Ketika Batas Memudar: Konvergensi Influencer dan Media dalam Pusaran Komunikasi Digital

Sukabumiupdate.com
Sabtu 31 Mei 2025, 07:00 WIB
Ilustrasi influencer media sosial. (Sumber foto: pixabay)

Ilustrasi influencer media sosial. (Sumber foto: pixabay)

Oleh: Turangga Anom, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Insan Cita Indonesia

Lanskap media kita tak lagi serupa denah lama yang kita kenal. Dulu, benteng kokoh media tradisional – surat kabar, televisi, dan radio – berdiri gagah sebagai penjaga gerbang informasi. Kini, cakrawala komunikasi dipenuhi siluet-siluet baru yang tak kalah perkasa: para Influencer.

Mereka, dengan ribuan, bahkan jutaan pengikut di genggaman, adalah arsitek opini dan penentu tren yang tak bisa diabaikan. Ini memantik sebuah pertanyaan fundamental bagi kami, para mahasiswa Ilmu Komunikasi: Bagaimana gerangan relasi antara influencer dan media tradisional di belantara digital Indonesia ini? Apakah mereka jalin-menjalin, saling memangsa, atau justru meleburkan definisi media itu sendiri hingga tak lagi berbatas?

Opini ini akan menyelisik simpul-simpul rumit dinamika tersebut, menelusuri implikasinya terhadap cara kita menyeruput informasi dan memaknai realitas di tengah gelombang konvergensi media yang tak terhindarkan.

Evolusi Peran: Dari Menara Gading ke Arena Digital

Di era digital, label "media" tak lagi hanya melekat pada institusi pers berjubah resmi dengan biro-biro redaksi nan megah. Kini, setiap individu dengan smartphone di saku, berbekal koneksi internet, berpotensi menjadi "media" bagi dirinya sendiri, menerbitkan konten, dan menjangkau khalayak seluas samudra. Influencer adalah manifestasi paling konkret dari evolusi ini. Mereka bukan jurnalis berijazah, pun bukan korporasi media berbadan hukum, namun kapabilitas mereka merajut konten, membangun engagement, dan memengaruhi opini tak jarang melampaui raksasa media konvensional.

Fenomena ini adalah cerminan sempurna dari konsep konvergensi media ala Penulis asal Amerika, Henry Jenkins. Ia menegaskan, konvergensi tak sekadar pertemuan teknologi, melainkan tentang bagaimana narasi mengalir bebas lintas platform, bagaimana audiens memburu pengalaman hiburan, dan bagaimana roda bisnis media berputar.

Di Indonesia, kita menyaksikan bagaimana influencer melesat cepat menjadi sumber informasi utama, entah itu mengulas santapan lezat, mengikuti fashion terkini, hingga—yang tak kalah penting—mengomentari isu-isu sosial atau kebijakan pemerintah. Mereka piawai merajut ikatan parasosial dengan pengikutnya, membuat informasi terasa hangat, personal, dan mudah diakses, bahkan seringkali tiba lebih dulu daripada kabar dari media mapan. Kecepatan ini, dibalut gaya komunikasi yang luwes dan mudah diterima, menjadikan mereka magnet penarik informasi, khususnya bagi generasi milenial dan Z yang tumbuh besar di layar gawai.

"Jurnalisme" Influencer: Sebuah Pedang Bermata Dua

Beberapa influencer kini tak sungkan mengisi celah yang sebelumnya hanya digeluti jurnalis, terutama dalam mengabarkan peristiwa secara real-time atau menganalisis isu-isu hangat. Mereka menyuguhkan informasi instan, kerap kali langsung dari "medan kejadian," dan berinteraksi head-to-head dengan audiens melalui fitur komentar atau sesi live Q&A.

Fenomena "jurnalisme warga" yang diusung influencer kerap kita saksikan pada akun-akun informasi lokal di Instagram atau X (dulu Twitter). Mereka mengandalkan laporan dari pengikutnya untuk menyajikan berita kilat tentang kemacetan, kecelakaan, atau gejolak sosial. Kecepatan penyampaian ini, tak dimungkiri, adalah daya pikat utama mereka.

Namun, di balik kegesitan itu tersimpan tantangan etika yang menganga. Media tradisional terikat pada kode etik jurnalistik yang teguh: objektivitas, akurasi, keberimbangan, dan verifikasi fakta adalah harga mati sebelum publikasi. Sementara itu menurut hemat saya, influencer seringkali tak dibekali pelatihan jurnalistik formal atau tunduk pada kewajiban etis yang sama.

Contohnya, kasus-kasus influencer yang dengan enteng menyebarkan hoaks atau disinformasi menjelang pesta demokrasi, atau mengunggah konten yang belum teruji kebenarannya tentang suatu insiden, bukanlah hal asing.

Pertanyaan krusialnya mengemuka: Bagaimana kita menyaring fakta dari opini personal yang berbayar? Bagaimana menjaga akurasi di tengah kecepatan badai informasi yang berpotensi melahirkan hoaks demi hoaks? Isu kredibilitas dan transparansi adalah kunci utama di sini. Tanpa regulasi yang jelas atau kesadaran etis yang mengakar dari influencer itu sendiri, batas antara informasi dan misinformasi akan semakin rawan, mengancam fondasi kepercayaan publik.

Ketika Integritas Dipertaruhkan

Relasi antara influencer dan media kian ruwet dengan masuknya unsur komersialisasi yang kian mendominasi. Sebagian besar influencer menggantungkan hidupnya pada endorsement dan iklan berbayar. Ketika mereka mempromosikan produk atau jasa, garis tipis antara konten informatif, konten hiburan, dan konten promosi seringkali menjadi kabur, bahkan lenyap. Audiens, dalam ketidaksadarannya, mungkin mengira ulasan yang "tulus" itu murni berasal dari hati, padahal sejatinya adalah iklan berbayar yang terselubung.

Ironisnya, beberapa media tradisional pun kini tak sungkan berkolaborasi dengan influencer untuk menembus pasar audiens yang lebih muda atau merambah bentuk-bentuk pemasaran baru. Ini adalah siasat media untuk bertahan di tengah gejolak perubahan perilaku konsumen. Namun, dari kacamata Ilmu Komunikasi, langkah ini menguji integritas media dan kepercayaan publik. Bagaimana kita memastikan bahwa informasi yang diterima masyarakat bukan semata-mata promosi berbayar yang disamarkan? Isu transparansi – lewat pengungkapan jelas sponsorship atau paid partnership – menjadi sangat krusial agar publik tidak merasa diperdaya.

Penerapan etika digital marketing yang menuntut kejujuran dan keterbukaan, seperti yang mulai diterapkan di berbagai belahan dunia, menjadi imperatif. Jika tidak, fenomena ini berpotensi meruntuhkan kepercayaan publik terhadap semua sumber informasi, termasuk pilar media tradisional itu sendiri.

Tantangan dan Peluang: Melaju di Simpang Jalan

Bagi media tradisional, kehadiran influencer ibarat pedang bermata dua: ancaman sekaligus peluang. Ancaman nyata, karena influencer berpotensi "merampas" audiens dan pundi-pundi iklan, bahkan turut mengikis kepercayaan publik terhadap media secara keseluruhan. Survei global pun menunjukkan, di beberapa segmen audiens, kepercayaan terhadap influencer mungkin melampaui media berita tradisional, terutama di kalangan generasi Z dan milenial. Ini memaksa media tradisional untuk berinovasi dan menemukan cara-cara segar untuk merebut kembali perhatian khalayak.

Namun, di balik ancaman itu tersimpan peluang besar untuk beradaptasi dan berkolaborasi. Media tradisional bisa belajar banyak dari strategi influencer dalam membangun komunitas yang loyal, atau bahkan menggandeng mereka untuk memperluas jangkauan. Tak sedikit media kini mulai merekrut influencer sebagai bagian dari tim mereka atau mengembangkan platform internal yang mengadopsi cara kerja influencer demi tetap relevan.

Contoh kolaborasi yang menarik terlihat dalam strategi dakwah digital, di mana para ulama atau tokoh agama bergandengan tangan dengan influencer dari berbagai latar belakang (selebgram, musisi, komedian) untuk menyemai pesan-pesan moral atau keagamaan. Ini mengindikasikan pergeseran paradigma dalam produksi dan distribusi konten media, di mana audiens menjadi lebih partisipatif dan sumber informasi semakin kaya ragamnya. Media tradisional dapat memetik pelajaran berharga dari influencer perihal personalisasi konten, interaksi langsung dengan audiens, serta penggunaan format-format yang lebih visual dan memikat.

Peran Krusial Kita: Menjadi Penjaga Informasi yang Beretika

Hemat saya, dinamika antara influencer dan media tradisional adalah salah satu babak paling menarik dan kompleks dalam studi Ilmu Komunikasi kontemporer di Indonesia. Ini bukan sekadar ajang pertarungan, melainkan sebuah metamorfosis yang membentuk kembali cara kita mendefinisikan media, menyerap informasi, dan menaruh kepercayaan. Sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi, tugas kita bukanlah sekadar mengamati, melainkan menganalisis secara kritis, menyoroti implikasi etis yang tersembunyi, dan secara aktif mendorong literasi media yang lebih baik.

Dengan bekal teori seperti Uses and Gratifications Theory (yang menguak alasan audiens memilih sumber informasi tertentu berdasarkan kebutuhan dan keinginan mereka) dan pemahaman mendalam tentang gatekeeping di era digital (di mana penjaga gerbang informasi tak lagi hanya media besar, melainkan juga influencer dan algoritma tanpa wajah), kita harus berdiri tegak sebagai garda terdepan dalam membangun ekosistem komunikasi digital yang lebih sehat, transparan, dan berlandaskan pada kebenaran. Kita memiliki tanggung jawab moral untuk mengedukasi masyarakat agar semakin kritis dalam menyaring informasi, jeli membedakan fakta dan opini, serta memahami motif tersembunyi di balik setiap pesan yang mengalir deras di ruang maya.

Pada akhirnya, memahami konvergensi ini adalah kunci untuk menjadi konsumen informasi yang cerdas dan kontributor yang bertanggung jawab dalam ekosistem komunikasi digital yang terus bergejolak ini. Masa depan komunikasi akan sangat bergantung pada bagaimana kita menavigasi lanskap yang kian kompleks ini dengan etika dan kebijaksanaan.

Berita Terkini