calon yang masih menjabat disebut-sebut memiliki banyak keuntungan karena memiliki program kerja nyata yang sudah terlaksana dan tentu saja dukungan birokrasi yang tidak terlihat tetapi juga kasat mata.
Karena itu, tidak sedikit calon yang masih menjabat kembali berhasil memenangi pemilihan, meskipun ada juga yang gagal. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 menjadi contoh nyata gubernur yang mencalonkan diri kembali akhirnya kalah oleh penantangnya.
Kira-kira, bagaimana dengan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017? Apakah Ahok-Djarot, yang meneruskan kepemimpinan pasangan Joko Widodo-Ahok setelah Joko Widodo menjadi presiden, akan kembali terpilih? Atau akan seperti Fauzi Bowo yang harus mengakui keunggulan Jokowi-Ahok pada 2012? Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengatakan Ahok-Djarot dan dua pasangan lainnya, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dan Anies Rasyid Baswedan-Sandiada Salahuddin Uno, masih memiliki peluang yang imbang untuk menang.
"Pemilihan gubernur di DKI Jakarta termasuk yang sulit diperkirakan," ujarnya.
Meskipun "incumbent" disebut-sebut memiliki peluang yang lebih besar, Firman menilai pasangan Ahok-Djarot yang masih menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur harus bekerja keras.
Ahok memang memiliki kelebihan pendukung yang fanatik, meskipun dari sisi prestasi Firman menilai bisa dikatakan relatif. Namun, Ahok memiliki kekurangan daya ajak pimpinan terhadap rakyat dan anak buah yang relatif minim sehingga menimbulkan antipati.
"Antipati ini yang sayangnya semakin bertambah, bukan berkurang," ucapnya.
Dilihat dari kelompok-kelompok pendukung di akar rumput, Firman menilai masing-masing kandidat yang bersaing pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 memiliki dukungan yang relatif lengkap.
Namun, khusus untuk kalangan Muslim, setidaknya secara kelembagaan, tampaknya akan lebih banyak mendukung selain Ahok-Djarot.
"Hal itu bisa saja menjadi penting, tetapi bisa juga tidak. Namun, fanatisme kalangan saat ini jauh lebih kuat daripada sebelumnya. Ini jelas menjadi peringatan yang tidak bisa diabaikan begitu saja," tuturnya.
Peluang "Incumbent" Direktur Strategi Indo Survey & Strategy Karyono Wibowo mengatakan calon yang masih menjabat sebagai kepala daerah dengan tingkat kepuasan yang tinggi belum tentu memenangi pemilihan kepala daerah.
"Memang ada kecenderungan kuat antara tingkat kepuasan dan tingkat diinginkan kembali terhadap calon yang sedang menjabat dengan tingkat keterpilihan. Namun, tidak selalu linier," katanya.
Karyono mengatakan, ada banyak faktor lain yang menentukan kemenangan dalam pemilihan kepala daerah atau pemilihan lainnya. Pertarungan politik adalah kompetisi yang sangat dinamis sehingga perhitungan politik bukan seperti matematika dan statistik yang menggunakan rumus baku.
Situasi politik dapat berubah sewaktu-waktu tergantung dinamika pergerakan politik yang terjadi. Misalnya sentimen isu, mesin politik yang bekerja dan sejumlah variabel lain yang memengaruhi tingkat keterpilihan calon.
Itu yang menyebabkan seolah-olah terjadi anomali antara hasil survei dengan fakta. Perubahan yang terjadi bisa disebabkan karena faktor sentimen isu dan instrumen politik yang bekerja dan mampu mengubah situasi pemilih.
Karyono mencontohkan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Bila pemilihan dilakukan saat ini, yang memiliki peluang terbesar adalah pasangan calon yang masih menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur Ahok-Djarot.
Dari hasil survei yang dilakukan sejumlah lembaga, pasangan yang masih menjabat itu memiliki kinerja yang cukup memuaskan, berkisar 65 persen hingga 70 persen, sejalan dengan tingkat kepuasan publik sebesar 58 persen menginginkan pasangan itu kembali memimpin Jakarta.
"Namun, seperti saya katakan, studi kasus di beberapa daerah, hal itu tidak selalu linier. Belum tentu pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, Ahok-Djarot akan menang," katanya.
Modal Keberhasilan Di sisi lain, Karyono menilai persepsi keberhasilan pembangunan di beberapa bidang selama menjabat sebagai gubernur bisa menjadi modal untuk meyakinkan pemilih di Jakarta untuk memilih pasangan Ahok-Djarot.
"Karakter pemilih Jakarta sebagian besar rasional yang tidak mudah goyah dengan permainan isu apalagi rumor. Saya yakin mayoritas pemilih Jakarta lebih melihat latar belakang keberhasilan seseorang dalam memilih," katanya.
Karyono mengatakan perilaku pemilih kebanyakan menilai sesuatu yang nyata. Dengan kata lain, menilai dari apa yang dilihat dan dirasakan.
Dalam hal itu, Ahok-Djarot sebagai pasangan bakal calon yang masih menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur memiliki kelebihan untuk bersaing pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.
Bila pasangan tersebut mampu memelihara kepercayaan dan meningkatkan kepercayaan warga Jakarta, maka Ahok-Djarot dipastikan akan memenangi Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.
Meskipun memliki modal keberhasilan selama menjabat, Karyono mengatakan keberhasilan pasangan calon juga dipengaruhi oleh tim dalam memainkan irama politik dan seberapa efektif instrumen politik memengaruhi pemilih.
"Semua instrumen pemenangan harus digerakkan maksimal sampai ke akar rumput," ujarnya.
Namun, Ahok bukan tanpa kelemahan. Karyono menilai gaya komunikasi Ahok yang meledak-ledak, kerap menggunakan kata kasar, dan tidak jarang menyinggung perasaan orang lain merupakan salah satu kelemahannya.
Itu adalah kelemahan yang paling menonjol dari Ahok yang perlu diwaspadai oleh tim koalisi. Kelemahan itu pula yang sering digunakan lawan politik Ahok untuk menyerang dari sisi etika komunikasi.
Menurut Karyono, kelemahan itu cukup penting untuk diperbaiki walaupun sebagian besar pemilih di Jakarta lebih menitikberatkan pada aspek keberhasilan Ahok dalam membangun Ibu Kota daripada sekadar gaya komunikasi.
Namun, ada sebagian warga DKI yang dalam memilih pemimpin tidak sekadar dari satu sisi keberhasilan pembangunan fisik, tetapi juga menilai dari sisi lain, termasuk etika komunikasi dan moral.
"Itu tidak bisa dipungkiri. Penting untuk menjadi perhatian bahwa dengan gaya komunikasi saat ini Ahok berpotensi kehilangan segmen pemilih, terutama yang memang tidak suka dengan gaya komunikasi seperti itu," tuturnya.
Selain itu, gaya komunikasi Ahok itu juga rentan diplintir dan diprovokasi serta dimanfaatkan oleh pesaing yang menyerang. Bila kelemahan gaya komunikasi itu bisa diperbaiki, peluang Ahok-Djarot Saiful Hidayat memenangi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2017 akan makin besar.
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 akan diikuti tiga pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur.
Mereka adalah Ahok-Djarot yang diusung PDI Perjuangan, Partai Nasdem, Partai Golkar, dan Partai Hanura; Agus-Sylvi yang diusung Partai Demokrat, PPP, PKB, dan PAN; serta Anies-Sandiaga yang diusung Partai Gerindra dan PKS.
