Apa Dampaknya Bagi Dompet Anda Bila Rupiah Diamputasi dengan Operasi Digital?

Sukabumiupdate.com
Sabtu 08 Nov 2025, 05:46 WIB
Apa Dampaknya Bagi Dompet Anda Bila Rupiah Diamputasi dengan Operasi Digital?

Bagi masyarakat luas, redenominasi membawa dampak langsung pada kehidupan sehari-hari, yang terbagi antara peningkatan efisiensi dan potensi risiko psikologis (Ilustrasi:Canva)

SUKABUMIUPDATE.com – Seorang manajer keuangan di sebuah perusahaan ritel harus berulang kali menghela napas saat menyelesaikan laporan akhir bulan, karena sistem akuntansi digital selalu menampilkan angka hingga belasan digit untuk setiap entri penjualan harian. Sebagai contoh, saat mencatat pembelian inventaris senilai Dua Ratus Tujuh Puluh Lima Juta, Tiga Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah, ia harus memasukkan angka 275.350.000,00 secara manual, yang seringkali menyebabkan kesalahan input hanya karena kelebihan atau kekurangan satu angka nol, ia harus menghitung delapan digit nol sebelum titik desimal.

Kerumitan ini berlipat ganda ketika menghitung margin keuntungan dalam presentasi, di mana angka Rp8.452.125.000.000,00 untuk total aset harus dibaca, diucapkan, dan dibandingkan dengan cepat di depan para direktur, membuat proses diskusi menjadi lambat dan rentan terhadap miskomunikasi, baik secara lisan maupun dalam visualisasi data.

Wacana penyederhanaan nominal Rupiah, atau redenominasi, kembali menjadi sorotan setelah Pemerintah memasukkannya dalam agenda strategis hingga target penyelesaian Rancangan Undang-Undang (RUU) pada tahun 2027. Redenominasi, pemotongan tiga angka nol tanpa mengurangi nilai atau daya beli pada intinya bukan hanya tentang mengganti desain uang, melainkan sebuah operasi pembaruan digital berskala nasional yang akan menguji seluruh infrastruktur teknologi Indonesia dan mengubah kebiasaan masyarakat.

Baca Juga: Kapolri: Pelaku Ledakan SMAN 72 Jakarta Berstatus Pelajar, Motif Bullying Diselidiki

Tantangan Teknologi Ujian Kualitas Infrastruktur IT Negara

Implementasi redenominasi adalah pekerjaan raksasa bagi sektor Teknologi Informasi (IT). Semua sistem digital di Indonesia harus mampu mengkonversi, mengolah, dan menyajikan data nominal lama dan nominal baru secara sempurna dan simultan.

Jantung dari masalah ini adalah Sistem Inti Perbankan (Core Banking System) dan sistem perencanaan sumber daya perusahaan (ERP). Setiap baris kode, setiap field dalam basis data yang mencatat saldo nasabah, mutasi, pinjaman, hingga bunga, harus diperiksa, diprogram ulang, dan diuji coba. Programmer harus memastikan bahwa transaksi senilai Rp10.000 lama dapat terbaca secara akurat sebagai Rp10 baru tanpa adanya kehilangan data atau kesalahan perhitungan. Proses ini memerlukan waktu bertahun-tahun dalam fase sandboxing (uji coba), sebab kesalahan satu digit saja bisa berdampak kerugian fatal pada skala nasional.

Selain sistem inti, semua infrastruktur pembayaran juga harus diperbarui. Seluruh mesin EDC (Electronic Data Capture), ATM, software kasir (POS), dan aplikasi dompet digital (e-wallet) harus dikalibrasi ulang. Selama masa transisi, sistem kasir harus mampu memproses pembayaran dengan nominal lama dan baru. Seluruh API (Application Programming Interface) yang mengintegrasikan layanan bank dengan pedagang dan fintech juga wajib di-patch agar mampu memproses data nominal baru secara aman dan lancar. Singkatnya, redenominasi menuntut biaya yang masif, waktu yang lama, dan koordinasi sempurna dari seluruh pemangku kepentingan digital di negara ini.

Baca Juga: 4 Jenis Seni Tari Tradisional Sunda yang Memikat Hati serta Nilai Budayanya

Dampak Praktis Antara Efisiensi dan Psikologi Harga

Bagi masyarakat luas, redenominasi membawa dampak langsung pada kehidupan sehari-hari, yang terbagi antara peningkatan efisiensi dan potensi risiko psikologis.

Secara praktis, pencatatan keuangan akan menjadi jauh lebih sederhana. Daripada menulis atau menyebut Rp50.000, kita cukup menyebut Rp50. Kemudahan ini akan sangat terasa manfaatnya dalam pencatatan akuntansi bisnis kecil, laporan keuangan perusahaan, hingga laporan pajak, membuat data ekonomi makro Indonesia terlihat lebih ringkas dan setara dengan standar internasional. Selain itu, uang koin akan mendapatkan kembali daya belinya, sehingga koin-koin kecil akan kembali digunakan secara aktif dalam transaksi sehari-hari, mengurangi ketergantungan pada pembulatan uang kertas.

Namun, manfaat praktis ini harus dibarengi dengan manajemen risiko psikologis. Kekhawatiran terbesar adalah munculnya inflasi terselubung. Meskipun nilai uang secara matematis tidak berubah, secara psikologis, harga Rp5 (dulunya Rp5.000) terasa jauh lebih murah. Pemerintah harus mengawasi ketat agar pedagang tidak memanfaatkan penyederhanaan ini untuk menaikkan harga dengan cara membulatkan nominal secara sepihak (misalnya, dari Rp9.800 menjadi Rp10.000, yang dalam nominal baru menjadi Rp10).

Fase paling krusial dalam kehidupan sehari-hari adalah Masa Transisi atau Dual Price Tagging, di mana harga barang dicantumkan dalam dua nominal (lama dan baru) dan kedua jenis uang beredar bersamaan. Fase ini rawan terjadi kebingungan dan kesalahan hitung, terutama bagi masyarakat yang kurang melek finansial. Oleh karena itu, keberhasilan redenominasi akan sangat bergantung pada seberapa efektif dan masifnya sosialisasi dari pemerintah dan Bank Indonesia untuk meyakinkan masyarakat bahwa ini adalah penyederhanaan, dan bukan pemotongan nilai uang (sanering).

Baca Juga: Frasa "For Agartha": Insiden SMAN 72 Jakut Melampaui Batas Keamanan Biasa

Penetapan target penyelesaian RUU Redenominasi pada 2027 menandai langkah formal dimulainya proyek besar ini. Perlu diingat, disahkannya UU tersebut hanyalah pintu masuk. Pelaksanaan redenominasi secara penuh masih harus menunggu terpenuhinya dua syarat utama berupa stabilitas ekonomi yang terjamin dan kesiapan teknologi serta sosial yang sempurna. Proses implementasi penuh, termasuk masa transisi yang panjang, diprediksi akan memakan waktu bertahun-tahun setelah UU disahkan. Ini adalah proyek ambisius yang menjanjikan efisiensi luar biasa, asalkan seluruh elemen mulai dari programmer hingga pedagang kaki lima telah disiapkan dengan matang dan penuh kehati-hatian.

Redenominasi yang tengah digulirkan ini adalah sebuah proyek efisiensi yang kompleks, menuntut koordinasi sempurna antara infrastruktur teknologi perbankan dan kesiapan mental masyarakat. Penting sekali untuk menggarisbawahi bahwa kebijakan ini bukanlah sanering.

Secara historis, sanering adalah pemotongan nilai uang yang dilakukan dalam kondisi ekonomi darurat dan tidak stabil, yang secara langsung menyebabkan daya beli masyarakat anjlok (misalnya, nilai uang Rp1.000 dipotong menjadi Rp100, sementara harga barang tetap). Sebaliknya, Redenominasi hanya menyederhanakan digit nominal Rp1.000 menjadi Rp1 tanpa mengubah nilai dan daya beli Anda.

Keberhasilan proyek ini, yang target regulasinya direncanakan rampung pada 2027, akan sangat bergantung pada disiplin pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan konsistensi dalam meyakinkan publik bahwa uang yang Anda miliki saat ini, tetap memiliki nilai yang sama persis setelah angka nolnya dihilangkan.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini