SUKABUMIUPDATE.com - Jika era 80-90-an Indonesia "dijajah" oleh slow rock Malaysia dari band legendaris seperti Search dan Wings, Iklim, Ella dengan lagu Permaisuriku, Slam, KRU yang membawa boyband dance-pop pertama dan hits di Indonesia, Awie yang solo karir seperti juga Ella dan Ziana Zain, Siti Nurhaliza yang juga sangat sukses di Indonesia dan lain-lain.
Kini terjadi gelombang balasan yang tak terbendung. Musik Indonesia, dari pop, dangdut, hingga rock, kini membanjiri pasar musik Malaysia, menandai pergeseran budaya signifikan di kawasan serumpun.
Fenomena ini bukan sekadar tren sesaat. Lagu-lagu hits Indonesia tak hanya mendominasi tangga lagu radio, tapi juga menjadi soundtrack di acara televisi, dan yang terpenting, viral di platform digital seperti TikTok dan YouTube. Artis seperti Noah, Via Vallen, Mahalini, dan Armada kini memiliki basis penggemar yang luas dan loyal di negeri jiran.
Baca Juga: Drama 7 Gol di Derby d'Italia, Vasilije Adzic Jadi Penentu Kemenangan Juventus
Kedekatan Budaya dan Kekuatan Algoritma
Pengamat budaya pop menyoroti peran krusial ekosistem digital. "Platform seperti YouTube dan Spotify telah menghapus batas geografis. Algoritma merekomendasikan musik berdasarkan selera, bukan kebangsaan. Ini memungkinkan lagu dangdut atau pop Indonesia dengan mudah ditemukan oleh anak muda di Kuala Lumpur," jelasnya.
Kedekatan budaya dan bahasa menjadi katalis utama. Lirik yang akrab dengan tema percintaan, persahabatan, dan perjuangan menciptakan ikatan emosional yang kuat. Uniknya, genre musik dangdut, yang sangat khas Indonesia, justru menjadi salah satu produk ekspor paling sukses. Iramanya yang enerjik dan mudah diingat membuat dangdut diterima di mana saja, dari kafe hingga pesta, bahkan disukai negara tetangga seperti Thailand.
Siklus Budaya dan Simbiosis yang Sehat
Fenomena ini adalah bukti dari siklus pertukaran budaya yang sehat. Banyak netizen Malaysia sendiri yang mengakui hal ini. "Dulu kita demam 'Isabella' dari Search, sekarang giliran mereka yang demam 'Sial' dari Mahalini. Ini bukan penjajahan, tapi simbiosis," tulis seorang komentator di YouTube.
Komentar ini menggarisbawahi fakta bahwa hubungan musik kedua negara adalah cerita tentang timbal balik, bukan dominasi sepihak. Apresiasi terhadap seni melampaui batas negara, menjadi jembatan yang mempersatukan.
Baca Juga: iPhone Bisa Jadi Kamera Film Profesional yang Bermula Dari Genggaman Jadi Karya Sinematik
Kolaborasi dan Bahasa Universal
Tren ini membuka peluang kolaborasi yang lebih luas. Musisi dari kedua negara mulai saling memperhatikan dan terinspirasi, memicu kreativitas baru. Kita sudah melihat band Malaysia yang memasukkan unsur dangdut dalam musik mereka.
Dukungan dari platform digital dengan fitur playlist regionalnya juga mempercepat proses ini. Lagu dari kedua negara kini lebih mudah ditemukan oleh pendengar di mana pun mereka berada.
Pada akhirnya, fenomena ini adalah bukti nyata bahwa seni, khususnya musik, memiliki kekuatan untuk melampaui batas geografis. Apa yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia adalah contoh indah dari simbiosis budaya saling memengaruhi, saling mengapresiasi, dan saling memperkaya dalam nada yang sama.
Sebuah komentar netizen di Youtube menulis hal bagus dan menarik tentang perdebatan mengapa musik Indonesia kini merajai Malaysia? @livingcolorx: "Apakah musik indonesia dijajah industri musik barat atau korea? tidak ada musik dijajah, selera musik tidak mengenal negara. Yang betul musik indonesia lebih variatif dan kreatif itu saja, tidak perlu merendahkan industri negara lain..."