Gen Z Sukabumi Bicara Makna G30S/PKI

Sukabumiupdate.com
Selasa 30 Sep 2025, 20:59 WIB
Gen Z Sukabumi Bicara Makna G30S/PKI

Tsani Septiyani (kiri) Muhammad Jovan Khaikal (tengah) Nur Afifah (kanan) | Foto : SukabumiUdpate

SUKABUMIUPDATE.com - Sejumlah Generasi Z (Gen Z) di Sukabumi menyampaikan pandangan mereka tentang peristiwa G30S/PKI yang diperingati setiap tanggal 30 September. Meski tragedi itu terjadi puluhan tahun sebelum mereka lahir, mereka menekankan pentingnya generasi muda memahami sejarah sebagai bekal menjaga persatuan di era digital.

Nur Afifah (22 tahun), mahasiswa double degree di Institut Madani Nusantara Sukabumi dengan program studi Komunikasi Penyiaran Islam serta Universitas Insan Cita Indonesia di program studi Digital Neuropsikologi, menyebut G30S/PKI sebagai tragedi nasional yang berdampak panjang terhadap perjalanan sejarah bangsa.

“Peristiwa G30S/PKI adalah sebuah tragedi nasional yang terjadi pada 30 September 1965, di mana sekelompok orang yang terafiliasi dengan PKI melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa perwira tinggi TNI Angkatan Darat. Peristiwa ini memicu krisis politik besar dan berdampak panjang terhadap perjalanan sejarah Indonesia, terutama dalam hal politik, ideologi, dan stabilitas bangsa.” ujar gadis asal Kecamatan Cikembar yang pernah meraih peringkat dua dalam ajang Da’i Muda Pilihanku TV One ini menuturkan kepada sukabumiupdate.com, Selasa (30/9/2025).

Ia menjelaskan, awalnya mengetahui peristiwa ini dari sekolah lewat pelajaran sejarah. Namun seiring waktu, ia juga mendapat informasi dari film dokumenter yang ditayangkan setiap 30 September, artikel di internet, hingga diskusi dengan teman-teman lintas provinsi. “Jadi nggak cuma satu perspektif aja. Sehingga saya tahu dari berbagai macam sudut pandang,” imbuhnya.

Baca Juga: Utamakan Daya Beli Masyarakat, Pemerintah Jaga Tarif Listrik Tetap Terjangkau Sepanjang 2025

Bagi Nur Afifah, generasi muda perlu memahami peristiwa ini bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan pengingat penting bagi bangsa. “Menurut saya, generasi muda penting sekali memahami peristiwa G30S/PKI, karena ini bukan hanya soal sejarah masa lalu, tapi juga soal bagaimana bangsa ini belajar dari kesalahan, menjaga persatuan, dan memahami bahaya ideologi yang bisa memecah belah,” ungkapnya.

Ia menegaskan bahwa relevansi peristiwa ini masih terasa hingga kini. “Kalau ditanya relevan atau nggak buat Gen Z, saya bilang masih relevan. Karena sekarang kan kita hidup di era digital, gampang banget terpapar ideologi atau informasi yang bisa menyesatkan. Nah, belajar dari G30S/PKI bikin kita punya kesadaran sejarah dan nggak gampang diadu domba,” tambahnya.

Nur Afifah pun menekankan nilai reflektif dari tragedi ini. “Pelajaran yang saya ambil, anak muda harus punya keteguhan dalam nilai, cinta persatuan, dan tetap kritis. Jangan gampang terbawa arus. Sejarah itu jadi pengingat, bukan untuk menakut-nakuti, tapi buat bikin kita lebih kuat,” tambahnya.

Hal senada disampaikan Tsani Septiyani (21 tahun), mahasiswa asal Kecamatan Selabintana Kabupaten Sukabumi yang menempuh studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG PAUD) di Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI). Ia juga dikenal sebagai Duta Kampus UMMI Sukabumi 2025.

Baca Juga: Sukses Olah Gula Kelapa Tanpa Kimia, Perajin Ciracap Sukabumi Raup Untung Lebih Besar

Tsani menilai G30S/PKI merupakan peristiwa penting yang mengubah jalannya sejarah Indonesia. “G30S/PKI adalah peristiwa pada 30 September 1965 ketika enam jenderal TNI AD diculik dan dibunuh oleh kelompok yang menamakan diri Gerakan 30 September. Peristiwa ini dituduhkan sebagai kudeta PKI, yang berujung pada pembubaran partai tersebut serta penumpasan besar-besaran terhadap orang-orang yang dianggap terlibat. Tragedi ini menjadi titik balik sejarah Indonesia dan membuka jalan bagi lahirnya Orde Baru di bawah Soeharto,” jelasnya.

Tsani mengaku pengetahuan awalnya juga diperoleh dari sekolah dan melalui film. Ia menekankan pentingnya memahami sejarah sebagai bagian dari refleksi generasi muda. “Sangat begitu penting, karna menurut Soekarno ‘jas merah’ jangan sekali kali melupakan sejarah, karna tentunya dengan melihat dan mengkritisi apa yang telah terjadi, kita bisa memahami kondisi serta politik yang terjadi pada saat masa itu,” katanya.

Namun, ia juga menyoroti adanya perdebatan publik terkait peristiwa ini. “Banyak pro kontra yang terjadi pada G30S, tentu menjadi mahasiswa sebagai agent of change kita wajib mencari mana yang salah dan mana yang benar dalam kejadian G30S, karna banyak narasi-narasi simpang siur dari G30S yang perlu dikaji ulang kembali,” ujar Tsani. Dari sana, ia menarik pelajaran tentang dinamika kekuasaan. “Hingga pada ahirnya kita belajar bahwa terkadang kekuasaan yang menjadi pemecah belah bangsa, bagaimana kita melihat mana yang akan menang dan mana yang akan kalah. Dari politik kita juga belajar bahwa semua bentuk ketidakadilan dalam politik harus tetap diadili,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua BEM Nusa Putra University, Muhammad Jovan Khaikal (22), menyebut G30S/PKI sebagai tragedi kemanusiaan. “Gerakan 30 September 1965 adalah sejarah kelam pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia. Terjadi pembunuhan dan politik pembersihan menggunakan kekerasan yang diduga PKI pada masa itu. Menewaskan para jenderal serta rakyat seperti buruh, tani, anak-anak,” ungkapnya.

Baca Juga: Emang Ya Curanmor, Motor Petugas PLN Diembat Saat Bertugas di Baros Sukabumi

Ia pertama kali mengetahui peristiwa ini melalui pelajaran sejarah dan kegiatan nonton bareng di sekolah. Menurutnya, generasi muda harus mempelajari G30S/PKI sebagai bagian dari kesadaran ideologi. “Bagi saya untuk generasi muda dipandang perlu memahami peristiwa ini, demi menciptakan generasi aware terhadap ideologi yang bertentangan dengan pancasila. Sehingga generasi muda hari ini tidak terlibat perpecahan atau konflik horizontal dan menjadi aktor dalam menjaga keutuhan NKRI,” ujarnya.

Jovan juga menilai peristiwa 1965 tetap relevan dipelajari, terutama untuk mencegah ancaman yang bisa memecah belah bangsa. “Jika tujuan mengetahui dan mengingat peristiwa ini adalah untuk menjaga keutuhan NKRI. Maka menurut saya masih relevan, karena peristiwa ini menjadi catatan kelam masa lalu yang berguna di masa sekarang. Bahwa konflik horizontal, persoalan politik dan paham yang bertentangan dengan pancasila bisa menghancurkan keutuhan NKRI,” katanya.

Ia pun menekankan bahwa pelajaran sejarah harus diterjemahkan dalam sikap generasi muda hari ini. “Anak muda hari harus menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, karena kondisi hari ini ancaman supremasi sipil dan pelanggaran HAM masih terjadi. Penting juga memahami politik untuk menjaga stabilitas kehidupan sosial di NKRI,” tambah Jovan.

Tiga suara mahasiswa ini memperlihatkan bahwa meski perspektifnya beragam, mereka sama-sama menegaskan pentingnya memahami G30S/PKI. Wawancara yang dilakukan tepat pada 30 September ini menunjukkan bahwa sejarah tidak hanya menjadi catatan masa lalu, melainkan pengingat bagi generasi muda agar bangsa Indonesia tetap kuat dan tidak mudah dipecah belah.

Berita Terkait
Berita Terkini