SUKABUMIUPDATE/COM - Platform media sosial X (sebelumnya Twitter) mendadak dihebohkan oleh postingan dari mantan Menteri Kelautan dan Perikanan yang dikenal vokal, Susi Pudjiastuti (17/11). Pada dasarnya, cuitan tersebut mengungkap kondisi tragis di propertinya, di mana rusa-rusa miliknya menjadi korban serangan brutal kawanan anjing liar. Postingan tersebut viral dalam hitungan jam, memicu reaksi berantai dari warganet yang menyatakan simpati, kekecewaan, hingga kemarahan.
"Persoalan anjing liar (bisa jadi ada pemilik tp tdk diperhatikan ) akibatnya beberapa hari terakhir rusa-rusa saya banyak yang digigit sampai mati .. ada yg luka sedikit mati beberapa hari kemudian," tulis Susi, memberikan gambaran memilukan tentang kerugian yang ia derita.
Cuitan ini dengan cepat menjadi sorotan karena tidak hanya melaporkan kerugian aset pribadi seorang tokoh publik, tetapi juga mengusung ancaman kesehatan yang serius, yakni dugaan bahwa anjing-anjing penyerang tersebut telah terpapar Rabies, mengubah insiden lokal menjadi isu nasional yang menuntut perhatian segera. Persoalan anjing liar, baik yang benar-benar tidak memiliki pemilik (stray) maupun anjing peliharaan yang dilepasliarkan tanpa pengawasan (free-roaming), telah menjadi isu konservasi dan keamanan yang mendesak di banyak lokasi.
Baca Juga: Operasi Zebra Hingga 30 November 2025 Dimulai: Cek 9 Pelanggaran yang Ditindak
Setelah masalah menjadi viral, biasanya Dinas Peternakan, Kesehatan Hewan (khususnya terkait dugaan Rabies), atau Kepolisian akan memberikan respons resmi, baik berupa klarifikasi, permintaan maaf, atau janji tindakan cepat (foto;X/@SusiPudiastuti)
Kasus yang menimpa mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, di propertinya bukan sekadar insiden biasa, melainkan cerminan dari kegagalan sistem pengawasan hewan di tingkat lokal. Dalam beberapa hari terakhir, Susi melaporkan melalui media sosial X bahwa kawanan anjing telah menyerang dan membunuh beberapa ekor rusa miliknya. Rusa-rusa, yang merupakan aset pribadi dan sekaligus representasi keanekaragaman hayati yang dijaga, menjadi korban perburuan yang kejam. Susi membagikan duka dan kekecewaannya secara langsung, menegaskan betapa seriusnya dampak insiden ini terhadap aset yang telah ia rawat dengan susah payah.
Kekejaman serangan anjing tersebut diperparah dengan munculnya kekhawatiran yang jauh lebih besar dan mengancam kesehatan publik. Berdasarkan pengamatan atas perilaku agresif dan pola gigitan yang fatal, muncul dugaan kuat bahwa anjing-anjing penyerang tersebut telah terpapar Rabies. Susi Pudjiastuti secara tegas menyoroti aspek bahaya ini dalam cuitannya: "Kami menduga anjing2 liar yg mengeroyok dan membunuh rusa2 kami terpapar Rabies." Rabies adalah penyakit zoonosis yang mematikan dan penyebarannya harus ditangani sebagai darurat kesehatan hewan. Jika benar anjing-anjing tersebut positif Rabies, risiko penularan tidak hanya terbatas pada rusa-rusa lain atau hewan peliharaan, tetapi juga sangat mengancam keselamatan warga dan petugas di sekitar lokasi.
Meskipun menyadari risiko tinggi ini, respons dari otoritas berwenang dilaporkan sangat mengecewakan. Susi Pudjiastuti telah mengambil langkah prosedural yang benar dengan melakukan pelaporan resmi kepada Polres dan dinas terkait, namun upaya ini berujung pada frustrasi birokrasi yang lamban.
Baca Juga: Geng Motor The Prediksi Jadi Groomsmen, Boiyen Ungkap Alasan Kocak Dibaliknya
Dalam cuitannya, Susi mengkritik: "Kami lapor resmi ke polres dan dinas tidak ada respons follow up .. kami ajak memburu anjing2 bersama dijawab nunggu arahan atasan." Ironi "nunggu arahan atasan" dalam situasi darurat Rabies menunjukkan adanya disfungsi dan ketiadaan pendelegasian kewenangan yang efektif di tingkat operasional. Pernyataan ini secara telanjang memperlihatkan bagaimana sistem birokrasi yang kaku dapat menghambat tindakan cepat yang krusial untuk mencegah krisis kesehatan yang lebih besar.
Analisis Kritik Publik Benturan Regulasi dan Praktik Lapangan
Respons lamban ini memicu gelombang kritik dari publik dan aktivis hewan. Di satu sisi, ada desakan agar anjing-anjing liar tersebut segera ditangkap atau dieleminasi jika terbukti positif Rabies demi menjaga keselamatan. Di sisi lain, isu ini juga menyentuh perdebatan etika tentang penanganan hewan liar; apakah penangkapan dan eliminasi adalah solusi satu-satunya, atau haruskah ada upaya terstruktur untuk vaksinasi dan sterilisasi (program TNR - Trap-Neuter-Return).
Sayangnya, benturan antara idealisme perlindungan hewan dengan realitas ancaman Rabies seringkali menghasilkan kekosongan tindakan, di mana instansi terkait memilih jalur paling aman secara prosedural, yaitu menunggu, alih-alih mengambil inisiatif darurat. Sikap "Tapi siapa yg perduli ?" yang diungkapkan Susi menjadi epitom dari rasa tidak berdaya warga menghadapi inersia pemerintah.
Baca Juga: Krisis Perlindungan Anak: Kaleidoskop 2025 di Balik Pintu Tertutup
Insiden ini bukan hanya tentang nyawa rusa yang hilang, tetapi juga tentang dampak ekonomi dan psikologis yang ditanggung oleh Susi Pudjiastuti sebagai pemilik aset. Rusa-rusa tersebut memiliki nilai materi dan konservasi, dan kerugian berantai akibat luka yang parahseperti yang disebutkan Susi, "ada yg luka sedikit mati beberapa hari kemudian" menambah beban kerugian. Selain itu, ada tekanan emosional dan psikologis yang harus dihadapi ketika menyaksikan hewan yang dirawat dengan baik mati secara tragis karena kelalaian pihak luar dan minimnya intervensi pemerintah. Hal ini mencerminkan kebutuhan akan mekanisme kompensasi dan perlindungan yang lebih baik bagi warga yang usahanya atau asetnya terancam oleh masalah hewan liar yang seharusnya berada di bawah kendali otoritas setempat.
Solusi Mendesak Peningkatan Koordinasi dan Vaksinasi Massal
Untuk mengatasi masalah ini secara fundamental dan jangka panjang, diperlukan solusi yang sistemik dan terkoordinasi. Dinas Kesehatan Hewan harus segera melakukan sweeping, pengujian, dan vaksinasi massal terhadap seluruh populasi anjing di area terdampak, baik anjing peliharaan maupun anjing liar, untuk menciptakan kekebalan kawanan. Selain itu, perlu diaktifkan kembali program sterilisasi dan penampungan yang manusiawi.
Baca Juga: HJKS ke-155, Perumda BPR Jampangkulon Sukabumi Salurkan Sembako di Touring Ngabumi
Dari sisi birokrasi, harus ada peninjauan ulang terhadap Prosedur Standar Operasional (SOP) darurat Rabies, memberikan kewenangan diskresioner yang cepat kepada petugas lapangan untuk mengambil tindakan penangkapan atau eliminasi tanpa menunggu hirarki berjenjang, asalkan didukung dengan bukti dan prosedur yang akuntabel.
Kasus rusa Susi Pudjiastuti ini harus menjadi titik balik bagi pemerintah daerah dalam mengelola isu hewan liar. Ini adalah seruan kolektif untuk meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan kecepatan respons. Keberanian seorang tokoh publik untuk bersuara lantang melalui media sosial telah memaksa masalah ini keluar dari laci birokrasi dan menjadi sorotan nasional.
Pemerintah daerah wajib menunjukkan respons yang setimpal, bukan hanya dengan meredakan situasi saat ini, tetapi juga dengan menyusun strategi berkelanjutan yang menjamin keselamatan aset warga, keseimbangan ekosistem, dan yang paling utama, kesehatan masyarakat dari ancaman penyakit zoonosis mematikan seperti Rabies.

