STD 2025 Angkat Riwayat Lapangan Tjikembar & Pelaboehanratoe, Jejak Perang hingga Wisata Udara

Sukabumiupdate.com
Jumat 20 Jun 2025, 15:18 WIB
STD 2025 Angkat Riwayat Lapangan Tjikembar & Pelaboehanratoe, Jejak Perang hingga Wisata Udara

Peta lapangan terbang Pelaboehanratoe di wilayah Kabupaten Sukabumi, zaman kolonial. | Foto: Irman Firmansyah

SUKABUMIUPDATE.com - Dua lapangan terbang bersejarah di Sukabumi, Tjikembar dan Pelaboehanratoe, menjadi sorotan utama dalam festival Soekaboemi Tempo Doeloe (STD) yang digelar Yayasan Dapuran Kipahare. Acara ini akan berlangsung di Wisma Wisnu Wardhani, Jalan Bhayangkara Nomor 219, Kota Sukabumi, pada 21-22 Juni 2025.

STD 2025 adalah kegiatan keenam yang dilakukan di rumah bekas Notaris Schotel dan mes perwira polwan pertama yang dididik di Sukabumi serta rumah perenang Belanda dan tokoh parlemen yaitu Erica Tepstra. Bangunan dan lahan milik Setukpa Lemdiklat Polri itu menjadi pusat kegiatan berupa pameran yang melibatkan museum hingga komunitas.

Ketua Yayasan Dapuran Kipahare Irman Firmansyah mengungkapkan STD 2025 hadir, salah satunya, untuk menghidupkan kembali memori lapangan terbang Tjikembar dan Pelaboehanratoe melalui berbagai medium, termasuk pameran foto, arsip, dan artefak sejarah. Kegiatan ini juga diramaikan oleh bazar makanan tempo dulu hingga modern.

Stan lapangan terbang Pelaboehanratoe dan Tjikembar di lokasi festival Soekaboemi Tempo Doeloe (STD) 2025 di Wisma Wisnu Wardhani, Jalan Bhayangkara Nomor 219, Kota Sukabumi. | Foto: Irman FirmansyahStan lapangan terbang Pelaboehanratoe dan Tjikembar di lokasi festival Soekaboemi Tempo Doeloe (STD) 2025 di Wisma Wisnu Wardhani, Jalan Bhayangkara Nomor 219, Kota Sukabumi. | Foto: Irman Firmansyah

Membaca Ulang Masa Lalu

Irman yang juga pengamat sejarah mengatakan, sekira Maret 1918, Pemerintah Hindia Belanda mencari dua lahan di Sukabumi dengan luas ideal 600x1.000 meter di dekat Bojonglopang dan Palabuhanratu untuk dijadikan landing station (stasiun pendaratan) atau lapangan terbang darurat. Namun, ini bukan bandara yang melayani penerbangan sipil ke bandara lainnya. Ukuran itu pun ditentukan karena panjang landing minimal 700 meter. "Maka luasan yang diperlukan minimal 10 hektare karena memerlukan lahan fungsional penunjang lapangan terbang," katanya.

Berdasarkan catatan, lahan di dekat Bojonglopang lebih awal dibebaskan, yang kini menjadi kawasan Batalyon Infanteri 310 Cikembar. Bekas runway lapangan tersebut saat ini menjadi arena tembak. Lapangan terbang Tjikembar yang diresmikan pada 13 Februari 1922, dalam perjalanannya berubah menjadi lapangan terbang militer untuk keperluan Perang Dunia II dengan menempatkan 22 pesawat tempur. Bahkan lapang ini sempat menjadi markas angkatan udara sekutu sementara saat Paul Maltby mundur dari Sumatera.

Berbeda dengan lapangan terbang Pelaboehanratoe, meski lokasi yang dibebaskan di sekitar Rawakalong dan dibangun serentak dengan lapangan terbang Tjikembar, tetapi Pemerintah Hindia Belanda tidak menjadikannya sebagai lapangan terbang militer melalui penempatan pesawat tempur. Lapangan terbang Pelaboehanratoe tetap menjadi pelabuhan darurat yang hanya digunakan jika ada keperluan atau kunjungan ke sekitar Palabuhanratu yang memerlukan penggunaan pesawat.

.Informasi kegiatan STD 2025. | Foto: Panitia

Baca Juga: Soekaboemi Tempo Doeloe 2025: Kisah Tersembunyi, dari Lapang Terbang Kolonial hingga Jejak Pahlawan

Saat Jepang memasuki Palabuhanratu, Irman menyebut lapangan terbang ini dikuasai Jepang dan digunakan sebagai tempat pelatihan pasukan Pembela Tanah Air (PETA). Ketika itu, Eddi Sukardi--komandan pertempuran Bojongkokosan--sesaat setelah lulus dari pendidikan PETA di Bogor, ditempatkan di sekitar Palabuhanratu dan melatih anak buahnya di bekas lapangan terbang tersebut. "Ketika Jepang kalah, pasukan Belanda menggunakan lapangan terbang ini untuk keperluan transportasi udara militer hingga masa pendudukan usai tahun 1949," kata dia.

Pada masa kemerdekaan, lahan seluas 14 hektare itu tidak lagi difungsikan sebagai lapangan terbang dan hanya menjadi tanah kering hutan ringan yang dikuasai negara melalui angkatan udara. Bahkan saat itu sempat dijadikan tempat peluncuran peluru kendali dan roket untuk keperluan uji coba. Namun pada 1968, area di Palabuhanratu ini dijadikan lahan pertanian proyek pertanian Kartika Binahardja Primkopad Kodim 0607 Sukabumi yang dipimpin Peltu Rustandi.

Pasca-diresmikannya Samudera Beach Hotel, antusias wisatawan ke Palabuhanratu cukup meningkat sehingga banyak pejabat dan orang kaya ingin datang ke sana. Tetapi, hasrat ini terhalang karena melihat akses jalan darat yang masih belum baik dan jarak yang jauh. Ini yang selanjutnya memunculkan kebutuhan moda transportasi udara, terutama bagi yang punya uang.

"Karena kebutuhan ini, TNI AU memfungsikan kembali bekas runway untuk landing pesawat-pesawat kecil."

Sebab antusiasnya, para wisatawan bersedia menggunakan pesawat terbang Skyvan yang dioperasikan Pelita Air Service. Namun karena sistemnya charter, biayanya cukup tinggi dengan kapasitas pesawat 15 penumpang. Ongkos per penumpang sekira 366 USD atau Rp 5,3 juta. Mereka mendarat dan landing di pangkalan udara TNI AU Rawakalong. Pemerintah bahkan sempat membeli helikopter untuk turut andil dalam pengiriman turis ke Palabuhanratu.

Demi mendukung kebutuhan pariwisata, Pertamina ikut digerakkan, yang saat itu sedang melimpah dana karena booming minyak dunia, untuk membangun lapangan udara Rawakalong (di bekas lapangan terbang zaman Belanda ditambah lahan lainnya). Proyek ini bekerja sama dengan Pelita Air sebagai anak perusahaan Pertamina yang didirikan tahun 1970 dalam pengoperasiannya.

"Lapangan udara Rawakalong yang lahannya sebagian disewa kepada negara dan sebagian lagi dibeli dari masyarakat seluas 22 hektare, diresmikan pada 12 Desember 1972, yang memangkas jarak Jakarta-Palabuhanratu hanya menjadi 30 menit," kata Irman.

Semula, bisnis ini tampak menjanjikan karena jalan di sekitar lokasi dibangun sebagai akses ke lapangan udara dan beberapa jalan yang menghubungkan dengan kota-kota terdekat diperbaiki. Pelita Air juga sempat ditawari untuk menggunakan pesawat N250 buatan Industri Pesawat Terbang Nurtanio kemudian berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang dikomandoi BJ Habibie karena jaraknya yang pendek ideal di bawah 500 kilometer.

"Tetapi, perjalanan lapangan udara tersebut tidak mulus karena beberapa tahun berikutnya muncul tuntutan sebagian warga atas hak lahan itu yang belum selesai hingga kini. Bisnis Pelita Air di lapangan udara Rawakalong sendiri tidak berjalan seperti yang diharapkan, hanya menyisakan nama Jalan Pelita Air di sekitar bekas lapangan terbang yang masih ada hingga kini," ucap Irman. Jalan Pelita Air yang dimaksud Irman, sekarang lokasinya tidak jauh dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Palabuhanratu.

Berita Terkait
Berita Terkini