Jejak Ilegal Logging di Balik Bencana Sumatera Menguak Tabir Kayu Gelondongan Bernomor Merah

Sukabumiupdate.com
Jumat 05 Des 2025, 11:18 WIB
Jejak Ilegal Logging di Balik Bencana Sumatera Menguak Tabir Kayu Gelondongan Bernomor Merah

Temuan kayu gelondongan raksasa berangka merah di Aceh menguatkan dugaan illegal logging di balik bencana banjir Sumatera. (Foto: Tangkapan layar reels netizen)

SUKABUMIUPDATE.com - Bencana banjir bandang yang melanda wilayah Sumatera, termasuk Aceh, telah menyisakan duka mendalam dan sekaligus memunculkan misteri yang harus diungkap tuntas, temuan masif kayu gelondongan berukuran raksasa, yang beberapa di antaranya telah dibubuhi penanda berupa angka atau nomor yang dicat. Fenomena yang terekam oleh relawan di Aceh ini menjadi bukti visual paling gamblang dari kerusakan lingkungan yang diyakini menjadi faktor pemerkaya daya rusak bencana alam.

Kasus kayu gelondongan banjir telah menjadi isu nasional, memicu spekulasi dan desakan investigasi di tingkat pusat. Sebelum temuan viral di Aceh, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) serta para ahli sudah mengindikasikan bahwa tumpukan kayu ini adalah "rudal alami" yang diperparah oleh aktivitas manusia di hulu sungai. Dugaan kuat mengarah pada:

  • Illegal Logging dan Pencucian Kayu: Kayu-kayu yang terpotong rapi dengan potensi penomoran dicurigai kuat berasal dari praktik pembalakan liar atau modus pencucian ilegal (illegal laundering) yang melibatkan dokumen palsu.
  • Pembukaan Lahan: Sebagian log disinyalir berasal dari pembukaan lahan perkebunan, seperti kelapa sawit, di mana pohon-pohon besar ditebang dan dibiarkan menumpuk (slash) sebelum akhirnya terseret arus deras ketika banjir datang.

Angka "3" Merah di Aceh Bukti Nyata Kegagalan Kontrol

Dugaan-dugaan tersebut menemukan konfirmasi yang mengejutkan di lapangan, khususnya di Aceh. Pada Kamis (4/12/2025), seorang relawan asal Jawa Barat mempublikasikan rekaman yang menunjukkan tumpukan kayu raksasa di lokasi terdampak bencana, dan secara spesifik menyoroti batang kayu yang jelas dicat dengan angka "3" berwarna merah.

Baca Juga: Tesso Nilo Sekarat! Sisa Hutan 15 Ribu Hektare, Gerakan Digital #SaveTessoNilo Banjir di X

Spekulasi Logging Ilegal: Penomoran yang rapi secara otomatis memicu spekulasi di kalangan aktivis dan masyarakat: Apakah kayu-kayu ini berasal dari pembalakan liar (ilustrasi:Canva)Spekulasi Logging Ilegal: Penomoran yang rapi secara otomatis memicu spekulasi di kalangan aktivis dan masyarakat: Apakah kayu-kayu ini berasal dari pembalakan liar (ilustrasi:Canva)

Penanda numerik ini, yang umumnya digunakan dalam industri penebangan (logging) untuk inventarisasi, tracking legalitas, atau kontrol volume, sontak memicu pertanyaan serius:

  1. Asal-Usul Penomoran: Apakah angka tersebut merupakan penanda dari izin legal (misalnya Hak Pengusahaan Hutan/HPH atau Izin Pemanfaatan Kayu/IPK) yang kemudian lalai dalam penanganan sisa tebangan di hulu?
  2. Modus Kejahatan: Atau, apakah penomoran itu adalah bagian dari rantai kejahatan kehutanan untuk memberikan kesan legalitas palsu pada kayu hasil tebangan liar?

Terlepas dari asal-usul pastinya, fakta bahwa kayu-kayu berukuran raksasa dengan penanda industri terseret ke permukiman warga menggarisbawahi kerusakan masif di daerah tangkapan air dan potensi bahaya yang ditimbulkan oleh material log ini, yang berpotensi menjadi "senjata" perusak permukiman saat banjir.

Temuan di Aceh memperkuat desakan publik dan parlemen agar Pemerintah segera membentuk tim investigasi khusus dan melakukan penelusuran secara humanis, cerdas, dan kritis. Penyelidikan harus difokuskan pada izin-izin kehutanan yang beroperasi di wilayah hulu Sumatera yang terdampak, melacak pemilik sah dari penomoran kayu tersebut, dan memastikan apakah ada unsur pidana penebangan liar atau kelalaian dalam manajemen hutan yang telah memperparah dampak bencana alam menjadi bencana ekologis. Mengungkap misteri angka pada kayu adalah langkah krusial untuk memutus mata rantai kejahatan kehutanan yang terus menerus merugikan masyarakat dan lingkungan.

Baca Juga: Ditahan West Ham United 1-1, Kesempatan Manchester United Bermain di Liga Champions Kian Menipis ?

Sanksi Hukum untuk Illegal Logging di Indonesia

Kejahatan penebangan liar (illegal logging) di Indonesia diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Regulasi ini menjerat pelaku perorangan maupun korporasi yang terlibat dalam penebangan pohon tanpa izin, pengangkutan, penguasaan, hingga penjualan hasil hutan ilegal. Bagi perorangan, sanksi pidana yang menanti cukup berat, mulai dari ancaman penjara minimum 1 tahun hingga maksimum 15 tahun, disertai dengan denda yang sangat tinggi, yakni minimum Rp 500 juta hingga maksimum Rp 10 miliar.

Sanksi berlaku tidak hanya bagi penebang langsung, tetapi juga bagi siapa pun yang membantu, memfasilitasi, atau menerima hasil dari aktivitas ilegal tersebut, termasuk pejabat yang menyalahgunakan wewenang. Undang-undang ini juga memungkinkan penerapan sanksi pidana tambahan berupa perampasan aset, yang menunjukkan komitmen negara untuk memerangi kejahatan kehutanan secara komprehensif.

Selain sanksi pidana perorangan, UU 18/2013 juga menjerat korporasi yang terlibat dalam perusakan hutan. Jika kejahatan illegal logging dilakukan oleh korporasi, ancaman pidananya adalah denda yang diperberat hingga tiga kali lipat dari denda perorangan, yang berarti dapat mencapai puluhan miliar rupiah. Lebih lanjut, korporasi juga dapat dikenakan sanksi administrasi yang bersifat merusak bisnis mereka, seperti pembekuan izin usaha, pencabutan izin usaha, dan kewajiban untuk melakukan rehabilitasi atau pemulihan lingkungan yang telah dirusak.

Baca Juga: Pohon Albasia Setinggi 15 Meter Tumbang di Simpenan Sukabumi, Akses Jalan Sempat Lumpuh

Sanksi ini menekankan bahwa pertanggungjawaban hukum tidak berhenti pada individu, tetapi juga menyentuh entitas bisnis yang mencari keuntungan dari kejahatan lingkungan, sekaligus bertujuan memberikan efek jera agar korporasi mematuhi aturan rantai pasok kayu yang legal dan berkelanjutan.

Dua era politik di Indonesia menampilkan wajah berbeda dari kejahatan penebangan liar (illegal logging). Pada masa Orde Baru, illegal logging cenderung bersifat sentralistik dan terstruktur; kejahatan ini sering terjadi sebagai praktik over-cutting yang dilakukan oleh segelintir konglomerat pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), di mana penebangan ilegal disamarkan dan difasilitasi oleh jaringan birokrasi dan kekuasaan yang korup (KKN) di tingkat pusat.

Sebaliknya, Era Reformasi ditandai dengan anarki desentralisasi kejahatan kehutanan; pasca-otonomi daerah, kontrol pusat melemah dan illegal logging menyebar luas (fragmented) di tingkat lokal, didorong oleh maraknya penerbitan izin-izin lokal yang tidak terkontrol (seperti Izin Pemanfaatan Kayu di tingkat kabupaten) yang melibatkan banyak aktor lokal dan jaringan mafia kecil, menyebabkan percepatan laju deforestasi yang jauh lebih eksplosif karena kontrol dan pengawasan menjadi sangat sulit dilakukan.

(Dari berbagai sumber)

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini