SUKABUMIUPDATE.com - Persaingan global di bidang Kecerdasan Buatan (AI) telah memasuki fase krusial, di mana CEO Nvidia, Jensen Huang, berulang kali mengeluarkan peringatan bahwa China berpotensi besar untuk "Overtake" atau melampaui Amerika Serikat dalam waktu dekat. Huang menilai dorongan kemandirian teknologi yang agresif, didukung oleh investasi besar pemerintah dan ekosistem developer yang fokus, telah membuat China hanya berada "beberapa nanodetik di belakang Amerika."
Kondisi ini diperburuk oleh regulasi ekspor AS yang membatasi pengiriman chip AI canggih, yang ironisnya justru memaksa perusahaan China, seperti Huawei dan Baidu, untuk berinovasi lebih cepat dan menciptakan alternatif hardware yang siap menantang dominasi chip Barat. Dengan chip seperti Ascend 910C yang semakin mendekati kinerja kelas H100, China kini diposisikan bukan lagi sebagai pengejar, melainkan sebagai pesaing yang siap memimpin perlombaan hardware dan software AI.
Dominasi Nvidia di pasar chip AI, khususnya untuk pelatihan model bahasa besar (LLM), memang sulit digoyahkan. Namun, larangan ekspor chip canggih oleh Amerika Serikat ke China justru memicu revolusi kemandirian teknologi di Beijing.Para raksasa teknologi China kini berlomba menciptakan GPU (Graphics Processing Unit) tandingan yang diprediksi CEO Nvidia, Jensen Huang, suatu hari nanti bisa mengambil alih keunggulan AS.
Baca Juga: Padi Reborn Kukuhkan Lagi Identitas Musikalitas Lewat Ego Simfoni Cinta yang Menang Atas Amarah
Pernyataan CEO Nvidia Jensen Huang bukan sekadar isapan jempol, melainkan sebuah peringatan keras. Beliau berulang kali menyatakan bahwa China berpotensi memenangkan persaingan AI global, mengalahkan AS.
"China hanya beberapa nanodetik di belakang Amerika Serikat," ujar Huang, menggambarkan betapa tipisnya margin keunggulan teknologi chip kedua negara.Huang menilai pembatasan yang dilakukan AS justru mempercepat upaya China untuk mandiri, sementara regulasi berlebihan dan sikap "sinis" di Barat menghambat inovasi.
"Kami (AS) bisa punya 50 peraturan AI yang berbeda. Itu tidak efisien," kritik Huang, menunjukkan bahwa birokrasi dapat menjadi hambatan yang lebih besar daripada persaingan teknologi itu sendiri.
Dominasi Nvidia di pasar chip AI, khususnya untuk pelatihan model bahasa besar (LLM) sulit digoyahkan.
Baca Juga: Anies Baswedan Puji Film Pangku, Sebut Ubah Cara Pandang Manusia Setelah Menontonnya
Berikut adalah para penantang utama yang siap mengancam singgasana Nvidia:
- Huawei: Ancaman Domestik Terkuat dengan Ascend Series
Jika ada satu perusahaan China yang paling ditakuti Nvidia, itu adalah Huawei. Dengan dukungan penuh dari pemerintah dan ekosistem yang berkembang pesat, seri chip Ascend mereka menjadi alternatif utama di pasar domestik.
Chip andalan mereka, Ascend 910B dan varian terbaru Ascend 910C/D, merupakan respons langsung terhadap Nvidia A100/H100. Dari sisi spesifikasi, chip Ascend 910C diklaim mampu mencapai kinerja komputasi sekitar 800 TFLOP/s pada format Floating Point 16-bit ($FP16$), menempatkannya setara (sekitar 80%) dengan kinerja chip andalan Nvidia H100 di beberapa tolok ukur.
Kelebihan lain Huawei terletak pada Memori Bandwidth dan Kapasitas Memori. Misalnya, Ascend 910C unggul dengan kapasitas memori 128 GB HBM3, melebihi 80 GB HBM3 pada Nvidia H100, yang sangat penting untuk melatih model bahasa besar (LLM) raksasa. Huawei juga mengembangkan teknologi interkoneksi SuperPoD untuk menandingi NVLink milik Nvidia, memungkinkan ribuan chip bekerja bersama dalam klaster.
- Baidu dan Alibaba: Mendorong Ekosistem Cloud Mandiri
Selain Huawei, raksasa teknologi lain sedang berinvestasi besar pada hardware AI:
- Baidu mengembangkan Kunlun Chip (seperti model M100 dan M300) yang ditujukan untuk menggerakkan ekosistem cloud mereka sendiri dan model AI andalannya, Ernie. Baidu mengkompensasi kekurangan kinerja per unit chip dengan membangun Supernode klaster yang terdiri dari ratusan chip buatan mereka, memastikan skalabilitas yang masif.
- Alibaba Group, melalui divisi T-Head, mengembangkan chip Hanguang 800. Chip ini berfokus pada optimalisasi beban kerja cloud computing dan Inferensi, memastikan efisiensi operasional internal mereka.
Baca Juga: Dikalahkan 0-3 oleh Mali, Timnas Indonesia U-23 Segera Berbenah Jelang SEA Games 2025
- Inovasi Cepat dari Startup & Akademisi: Chip Analog
Komunitas akademis China juga menunjukkan lompatan inovasi yang mengejutkan. Ilmuwan China dilaporkan berhasil menciptakan chip AI analog yang diklaim secara teoritis 1.000 kali lebih cepat daripada chip digital high-performance dari Nvidia dan AMD dalam beberapa tugas tertentu. Inovasi hardware yang radikal ini menunjukkan bahwa China tidak hanya mengejar arsitektur chip lama, tetapi juga mencari cara baru untuk mendisrupsi komputasi AI secara fundamental.
Pembatasan ekspor chip AI canggih oleh AS pada awalnya bertujuan untuk memperlambat kemajuan China. Namun, yang terjadi justru sebaliknya:
- Mandiri adalah Keharusan: Pembatasan tersebut memaksa perusahaan China mengalihkan anggaran R&D dari pembelian ke pengembangan internal.
- Ekosistem yang Solid: Terciptalah ekosistem developer dan software stack lokal, seperti MindSpore milik Huawei, yang semakin matang dan diadaptasi secara luas di China.
- Kinerja Adaptif: Daripada langsung meniru H100, perusahaan China mengembangkan solusi adaptif menggabungkan banyak chip yang "diizinkan" (sedikit lebih lambat) ke dalam klaster raksasa untuk mencapai daya komputasi yang setara. Langkah ini juga didukung oleh subsidi energi besar-besaran dari pemerintah China untuk pusat data.
Saat ini, Nvidia masih memegang kendali berkat ekosistem perangkat lunak CUDA mereka yang superior dan kinerja H100 yang dominan. Namun, dengan chip sekelas Huawei Ascend 910C yang menantang kinerja hingga 80% dari H100 dan berinvestasi pada kapasitas memori yang lebih besar, China tidak lagi hanya "mengejar." Mereka sudah dalam posisi untuk menantang serius dominasi AS di masa depan, menjadikannya perlombaan chip paling krusial di era industri 4.0.
Baca Juga: Gak Asal Upload! China Wajibkan Influencer Punya Sertifikat Resmi untuk Bikin Konten
Peringatan keras Huang adalah lonceng kematian bagi ilusi dominasi teknologi Barat. Perlombaan chip AI kini bukan lagi sekadar perebutan pasar, melainkan pertarungan sengit yang menentukan siapa yang akan menulis aturan bagi masa depan kecerdasan buatan. Saat chip Ascend China berlari kencang, menempuh jarak 'beberapa nanodetik' saja di belakang H100, dunia tengah menyaksikan sebuah narasi yang mendebarkan, apakah AS akan berhasil mempertahankan takhtanya dengan inovasi, ataukah langkah tegas China untuk mandiri akan benar-benar mengubah peta kekuatan global, menjadikan Naga Asia sebagai raja baru di era cloud dan model bahasa besar? Pertempuran ini baru dimulai, dan taruhannya adalah masa depan peradaban.
Pernyataan dari Jensen Huang, CEO Nvidia, bahwa China hanya "beberapa nanodetik di belakang Amerika" dan berpotensi "Overtake" dominasi AI global bukanlah hiperbola semata, melainkan didukung oleh laporan industri yang menunjukkan percepatan luar biasa dalam upaya mandiri China.
Berita dan analisis pasar menyoroti bahwa larangan ekspor chip canggih AS justru menjadi bumerang, memaksa perusahaan domestik seperti Huawei untuk secara agresif mengembangkan chip Ascend 910C. Laporan dari analis seperti TrendForce dan publikasi teknologi terkemuka menunjukkan chip ini telah mendekati kinerja 80% dari Nvidia H100 di beberapa tolok ukur, terutama dalam kapasitas memori (HBM3e), sementara raksasa seperti Baidu dan Alibaba juga berinvestasi pada hardware mereka sendiri, menegaskan pergeseran strategis Tiongkok dari ketergantungan menjadi kedaulatan hardware AI.



