SUKABUMIUPDATE.com – Idul Adha, yang dikenal juga sebagai Hari Raya Kurban atau Lebaran Haji, merupakan salah satu hari besar dalam Islam yang ditandai dengan penyembelihan hewan kurban.
Perayaan ini jatuh pada 10 Dzulhijjah dalam kalender Hijriah dan memperingati keteladanan Nabi Ibrahim AS dalam menaati perintah Allah SWT untuk mengorbankan putranya, Nabi Ismail AS. Namun, sebagai bentuk kasih sayang-Nya, Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba sebagai hewan sembelihan.
Hewan kurban yang umum di Indonesia adalah sapi dan kambing, sesuai syariat Islam yang memperbolehkan jenis hewan ternak tertentu seperti domba, kambing, sapi, dan unta untuk dikurbankan.
Baca Juga: 5 Cara Mengolah Daging Kurban agar Empuk, Tak Lagi Alot saat Dimakan
Setelah disembelih, daging kurban didistribusikan kepada masyarakat sebagai bentuk solidaritas sosial dan untuk membantu mereka yang membutuhkan, terutama kaum fakir miskin.
Namun muncul pertanyaan: bagaimana hukum memberikan daging kurban kepada orang yang bukan beragama Islam?
Mengutip Nu Online, membagikan daging kurban kepada sesama Muslim, khususnya yang kurang mampu, merupakan hal lazim. Namun, jika penerimanya adalah non-Muslim, maka hal ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Baca Juga: 6 Ciri Hewan yang Tidak Boleh Dijadikan Kurban, Jangan Salah Pilih!
Sebagian ulama memperbolehkan pemberian tersebut, berdasarkan penjelasan dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab. Pendapat ini sejalan dengan pandangan dalam Mazhab Syafi’i, sebagaimana juga dijelaskan dalam kitab Nihayatul Muhtaj.
لَوْ ضَحَّى عَنْ غَيْرِهِ أَوْ ارْتَدَّ فَلَا يَجُوزُ لَهُ الْأَكْلُ مِنْهَا كَمَا لَا يَجُوزُ إطْعَامُ كَافِرٍ مِنْهَا مُطْلَقًا , وَيُؤْخَذُ مِنْ ذَلِكَ امْتِنَاعُ إعْطَاءِ الْفَقِيرِ وَالْمُهْدَى إلَيْهِ مِنْهَا شَيْئًا لِلْكَافِرِ , إذْ الْقَصْدُ مِنْهَا إرْفَاقُ الْمُسْلِمِينَ بِالْأَكْلِ لِأَنَّهَا ضِيَافَةُ اللَّهِ لَهُمْ فَلَمْ يَجُزْ لَهُمْ تَمْكِينُ غَيْرِهِمْ مِنْهُ لَكِنْ فِي الْمَجْمُوعِ أَنَّ مُقْتَضَى الْمَذْهَبِ الْجَوَازُ
Artinya:
“Apabila seseorang berkurban untuk orang lain atau ia menjadi murtad, maka ia tidak boleh memakan daging kurban tersebut sebagaimana tidak boleh memberikan makan dengan daging kurban kepada orang kafir secara mutlak. Dari sini dapat dipahami bahwa orang fakir atau orang (kaya, pent) diberi yang kurban tidak boleh memberikan sedikitpun kepada orang kafir. Sebab, tujuan dari kurban adalah memberikan belas kasih kepada kaum Muslim dengan memberi makan kepada mereka, karena kurban itu sendiri adalah jamuan Allah untuk mereka. Maka tidak boleh bagi mereka memberikan kepada selain mereka. Akan tetapi menurut pendapat ketentuan Madzhab Syafi’i cenderung membolehkanya,” (Lihat Syamsuddin Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, Beirut, Darul Fikr, 1404 H/1984 M, juz VIII, halaman 141).
Pendapat yang tidak membolehkan pemberian daging kurban kepada Non Muslim didasarkan pada logika bahwa tujuan utama dari ibadah kurban adalah untuk menunjukkan rasa kasih sayang terhadap sesama Muslim melalui pemberian makanan.
Dalam sudut pandang ini, hewan kurban dianggap sebagai jamuan dari Allah SWT (dhiya fatullah) khusus bagi umat Islam pada Hari Raya Idul Adha. Maka, sebagai konsekuensinya, daging kurban tidak seharusnya diberikan kepada Non Muslim.
Sementara itu, pendapat yang membolehkan pemberian daging kurban kepada Non Muslim didasarkan pada pemahaman bahwa kurban termasuk bentuk sedekah. Dalam hal ini, tidak ditemukan larangan eksplisit dalam Al-Qur’an yang melarang pemberian sedekah kepada orang yang bukan beragama Islam.
Namun demikian, kebolehan ini tidak berlaku secara mutlak. Pemberian daging kurban hanya diperkenankan kepada Non Muslim yang bukan kafir harbi, yakni yang tidak bersikap memusuhi umat Islam. Selain itu, yang dimaksud adalah kurban sunnah, bukan kurban wajib.
Dengan kata lain, memberikan daging kurban sebagai bentuk sedekah kepada Non Muslim dibolehkan selama penerimanya adalah kafir dzimmi (Non Muslim yang hidup damai dengan umat Islam) dan bukan dalam konteks kewajiban, seperti kurban wajib atau zakat.
Hal ini ditegaskan pula dalam kutipan dari Al-Mughni karya Ibnu Qudamah:
فَصْلٌ : وَيَجُوزُ أَنْ يُطْعِمَ مِنْهَا كَافِرًا .وَبِهَذَا قَالَ الْحَسَنُ ، وَأَبُو ثَوْرٍ ، وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ وَقَالَ مَالِكٌ : غَيْرُهُمْ أَحَبُّ إلَيْنَا .وَكَرِهَ مَالِكٌ وَاللَّيْثُ إعْطَاءَ النَّصْرَانِيِّ جِلْدَ الْأُضْحِيَّةِ . وَلَنَا أَنَّهُ طَعَامٌ لَهُ أَكْلُهُ فَجَازَ إطْعَامُهُ لِلذِّمِّيِّ ، كَسَائِرِ طَعَامِهِ ، وَلِأَنَّهُ صَدَقَةُ تَطَوُّعٍ ، فَجَازَ إطْعَامُهَا الذِّمِّيَّ وَالْأَسِيرَ ، كَسَائِرِ صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ .فَأَمَّا الصَّدَقَةُ الْوَاجِبَةُ مِنْهَا ، فَلَا يُجْزِئُ دَفْعُهَا إلَى كَافِرٍ لِأَنَّهَا صَدَقَةٌ وَاجِبَةٌ ، فَأَشْبَهَتْ الزَّكَاةَ ، وَكَفَّارَةَ الْيَمِينِ
Artinya:
“Pasal: dan boleh memberikan makan dari hewan kurban kepada orang kafir. Inilah pandangan yang yang dikemukakan oleh Al-Hasanul Bashri, Abu Tsaur, dan kelompok rasionalis (ashhabur ra’yi). Imam Malik berkata, ‘Selain mereka (orang kafir) lebih kami sukai’. Menurut Imam Malik dan Al-Laits, makruh memberikan kulit hewan kurban kepada orang Nasrani. Sedang menurut kami, itu adalah makanan yang boleh dimakan karenanya boleh memberikan kepada kafir dzimmi sebagaimana semua makanannya, (Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Beirut, Darul Fikr, cet ke-1, 1405 H, juz XI, halaman 105).
Kesimpulannya, terdapat dua pandangan mengenai hukum memberikan daging kurban kepada Non Muslim. Sebagian ulama melarangnya secara mutlak, sedangkan yang lain memperbolehkannya dengan catatan: kurbannya bukan wajib, dan penerimanya bukan kafir harbi.
Sumber: Nu Online