Karma: Benarkah Apa yang Kita Lakukan Akan Kembali kepada Kita? ini menurut psikologis

Sukabumiupdate.com
Selasa 27 Mei 2025, 08:00 WIB
Ilustrasi Berfikir, Karma: Benarkah Apa yang Kita Lakukan Akan Kembali kepada Kita? (Sumber : Freepik/@cookie_studio)

Ilustrasi Berfikir, Karma: Benarkah Apa yang Kita Lakukan Akan Kembali kepada Kita? (Sumber : Freepik/@cookie_studio)

SUKABUMIUPDATE.com - Pernahkah kamu merasa mendapatkan kejutan menyenangkan seperti menemukan uang di jalan atau menerima bantuan tak terduga dan langsung berpikir, “Ini pasti karena aku berbuat baik kemarin”? Fenomena ini sering kali dikaitkan dengan karma. Namun, apakah karma benar-benar nyata? Dan bagaimana sains, khususnya psikologi, memandang hal ini?

Apa Itu Karma?

Secara etimologis, kata "karma" berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti "aksi" atau "tindakan". Dalam konteks kepercayaan Hindu, Buddha, dan Jainisme, karma dipahami sebagai hukum sebab-akibat: apa yang kita lakukan baik atau buruk akan kembali kepada kita dalam bentuk konsekuensi. Jika seseorang menebar kebaikan, maka kebaikan pula yang akan datang. Sebaliknya, perbuatan buruk akan mendatangkan penderitaan di masa depan.

Karma dalam Pandangan Psikologi

Lalu, bagaimana sains dan psikologi memandang karma? Apakah ini hanya konsep spiritual, atau bisa dibuktikan secara ilmiah?

Penelitian psikologis menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap karma mempengaruhi perilaku manusia secara signifikan. Mereka yang percaya bahwa perbuatan akan kembali pada pelakunya cenderung melakukan tindakan prososial, seperti memberi, menolong, dan bersikap etis. Studi lintas budaya menunjukkan bahwa orang yang mempercayai karma juga memiliki rasa tujuan hidup dan kesejahteraan mental yang lebih tinggi.

Bukan hanya itu, tindakan kebaikan juga memiliki dampak biologis dan neurologis. Saat seseorang melakukan perbuatan baik, tubuhnya melepaskan endorfin zat kimia yang meningkatkan rasa bahagia dan menurunkan stres. Ini dikenal sebagai helper's high, suatu kondisi di mana seseorang merasa puas dan senang setelah membantu orang lain. Dengan kata lain, berbuat baik memberi manfaat langsung kepada pelaku, baik secara psikologis maupun sosial.

Baca Juga: Digital Decluttering: Merapikan Dunia Digital untuk Hidup yang Lebih Sehat dan Fokus

Efek Domino Kebaikan

Sains juga mengungkap bahwa kebaikan itu menular. Satu perbuatan baik biasanya memicu tiga tindakan baik lainnya dari penerima atau orang di sekitarnya. Ini menciptakan efek riak (ripple effect) yang memperluas manfaat ke lingkungan sosial yang lebih luas. Dalam psikologi sosial, fenomena ini disebut prosocial loop sebuah lingkaran positif di mana berbuat baik meningkatkan suasana hati, yang kemudian mendorong seseorang untuk kembali berbuat baik.

Bahkan pada bayi, konsep "karma" seolah sudah tertanam. Studi dari Yale menemukan bahwa bayi usia enam bulan lebih menyukai karakter yang membantu daripada yang menyakiti. Ini menunjukkan bahwa dorongan untuk membalas kebaikan dan menolak kejahatan mungkin sudah ada sejak usia dini.

Karma vs. Keberuntungan

Namun, penting untuk membedakan antara karma dan keberuntungan. Karma berakar pada niat dan tindakan, sedangkan keberuntungan bersifat acak dan tidak terencana. Penelitian dari Inggris menemukan bahwa orang yang sering menghadapi peluang baik cenderung memiliki kebiasaan membuka diri terhadap pengalaman baru dan sering mengubah rutinitas ini meningkatkan kemungkinan "kebetulan" yang menguntungkan.

Sebaliknya, karma melibatkan unsur tanggung jawab moral: kita menuai apa yang kita tanam. Meskipun tak semua orang jahat langsung mendapat balasan, dan tidak semua orang baik selalu beruntung, keyakinan pada karma mendorong kita untuk tetap berbuat baik karena manfaat psikologis dan sosialnya nyata.

Jadi, apakah benar apa yang kita lakukan akan kembali kepada kita? Dalam sudut pandang psikologi, jawabannya cenderung: ya. Bukan karena ada kekuatan magis yang mencatat semua perbuatan, tapi karena tindakan kita membentuk pola sosial, kimia otak, dan persepsi diri yang berujung pada pengalaman hidup yang lebih positif.

Mungkin bukan karma dalam pengertian mistis, tapi karma psikologis di mana kebaikan menimbulkan kebaikan, dan keburukan menimbulkan konsekuensi sosial atau emosional sungguh nyata dalam kehidupan kita. Dan itulah alasan terbaik untuk terus menebar kebaikan.

Baca Juga: 10 Kunci Anak Hidup Bahagia, Bensin Cinta dan Perhatian Full!

Sumber: Psychology Today.

Berita Terkait
Berita Terkini